Oleh Maulida Az-Zahra
Langit kampus pagi itu berwarna biru pudar, seperti cat dinding yang pelan-pelan luntur tetapi tetap menyimpan sisa kilau. Anisa berjalan pelan di antara deretan pohon ketapang yang meranggas, ranting-rantingnya menebarkan bayangan runcing ke trotoar. Matahari belum sepenuhnya naik, tetapi udara sudah mulai mengusir dingin malam. Di pundaknya, ransel hitam terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah memuat beban yang tak tertulis di jadwal kuliah.
Suara notifikasi ponsel beberapa kali bergetar di saku jaket. Anisa mengabaikannya, meski ia tahu itu dari grup tugas kelas Sastra Kontemporer. Tugas presentasi minggu depan belum tersentuh, tapi bukan itu yang membuat jantungnya berdetak cepat sejak subuh. Semalam, Ayah menelepon dengan suara yang terdengar jauh, bukan hanya karena jarak ribuan kilometer, melainkan karena ada sesuatu di dalam suara itu yang terdengar patah.
“Nak, kalau bisa… libur semester ini kamu pulang dulu,” kata Ayah lirih. Nada suaranya datar, tetapi setiap jeda seperti diseret dari dalam dada.
Anisa langsung duduk di tepi ranjang, lampu kamar kos masih temaram. “Kenapa, Yah? Ada apa?”
Di seberang sana, hanya helaan napas. “Ayah… sakit. Tapi kamu jangan khawatir, ya.”
Kalimat itu lebih menakutkan daripada pengakuan apa pun. Anisa menunggu, tetapi telepon tiba-tiba berakhir. Hanya bunyi beep-beep singkat yang tertinggal, memantul di dinding kamar.
Sejak malam itu, Anisa merasa dirinya berjalan di antara dua dunia: dunia kampus dengan tugas, ambisi, dan deadline yang menuntut fokus, dan dunia rumah yang samar, penuh rahasia, serta kemungkinan kehilangan.
Kelas Teori Sastra dimulai pukul delapan. Anisa sengaja datang lebih awal, berharap udara pagi bisa menenangkan pikirannya. Koridor gedung C yang biasanya riuh kini masih lengang. Beberapa mahasiswa duduk di lantai sambil membuka laptop, sebagian sibuk menggulung kabel charger. Di ujung koridor, pintu ruang 304 setengah terbuka, suara kursi digeser pelan terdengar dari dalam.
Anisa memilih duduk di bangku paling belakang, dekat jendela. Dari sana ia bisa melihat pepohonan trembesi di halaman tengah, daunnya bergoyang pelan. Hamzah, teman satu jurusannya, muncul tak lama kemudian. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya menyimpan sisa kantuk.
“Kamu pagi banget,” sapa Hamzah sambil menaruh tas. “Biasanya kamu datang mepet.”
“Enggak bisa tidur,” jawab Anisa singkat.
Hamzah menatapnya sejenak. “Ada masalah?”
Anisa membuka mulut, tapi menutupnya lagi. Sejak kecil, ia terbiasa menahan cerita. Ayah dan Ibu selalu bilang ia anak yang kuat, mandiri, tidak gampang cengeng. Kekuatan itu kini terasa seperti tembok yang justru memenjarakan.
Dosen masuk, membacakan puisi Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni. Suaranya tenang, namun setiap kata seolah menetes perlahan ke dalam kepala Anisa. Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni…
Ia merasakan setiap kata bukan sekadar bunyi, melainkan sesuatu yang menyinggung hatinya: tentang keheningan, tentang hal-hal yang disembunyikan demi orang lain.
Ketika dosen bertanya, “Menurut kalian, apa makna keheningan dalam puisi ini?” beberapa tangan terangkat. Jawaban bermunculan: rindu, kesabaran, penantian. Anisa diam. Bibirnya ingin berkata, Keheningan adalah rasa takut yang disamarkan, tapi suaranya tercekat.
Hamzah meliriknya. “Kenapa kamu diam terus?” bisiknya.
Anisa hanya menggeleng, menatap jendela. Di luar, angin meniup dedaunan.
Seusai kelas, Hamzah menghampiri lagi. “Serius, kamu kenapa? Mukamu pucat dari tadi.”
Anisa mencoba tersenyum. “Enggak apa-apa.”
“Jangan bohong. Yuk, kita ke kantin. Butuh kopi kayaknya.”
Tanpa menunggu jawaban, Hamzah menarik lengan Anisa. Mereka berjalan melewati lorong panjang menuju kantin utama. Bau kopi, suara piring beradu, dan tawa mahasiswa menyambut. Di meja pojok, mereka duduk berhadapan.
Hamzah menatap Anisa penuh kesungguhan. “Kalau mau cerita, aku dengerin. Enggak usah takut bikin suasana aneh.”
Butuh beberapa detik sebelum Anisa berani membuka suara. “Ayah sakit,” katanya pelan.
“Tapi… Ayah enggak mau cerita detailnya. Cuma bilang minta aku pulang.”
Hamzah terdiam. “Kamu sudah tanya Ibu?”
“Sudah. Ibu bilang Ayah beberapa kali pingsan, tapi mereka enggak mau aku panik. Katanya fokus kuliah saja.” Anisa menunduk. “Aku benci dibilang begitu. Seolah aku enggak punya hak khawatir.”
Hamzah menatapnya lama, lalu berkata, “Kadang orang tua diam bukan karena enggak peduli. Mereka cuma enggak mau kita merasa terbebani. Tapi itu justru bikin kita makin takut.”
Anisa menggigit bibir. Kata-kata Hamzah seperti menampar sekaligus menenangkan.
Malam itu, di kamar kos, Anisa menatap layar laptop yang menampilkan draf tugas esai. Kata-kata terasa asing. Pikirannya melayang pada suara Ayah yang serak, pada foto-foto lama di ponsel: Ayah memegang trofi lomba catur SMP-nya, Ayah menjemputnya di terminal saat pertama kali masuk kuliah. Semua kenangan menumpuk seperti tumpukan buku yang hampir roboh.
Dengan jari gemetar, ia menekan tombol panggilan. Telepon berdering lama. Saat tersambung, suara Ayah terdengar lemah.
“Ayah…” suaranya bergetar. “Ana pulang.”
Di seberang sana, hening sejenak. “Kenapa tiba-tiba?”
“Ayah sakit. Ana mau tahu… seberapa parah.”
“Ayah…” suara itu pecah, “…kena kanker. Stadium tiga.”
Dunia Anisa seketika menyempit. Suara kipas angin, denting jam dinding, semua terdengar jauh. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
“Kenapa enggak bilang dari dulu?” isaknya.
“Ayah takut kamu berhenti kuliah. Ayah takut kamu kesampingkan impianmu. Ayah cuma pengen kamu terus maju.”
Kalimat itu membuat hati Anisa remuk sekaligus hangat. Ayah yang keras, yang jarang memeluk, ternyata memendam ketakutan yang sama.
Setelah telepon ditutup, Anisa duduk lama di lantai kamar kos. Layar ponsel redup, tapi suara Ayah masih terngiang. Kanker stadium tiga—kata-kata itu bergema seperti bunyi genta yang tak berhenti, menggema ke sudut-sudut hati yang paling sunyi. Di luar jendela, lampu jalan memantulkan cahaya ke dinding kamar, menciptakan bayangan samar yang bergerak setiap kali angin menggeser tirai.
Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari ketika Anisa akhirnya beranjak. Ia menyalakan lampu, menatap meja belajar penuh kertas tugas dan buku catatan. Semua hal yang tadi terasa penting kini tampak jauh, seperti benda-benda di ujung galaksi. Di dalam dirinya, ada dorongan yang tak bisa lagi ditahan: pulang.
Ia mulai mengemasi beberapa pakaian ke dalam koper kecil. Tangan gemetar ketika melipat jaket kesayangan—jaket yang dulu Ayah belikan sebelum ia berangkat kuliah. Waktu itu, Ayah bercanda, “Biar kamu enggak kedinginan di kota perantauan.” Candaan sederhana yang kini terasa seperti pesan perlindungan yang lebih dalam.
Pagi menjelang, Anisa sudah berdiri di depan loket stasiun, menunggu kereta pertama ke kota asalnya. Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya. Di layar ponsel, pesan-pesan dari grup tugas terus berdatangan: pengingat deadline, file presentasi, dan pertanyaan-pertanyaan kecil yang biasanya membuatnya sibuk. Kali ini, ia hanya menatapnya sekilas lalu menonaktifkan notifikasi.
Kereta berangkat tepat pukul tujuh. Anisa duduk di dekat jendela, menatap rel yang memanjang tak berujung. Pemandangan kota perlahan berganti sawah, bukit, dan langit yang semakin terang. Di dalam gerbong, suara roda besi berpadu dengan dentingan sendok dari pedagang kopi keliling. Semua terasa asing dan akrab sekaligus.
Di kepalanya, kenangan tentang Ayah datang bertubi-tubi: tangan Ayah yang kasar tapi selalu lembut ketika mengelus kepalanya; suara tawa Ayah setiap kali menonton acara lawak; tatapan Ayah saat melepasnya ke kampus di hari pertama. Semua itu kini menjadi potongan gambar yang berputar cepat, membuat dadanya sesak.
Rumah keluarga Anisa terletak di pinggiran kota, di ujung gang sempit yang dipenuhi pohon jambu. Saat turun dari ojek, Anisa langsung melihat pintu kayu tua yang selalu dicat Ayah setiap tahun. Kini, catnya mulai terkelupas. Ia menarik napas dalam, lalu mengetuk pelan.
Pintu dibuka oleh Ibu. Wajah Ibu terlihat lebih pucat, tapi senyumnya tetap sama. “Ana…” suara Ibu bergetar. Mereka berpelukan lama, kehangatan tubuh Ibu seolah menahan semua ketakutan yang sejak tadi berusaha keluar.
“Ayah di dalam?” tanya Anisa pelan.
Ibu mengangguk. “Sedang tidur. Dokter baru pulang tadi pagi.”
Anisa melangkah masuk. Rumah itu masih sama: aroma kayu, rak buku kecil di sudut ruang tamu, dan foto keluarga di dinding. Tapi ada sesuatu yang berbeda—udara terasa lebih berat, seolah setiap sudut menyimpan cerita yang tak diucapkan.
Di kamar, Ayah terbaring dengan selimut menutupi dada. Tubuhnya tampak lebih kurus. Anisa mendekat pelan. Ayah membuka mata perlahan, dan ketika melihatnya, sebuah senyum kecil muncul di sudut bibir.
“Ana pulang,” bisik Ayah. Suaranya parau tapi hangat.
Anisa menggenggam tangan Ayah yang dingin. “Kenapa enggak cerita dari awal?” tanyanya, air mata jatuh tanpa bisa dicegah.
Ayah menatap langit-langit, seolah mencari kata-kata. “Ayah cuma… pengen kamu enggak terbebani. Kuliah itu impian kamu. Ayah takut kalau kamu tahu, kamu berhenti.”
Anisa menggeleng, menahan isak. “Impian itu enggak ada artinya kalau Ayah enggak ada.”
Ayah tersenyum tipis. “Justru karena Ayah ada, kamu harus terus. Itu cara kamu membahagiakan Ayah.”
Kata-kata itu seperti pelukan tak terlihat—hangat, namun juga menyesakkan.
Hari-hari berikutnya, Anisa menghabiskan waktu di rumah. Ia membantu Ibu memasak, menyiapkan obat Ayah, dan membersihkan rumah. Setiap sore, mereka bertiga duduk di teras, menikmati semilir angin. Kadang-kadang Ayah bercerita tentang masa mudanya: tentang mimpi yang tak semua bisa diwujudkan, tentang kesalahan yang kini hanya bisa dikenang.
“Ayah dulu pengen jadi penulis,” kata Ayah suatu sore. “Tapi keadaan enggak memungkinkan. Jadi Ayah kerja apa saja supaya bisa nyekolahin kamu.”
Anisa menatapnya, merasakan sesuatu menegang di dada. “Ana kuliah sastra. Berarti Ana melanjutkan mimpi Ayah, ya?”
Ayah tertawa pelan. “Iya. Makanya Ayah enggak mau kamu berhenti. Lanjutkan, meskipun Ayah enggak selalu bisa di sini.”
Setiap kata itu menancap dalam, menjadi semacam wasiat yang tak tertulis.
Suatu malam, setelah Ayah tidur, Anisa duduk di ruang tamu bersama Ibu. Lampu temaram membuat bayangan di dinding bergerak lembut. Ibu menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Ana, kamu boleh kok kalau mau menunda kuliah sebentar. Ibu bisa urus Ayah, kamu fokus di sini.”
Anisa menatap cangkir teh di tangannya. “Tapi Ayah pengen Ana terus lanjut.”
Ibu tersenyum pahit. “Ayah selalu begitu. Dia pikir dia melindungimu dengan cara menyembunyikan rasa sakitnya. Tapi Ibu tahu, kamu juga butuh waktu.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Anisa memikirkan kampus, tugas, dan teman-temannya. Semua terasa jauh, tapi sekaligus memanggil.
Seminggu kemudian, Anisa harus membuat keputusan. Ia duduk di kamar dengan laptop terbuka, menatap formulir perpanjangan cuti kuliah yang sudah diisi setengah. Di luar, suara batuk Ayah terdengar samar.
Hamzah menelepon. “Hei, gimana kabarnya?”
Anisa menahan napas. “Aku di rumah. Ayah sakit lumayan parah.”
“Ya Allah, Ana… kalau kamu butuh apa-apa, bilang. Presentasi minggu depan bisa kita handle.”
Anisa terdiam. “Aku bingung, Zah. Aku pengen di sini, tapi Ayah pengen aku terus kuliah.”
Hamzah terdiam sejenak, lalu berkata, “Kadang yang orang tua mau bukan pilihan praktis, tapi harapan mereka supaya kita tetap punya masa depan. Kalau kamu berhenti, Ayah pasti khawatir kamu enggak lanjutin.”
Anisa menggigit bibir. “Tapi aku takut kalau aku pergi, aku enggak sempat… bareng Ayah.”
“Enggak ada jawaban yang sempurna,” suara Hamzah lembut. “Yang penting, kamu ambil keputusan yang bikin kamu enggak nyesel, Ana. Ayah pasti ngerti.”
Anisa menutup mata, mendengarkan kata-kata itu bergema dalam dirinya.
Keesokan paginya, Anisa duduk di samping Ayah yang masih tidur. Ia memandangi wajah Ayah yang kini lebih pucat, namun tetap memancarkan ketenangan. Dalam hati, Anisa berbicara: Ayah, Ana akan lanjut kuliah. Tapi Ana juga akan pulang sesering mungkin. Ana enggak akan biarkan kita kehilangan waktu.
Ayah membuka mata perlahan, seolah mendengar. Sebuah senyum kecil muncul. “Kamu sudah memutuskan?”
Anisa mengangguk, menahan air mata. “Ana akan tetap kuliah, tapi Ana akan sering pulang. Ana enggak mau menyesal.”
Ayah menggenggam tangannya, menekan pelan. “Itu pilihan yang Ayah harapkan. Hidup ini bukan soal memilih orang tua atau mimpi. Hidup ini soal bagaimana kita menjaga keduanya.”
Hari-hari setelah keputusan itu terasa berbeda. Anisa kembali ke kampus dengan hati yang penuh, bukan lagi setengah. Ia mulai mengatur jadwal agar bisa pulang setiap akhir pekan. Di setiap pertemuan kelas, ia merasakan kata-kata Ayah menyertai: Terus maju. Jangan lupa pulang.
Hamzah menyambutnya di gerbang kampus. “Kamu kelihatan lebih tenang sekarang,” katanya.
Anisa tersenyum tipis. “Karena aku tahu kemana aku harus kembali.”
Langit sore itu berwarna oranye lembut. Di kejauhan, suara bel kampus bergema seperti irama yang menandai awal dari sesuatu. Anisa menatap langit, merasakan semacam ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Minggu-minggu berikutnya berjalan seperti tarian pelan antara dua dunia. Di kampus, Anisa kembali mengikuti kelas, berdiskusi, menulis esai, dan menyiapkan presentasi. Di setiap kata yang ia tulis, ada bayangan Ayah yang terselip: mimpi-mimpi yang dulu tertunda, keberanian untuk terus berjalan. Di rumah, setiap akhir pekan, ia membantu Ibu menyiapkan makan malam, memijat punggung Ayah, atau sekadar duduk mendengarkan cerita-cerita lama yang tiba-tiba menjadi begitu berharga.
Setiap kali kereta melaju membawa Anisa pulang atau kembali ke kampus, ia selalu menatap jendela lama-lama, membiarkan pemandangan sawah dan langit senja mengisi dadanya dengan kesadaran: hidup bukan sekadar memilih, tetapi merawat apa yang kita cintai. Kampus memberinya ilmu dan masa depan; rumah memberinya akar, alasan, dan cinta yang tak tergantikan.
Suatu sore di teras rumah, Ayah memandang langit yang mulai berubah warna. “Ana,” katanya pelan, “Ayah mungkin enggak bisa lama-lama menemani. Tapi Ayah tenang karena kamu sudah tahu ke mana pulang, dan ke mana melangkah.”
Anisa menggenggam tangan Ayah, menatap wajah yang kini dipenuhi garis waktu. “Ayah, selama Ana masih bisa menulis dan bermimpi, setiap kata akan selalu jadi jalan pulang ke Ayah.”
Ayah tersenyum. Senyum yang menyimpan seluruh kelelahan dan kebahagiaan sekaligus.
Di kampus, di rumah, di setiap rel kereta yang menghubungkan keduanya, Anisa akhirnya mengerti: menjadi dewasa bukan berarti meninggalkan, melainkan belajar membawa pulang setiap cinta, lalu berjalan lagi dengan hati yang tetap utuh.
Biodata Penulis:
Maulida Az-Zahra saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Seiring kesibukan kuliah, ia terlibat dalam kegiatan perkuliahan dan organisasi kampus. Penulis bisa dihubungi melalui Instagram @maulidaazhr__