Oleh Nia Rahmayuni
Jam weker di pojok kamar kos bergetar keras. Bunyi jarumnya terdengar jelas karena hanya itu yang bergerak di pagi hari. Rania membuka mata perlahan, menatap langit-langit berwarna putih pudar dengan bercak lembap di sudutnya. Udara pagi Padang menembus celah jendela, membawa hawa dingin yang menyentuh kulit. Ia terdiam sejenak, menatap dompet kecil berwarna cokelat muda yang sudah lusuh dan jadul di atas meja belajar. Di sana, tersisa satu lembar uang lima ribuan dan tiga lembar seribuan, dilipat rapi di saku kirinya. Delapan ribu rupiah. Itu modal hidupnya hari ini dan mungkin besok.
Rania duduk perlahan, menarik napas panjang. Ia sudah hafal rutinitas hidupnya kali ini yaitu menghitung uang, menghitung waktu, lalu menghitung nasib. Sejak tiga bulan terakhir, kiriman dari kampung sering terlambat. Ayahnya, seorang buruh tani di Pesisir Selatan, jatuh sakit karena asam lambung yang kambuh terus. Ibunya mencoba berdagang kecil-kecilan di pasar, tapi hasilnya tak seberapa. Ponselnya bergetar pelan. Satu pesan masuk dari Ibu.
“Nak, maaf ya, belum bisa kirim. Bapak masih kontrol ke rumah sakit. Kau sabar dulu ya, Ran. Jangan terlalu dipikir.”
Rania menatap layar ponselnya lama-lama. Ia ingin mengetik untuk membalas pesan dari ibunya.
“Iya, Bu, tidak apa-apa, Rania masih punya uang.” Tapi kalimat itu bohong. Akhirnya ia hanya mengetik, “Iya, Bu, Rania baik-baik saja.” Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Kos Rania terletak di gang kecil di daerah Binuang Kampung Dalam, tidak terlalu jauh dari kampus Universitas Andalas tempatnya kuliah di Program Studi Sastra Indonesia. Kamar tiga kali tiga meter itu menampung seluruh kehidupannya, diisi dengan kasur tipis di pojok, meja belajar kecil dengan cat mengelupas, lemari plastik dua tingkat, dan dinding penuh tempelan kertas puisi karyanya sendiri. Di bawah meja, ada kardus berisi mi instan, buku antologi puisi, dan bungkus nasi padang kosong yang belum sempat dibuang.
Ia memandangi ruangan itu sambil menarik ujung bibirnya pelan bukan tersenyum, tapi semacam upaya menenangkan diri. Di luar, suara motor mahasiswa lain bersahutan. Aroma sarapan dari warung depan kos menyeruak, perpaduan bau nasi goreng dan lontong gulai yang menggoda. Perutnya merespons cepat, tapi ia pura-pura tidak menyadari itu.
“Ran, nggak sarapan?” tanya Lala, teman sekamarnya, sambil mengikat rambut.
“Nanti aja. Masih kenyang,” jawab Rania pelan.
Padahal, terakhir kali ia makan hanya sepotong roti semalam. Tapi ia sudah ahli menipu rasa lapar dengan senyum. Pukul delapan, Rania sudah berada di kampus. Ia menempuh perjalanan kira-kira 5 kilometer dengan berjalan kaki agar hemat ongkos. Matahari Padang mulai terik, tapi angin yang berembus di antara pepohonan kampus membuat langkahnya terasa lebih ringan. Begitu sampai di gedung E yang terletak di depan Fakultas Ilmu Budaya, ia sempat berhenti sebentar untuk mengatur napas. Mahasiswa lain datang silih berganti, sebagian dengan wajah ceria, sebagian dengan kantung mata karena begadang.
Gedung bersama abu-abu berasal dari warna batu itu berdiri teduh di antara pepohonan. Bagi Rania, tempat itu seperti rumah kedua. Di situlah ia belajar tentang sastra, menulis puisi, dan mengenal dunia yang lebih luas dari halaman kampungnya. Ia ingin sekali membuktikan bahwa anak dari keluarga biasa pun bisa menulis dan berdiri sejajar dengan siapa pun.
Kelas Teori Sastra pagi itu membahas pendekatan ekspresif. Dosen, seorang perempuan berusia lima puluhan, berbicara dengan nada mantap dan tatapan tajam. Rania mendengarkan, tapi pikirannya melayang-layang antara teori Rene Wellek, Abrams dan isi dompetnya yang nyaris kosong.
“Rania,” panggil dosen itu tiba-tiba.
“Iya, Bu?”
“Menurut kamu, apa hubungan antara pengalaman hidup dan kejujuran dalam karya sastra?”
Rania menatap papan tulis sejenak sebelum menjawab pelan, “Kalau pengalaman itu jujur, karya akan lebih hidup, Bu. Kadang tulisan paling sederhana justru lahir dari rasa yang paling sulit dijelaskan.”
Dosen itu tersenyum. “Jawaban bagus. Pertahankan kepekaan itu.”
Rania mengangguk, sedikit lega. Tapi dalam hatinya ia sadar, kepekaan saja tidak cukup untuk bertahan hidup di kota. Siang itu, setelah kelas usai, Rania duduk di kursi panjang sebuah kantin kampus sambil membuka buku catatan. Di sekelilingnya, mahasiswa lain sibuk bercanda, memesan kopi, dan berbicara tentang film. Ia membuka halaman kosong, menulis satu kalimat.
“Kadang perjuangan bukan soal besar kecilnya mimpi, tapi tentang bertahan ketika semua terasa mustahil.”
Ia menatap kalimat itu lama-lama, lalu menutup buku. Kata-kata memang memberinya kekuatan, tapi tidak cukup untuk mengisi perut. Saat itulah, suara seseorang memanggil dari belakang.
“Rania!”
Ia menoleh. Itu Dimas, teman seangkatannya yang aktif di Unit Kegiatan Penulisan Kampus. “Kau ikut rapat UKPK sore ini, kan?” tanya Dimas sambil duduk di sebelahnya.
Rania menggeleng. “Kayaknya nggak, aku ada urusan.”
“Sayang sekali, kita mau cari penulis buat buletin baru. Kalau kau mau nulis, bisa dapat honor kecil dari sponsor.”
Rania menatap Dimas, matanya sedikit berbinar. “Honor?”
“Iya, nggak banyak sih, tapi lumayan buat tambah-tambah uang makan.”
Rania mengangguk cepat. “Aku ikut.”
Sore itu, ia datang ke ruang sekretariat UKPK. Ruangan itu kecil, tapi dindingnya penuh tempelan puisi dan naskah lomba. Bau kopi dan kertas menyatu di udara. Ketua UKPK menjelaskan bahwa mereka butuh tiga tulisan untuk edisi berikutnya. Honor memang tidak besar, tapi cukup untuk bertahan beberapa hari.
Rania menulis sepanjang malam. Ia menulis cerpen tentang perempuan yang merantau dan bertahan hidup dengan sisa uang di saku kirinya. Setiap kalimatnya mengalir seperti pengakuan. Ia berusaha membuatnya indah dengan penggunaan diksi yang dipakainya.
Pukul satu dini hari, cerpennya selesai. Ia menatap layar laptop dengan mata lelah, tapi senang. Untuk pertama kalinya, ia merasa menulis bukan hanya pelarian, tapi penyelamat.
Dua hari kemudian, Dimas datang membawa kabar.
“Ran, tulisannya diterima buat buletin! Katanya bagus banget. Dan” Dimas mengangkat amplop cokelat kecil, “ini honornya.”
Rania menerima amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada dua lembar uang lima puluh ribuan. Ia tidak ingat kapan terakhir kali memegang uang sebanyak itu.
“Terima kasih, Dim. Kau nggak tahu betapa berharganya ini buat aku.”
Dimas tersenyum. “Kau pantas dapat lebih, Ran. Tulisanmu menginspirasi.”
Rania hanya mengangguk. Dadanya hangat. Bukan semata karena uang, tapi karena untuk pertama kali dalam hidupnya, tulisan bisa benar-benar memberi arti nyata. Namun hidup tidak berhenti di situ. Beberapa minggu berikutnya, keadaan keluarga di kampung makin sulit. Ayahnya masih sering sakit, dan ibunya kelelahan menjaga warung kecil yang mulai sepi pembeli. Rania tahu, ia tidak bisa terus bergantung pada kiriman yang tak pasti. Ia mulai mencari pekerjaan sambilan di sekitar kampus.
Setiap sore, setelah kuliah ia berkeliling mencari papan pengumuman. Beberapa warung menolak karena jadwal kuliahnya tidak tetap. Ia sempat hampir menyerah, sampai suatu sore ia melihat kertas kecil tertempel di tiang listrik dekat gerbang kampus.
“Dibutuhkan penjaga toko buku paruh waktu. Lokasi: Simpang Haru.” Ia langsung menyalin nomor telepon yang tertera.
Keesokan harinya, ia datang ke toko itu. Toko kecil tapi rapi, dikelola oleh seorang bapak berusia lima puluhan bernama Pak Alim. Wajahnya ramah, tapi matanya tajam menilai.
“Kenapa kamu mau kerja di sini?” tanya Pak Alim.
“Saya butuh uang, Pak,” jawab Rania jujur.
“Biasanya orang wawancara kerja di sini ngomongnya mau cari pengalaman.”
Rania tersenyum kaku. “Kalau saya, pengalamannya justru dari butuh uang, Pak.”
Pak Alim terdiam sebentar, lalu tertawa kecil. “Kamu jujur. Mulai besok sore, bantu jaga toko dari jam tiga sampai tujuh.”
Hari-hari Rania pun berubah. Pagi sampai siang ia kuliah, sore menjaga toko buku, untungnya tidak ada mata kuliah Rania yang waktunya terlalu sore, malam menulis atau mengerjakan tugas. Hidupnya tetap sederhana, tapi kini ada ritme yang membuatnya kuat. Gajinya tidak besar seratus ribu per minggu tapi cukup untuk beli makan dan kadang mengirim sedikit uang ke rumah.
Di sela waktu menjaga toko, Rania sering membaca buku yang dipajang di rak. Ia belajar dari karya orang lain, mengisi diri dengan kata-kata yang menyalakan semangat. Kadang Pak Alim memergokinya sedang membaca dan hanya tersenyum.
“Kamu ini kalau baca kayak orang sedang ingin segera menulis,” kata Pak Alim suatu sore.
Rania tertawa kecil. “Mungkin memang begitu, Pak. Kalau saya nggak punya waktu menulis, saya baca saja dulu biar tidak lupa rasanya.”
Pak Alim mengangguk. “Itu bagus. Teruskan. Hidup kadang memang harus diisi dengan hal yang membuat kita lupa bahwa kita sedang susah.”
Suatu malam setelah menutup toko buku, Rania pulang ke kos dengan langkah ringan. Di saku kirinya, ada uang seratus ribu yang baru dibayar Pak Alim. Ia mampir ke warung sederhana dan membeli sepiring nasi goreng serta segelas teh hangat. Rasanya seperti hadiah besar setelah sekian lama menahan lapar. Sambil makan, ia membuka buku catatan kecilnya. Di halaman pertama, ia menulis satu kalimat.
“Hidup memang tidak selalu baik, tapi selalu bisa diperjuangkan.”
Malam itu, ia merasa tidak lagi sendirian. Semester berikutnya, tulisan Rania mulai sering dimuat di buletin kampus dan beberapa media daring lokal. Namanya mulai dikenal di lingkungan fakultas. Beberapa teman bahkan memintanya mengajar Menulis Kreatif di komunitas kampus. Dari sana, ia mendapat tambahan uang jajan. Suatu hari, dosennya memanggilnya seusai kelas.
“Rania, saya baca tulisanmu di situs kampus. Kamu punya potensi besar. Coba kirim ke lomba nasional yang diadakan bulan depan. Temanya ‘Sastra dan Kehidupan Sosial’.”
Rania mengangguk senang, awalnya memang sempat ragu, tapi dorongan kecil itu membuatnya yakin mencoba. Ia menulis selama seminggu, memanfaatkan waktu istirahat kerja dan malam panjang di kamar kos. Karyanya jauh semakin lebih baik dan ia semakin bersemangat menulis. Sebulan kemudian, sebuah pesan masuk ke ponselnya saat ia sedang menjaga toko.
“Selamat! Anda memenangkan Juara 2 Lomba Cerpen Nasional ‘Sastra dan Kehidupan Sosial’.”
Rania terpaku, matanya berkaca-kaca. Ia membaca ulang pesan itu berkali-kali, memastikan tidak salah lihat. Saat itu juga, Pak Alim lewat di belakang dan bertanya, “Kenapa senyum-senyum sendiri?”
“Pak,” katanya pelan, suaranya bergetar, “tulisan saya menang lomba nasional.” Pak Alim tertegun sejenak lalu menepuk bahunya. “Lihat? Saya sudah bilang, yang tulus itu akan sampai juga pada tempatnya.”
Beberapa minggu kemudian, ia mendapat undangan untuk menghadiri acara penghargaan di kampus lain. Hadiahnya memang tidak besar, tapi cukup untuk melunasi uang kos dan membeli buku baru. Namun lebih dari itu, penghargaan itu memberi arti lain pada perjuangannya. Ketika ia berdiri di depan panggung, menerima piagam dan tepuk tangan dari orang-orang, Rania tersenyum lebar. Dalam benaknya terlintas wajah Ibu dan Bapak di rumah. Ia tahu, semua rasa lapar, jalan kaki, dan malam panjang yang ia lalui akhirnya terbayar.
Sore itu, sepulang dari acara, ia duduk di tepi jalan dekat kampus. Di tangannya, piagam masih terlipat rapi. Ia merogoh saku kiri, mengeluarkan uang kembalian dari ojek online sejumlah delapan ribu rupiah, angka yang sama seperti dulu saat ia memulai semua ini.
Ia tertawa kecil. “Delapan ribu lagi,” gumamnya. Tapi kali ini, bukan karena putus asa, melainkan rasa syukur.
Saku kiri itu kini bukan sekadar tempat menyimpan uang, tapi saksi setiap langkah perjuangannya. Rania menatap langit Padang yang mulai temaram, lalu menulis satu kalimat terakhir di buku catatannya.
“Ternyata, yang membuat seseorang bertahan bukan seberapa banyak yang ia punya, tapi seberapa kuat ia percaya bahwa besok akan tetap ada harapan.” Dan sore itu, untuk pertama kalinya, Rania benar-benar merasa kaya meski hanya dengan sisa uang di saku kiri.
Beberapa tahun kemudian...
Rania berdiri di balkon sebuah ruangan berpendingin di Jakarta, menatap kerlap-kerlip lampu kota yang tak pernah tidur. Di tangannya, ia memegang sebuah buku bersampul tebal, yang baru saja diluncurkan malam itu. Buku itu berjudul, "Saku Kiri Rania: Antologi Cerita Tentang Bertahan".
Ia baru saja menyelesaikan sesi tanda tangan. Namanya, Rania Rahayu, kini terukir sebagai salah satu penulis muda yang diperhitungkan. Dinding ruangan di belakangnya penuh dengan ucapan selamat dari editor, penerbit, dan teman-teman sastra. Ia mengenakan pakaian yang rapi, bukan lagi kaos lusuh dari kamar kos. Di sampingnya, seorang pria paruh baya tersenyum bangga. Itu Pak Alim, yang datang jauh-jauh dari Padang, kini menjadi salah satu tamu kehormatan.
“Lihat, Ran? Saya sudah bilang, ketulusan itu tidak akan pernah salah alamat,” kata Pak Alim, suaranya dipenuhi haru.
Rania memeluk Pak Alim. “Terima kasih, Pak. Toko buku Bapak adalah sekolah kedua saya.”
Di sela-sela keramaian, Rania kembali menarik napas panjang. Ia merogoh saku kiri celananya. Kebiasaan itu tak pernah hilang. Kali ini, saku itu tidak kosong. Ada kartu identitas, ponsel, dan beberapa lembar uang kertas seratus ribuan yang ia lipat rapi. Namun, selain uang, saku kirinya juga menyimpan selembar kertas kecil yang ia potong dari piagam lomba cerpen pertamanya dulu. Di atas potongan kertas itu, ada tulisan tangan Rania.
“Ternyata, yang membuat seseorang bertahan bukan seberapa banyak yang ia punya, tapi seberapa kuat ia percaya bahwa besok akan tetap ada harapan.”
Ia tersenyum, senyum tulus yang berbeda dari senyum pura-pura kenyang bertahun-tahun lalu. Ia tahu, ia telah berhasil mengubah rasa lapar menjadi karya, dan kesulitan menjadi inspirasi. Saku kiri itu, yang dulu adalah lambang kekurangan, kini telah menjadi simbol keberanian. Rania menutup buku pertamanya, memeluknya erat, dan menatap ke depan. Ia siap menulis cerita baru. Bukan lagi tentang bertahan hidup, tapi tentang hidup yang diperjuangkan.
Biodata Penulis:
Nia Rahmayuni, lahir pada tanggal 5 September 2005 di Bangkinang, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Program Studi Sastra Indonesia, di Universitas Andalas. Ia terlibat di UKPM Genta Andalas.