Merawat Lupa

Cerpen ini bercerita tentang perjalanan hidup Ari dan Rana, dua sahabat masa kecil dari pulau terpencil yang terpisah oleh keadaan, dipertemukan ...

Oleh Neo Achmad Maulana

Ini adalah pulau Ika, pulau kecil di ujung dunia, jauh dari hiruk-pikuk dan kemajuan zaman. Luasnya hanya sekitar satu kecamatan. Timur ke Barat bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Penduduknya kurang dari tujuh ratus jiwa. Hampir semua penghuninya saling mengenal dari ujung ke ujung.

Hanya ada satu sekolah di pulau ini. Sebuah sekolah dasar. Semua penduduk pulau pasti pernah bersekolah di sini. Bangunannya satu lantai. Tidak ada pembagian kelas seperti 1A dan 1B. Hanya satu kelas untuk setiap angkatan.

Pukul 11.30. Lonceng jam istirahat berbunyi. Anak-anak berhambur keluar kelas. Memenuhi kantin, lapangan, dan tempat lain. Tawa bahagia mengalir di setiap bagian sekolah.

Di sisi lain, beberapa murid tidak tertarik untuk keluar dari ruang belajar itu. Salah satunya adalah sepasang teman sebangku, Rana dan Ari. Setiap hari mereka makan siang bersama. Senang menghabiskan bekal yang sudah disiapkan ibu sembari bercakap-cakap. Membahas tentang apa saja yang terpikirkan.

“Kamu makan apa hari ini, Ran?” 

“Ikan tongkol asam pedas, enak banget. Kamu makan apa? Kelihatannya nggak enak.” Canda Rana pada Ari.

“Ngawur kamu, ini enak banget.” Jawab ari sambil menunjuk tahu dan tempe gorengnya.

“Emang enak beneran itu? Aku boleh minta satu?” Ari berharap.

“Gak boleh” 

Setelah panjang lebar Ari memohon. Rana akhirnya mengalah. Lebih tepatnya muak.

“Ya sudah, nih. Satu ya”

“Makasih Rana” Ari tersenyum puas. Sembari melanjutkan makan siangnya. 

Benar kata Rana. Ikan masakan ibunya memang enak sekali. Bumbunya benar-benar meresap sempurna. Curiga ibu Rana pernah jadi koki MBG.

“Setelah lulus SD. Kamu mau lanjut SMP di mana, Ran?” Ari basa-basi.

“Aku ngikut pilihan orang tua, Ri. Pastinya bukan di pulau ini. Orang sekolahnya cuma satu. Kata orang tuaku sih di SMP 10 pulau sebelah. Karena dekat dengan rumah saudara. Kalau kamu, Ri?”

“Aku juga ngikut pilihan orang tua. Belum tahu di mana. Minta satu lagi dong ikannya. Enak.” Ari mendadak mencomot satu ikan dari kotak bekal Rana.

“ARII!!”

Beberapa hari berlalu, Ujian Nasional sudah dilewati. Para siswa mengenakan baju wisudanya, menyanyikan lagu-lagu perpisahan. Mengambil ijazah. Sungkem dengan orang tua. Berdrama tentang kesuksesan setelah berjuang selama enam tahun. Berdoa bersama untuk masa depan yang baik.

Ari tidak tertarik dengan rangkaian acara ini. Pikirannya ada di hal lain. Ari sedih. Orang tuanya tidak bisa mendaftarkannya di SMP. Karena biaya menuju pulau seberang lumayan mahal. Ari diminta membantu pekerjaan ayahnya sebagai nelayan.

Hari itu, Ari tidak banyak bicara dengan Rana. Dia lebih sering menatap Rana dari kejauhan. Begitu juga sebaliknya. Ada sesuatu yang mengganjal di hati mereka. Seperti kosong? Keduanya belum mengenali perasaan itu.

Cerpen Merawat Lupa

Hari demi hari mengalir begitu cepat. Ari rajin membantu pekerjaan ayahnya. Di pulau ini, banyak anak-anak lulusan SD yang tidak melanjutkan sekolah. Salah satunya bernama Ucil. Sahabat terdekat Ari. Kehadirannya menyelamatkan Ari dari kesepian.

Sesekali, Ari mengunjungi rumah Rana. Menatap sebentar dari jauh. Setelah itu, dia kembali melanjutkan pekerjaannya. Pelan-pelan pikirannya teralihkan dengan kegiatannya berlayar dan menjala ikan. Melewati hari demi hari sebagai seorang nelayan, melepas beban pikirannya tentang Rana.

***

Hampir satu tahun berlalu begitu saja. Tidak ada sesuatu yang menarik untuk diceritakan. Rumah Ari ramai. Pamannya berkunjung dari luar pulau. Dia membawa banyak jajanan khas kotanya. Ibu mondar-mandir menyajikan makanan dan minuman. Ari sesekali membantu. Ayah duduk santai di depan paman. Berbagi rasa dan tertawa.

“Ari, Sini!” Ayah melambaikan tangannya.

“Iya” Ari menurut. Dia duduk di samping ayahnya.

“Kamu mau sekolah, nak?”

Ari sedikit tidak percaya kalimat itu terucap dari ayahnya. “Mau, yah”

“Pamanmu ini guru di pulau seberang. Kebetulan sekolahnya menawarkan beasiswa.” 

“Kalau mau. Aku daftarkan, Ri. Dua bulan lagi kamu berangkat. Kamu bisa lanjut sampai SMA di sekolahku. Gratis. Oh iya, kuota beasiswa masih ada satu lagi. Ajaklah temanmu.” Ucap paman.

Ari sedari awal memasang kuping baik-baik. Menjawab tawaran dari pamannya dengan antusias. Berteriak kegirangan. Berlari-lari seperti anak kecil yang mendapat es krim.

***

Tiga tahun berlalu sejak Ari meninggalkan pulau Ika. Udara pagi di kota ini tidak terlalu segar. Jalan raya dipenuhi berbagai macam kendaraan. Trotoar dipenuhi manusia yang berlalu lalang. Para pekerja sibuk dengan urusan masing-masing. Beberapa terlihat tergesa-gesa. Beberapa terlihat bercakap melalui telepon genggam.

Pemandangan di depan pintu masuk sekolah dipenuhi dengan siswa berseragam putih abu-abu. Para siswa berkerumun, berjalan santai sambil berbagi tawa dengan teman-temannya. Ari berjalan bersama temannya memasuki gerbang.

“Kamu gugup, Ri?” Ucil bertanya asal.

“Nggak. Biasa aja. Cil” Jawabnya. Sembari melangkah menuju lantai dua, kelasnya berada.

Mereka memasuki kelas. Mencari tempat duduk yang nyaman. Bersebelahan. Menunggu jam pelajaran pertama dimulai.

Ruang itu sederhana. Di dalamnya ada sekitar 30 bangku kayu. Dua kipas angin di bagian kiri dan kanan. Di bagian belakang ada papan mading yang penuh dengan kreasi tangan.

Hari pertama sebagai siswa SMA. Para guru tidak membahas tentang materi. Hanya perkenalan diri dan menjelaskan rencana pembelajaran pada satu tahun ke depan. Tidak terasa, pagi berlalu begitu saja. 

KRIIING!!

Bel sekolah berbunyi. Pukul 14.00. Waktunya pulang. Ibu guru menutup pertemuannya. Para siswa memasukkan buku-buku ke dalam tas. Beranjak pulang dengan teman-temannya.

Ari kembali mengobrol dengan Ucil. Menuju lorong panjang sekolah. Melewati barisan ruang kelas di kanan kiri. Ari iseng menengok ke dalam salah satu kelas. Matanya langsung tertuju pada wanita di ujung kelas.

Ari terdiam. Langkahnya terhenti. Wanita berambut sebahu itu sedang menghapus papan tulis. Teman masa kecil Ari. Perempuan yang dulu menjadi teman makannya di sekolah dasar. Kenapa bisa ada di tempat ini.

Bingung antara percaya dan tidak. Setelah berpikir lama. Ari bermaksud menyapanya. Perlahan memasuki kelas tempat perempuan itu berada. Berdiri di belakangnya. Menyiapkan mental.

“Halo kak?” Suaranya sedikit bergetar.

Perempuan itu menoleh sepenuhnya. Tidak salah lagi. Ini Rana. Wajahnya terlihat lebih dewasa. Rana menatap Ari beberapa detik.

“Iya. kenapa?” Wajahnya terlihat bingung.

“Kamu Rana ya?” Ari bertanya canggung.

“Iya. Kamu siapa?” 

“Aku Ari” Wajahnya tidak kuasa menahan senyum.

“Ari?” Rana berpikir keras.

“Ari teman sebangkumu dulu” Ari menjawab tidak sabar.

“Maaf. Ari siapa ya? Aku gak tahu.” 

Ari bingung. Apakah dia salah orang? Tapi nama perempuan itu Rana. Atau mungkin hanya kebetulan namanya sama? Wajahnya pun mirip dengan Rana. Aneh.

“Oh. Maaf kak, saya kira teman saya.” Ari mundur sedikit demi sedikit. Menghindari percakapan lebih lanjut. Seraya melangkah keluar kelas. Takut dikira orang aneh.

“Hei. Ngapaian kamu? Aku mencarimu.” Ucil menepuk bahu Ari. Penasaran melongok ke dalam kelas.

“Itu kan teman sekelas kita dulu, Ri?” Ari mengangkat bahu. Tidak menjawab. Menarik temannya pergi. Pulang.

Ari dan Ucil tinggal di satu kamar yang sama. Di sebuah kos di sekitar sekolah.

Ucil sedang berbaring sambil scroll TikTok. “Ri, lihat ini di kota ini akan ada gempa.” Ucil menyodorkan ponselnya ke Ari.

“Hoaks itu, yang upload saja username-nya ‘anomali boyolali’ gak mungkin itu.”

Ari tidak percaya lagi dengan hal-hal semacam itu. Setelah beberapa kali dia termakan hoaks prediksi bencana alam dari FYP-nya. Meteor, gempa bumi, gunung meletus. Ternyata tidak ada satu pun yang benar-benar terjadi.

“Kenapa kamu narik aku tadi Ri?” Ucil langsung pindah topik.

“Itu tadi bukan Rana. Kalau itu Rana dia gak mungkin lupa denganku.”

“Kamu tadi menyapanya?”

Ari menceritakan kejadian lengkapnya.

“Tapi aku kenal wajahnya, Ri. Itu memang Rana. Besok coba kau ajak ngobrol lagi.” Ucil meyakinkan Ari.

Keesokan harinya, saat jam istirahat, Ari mencari Rana di kelasnya. Hasilnya nihil. Seorang murid memberitahunya bahwa Rana sedang berada di kantin. Ari langsung bergegas ke sana.

“Permisi, kak Rana ya?” 

“Iya. Kamu orang yang kemarin ya? Ada apa sebenarnya?” Rana mencoba terbuka.

Ari mengulurkan tangannya. “Perkenalkan namaku Ari.”

Setelah menatap wajah Rana sekali lagi. Ari semakin yakin bahwa itu benar-benar Rana yang dulu.

“Kakak anggota Ekskul Paskibra, ya? Kata temanku kalau mau tanya-tanya bisa ke kakak?” Ari pura-pura bertanya soal Paskibra. Sebenarnya dia hanya ingin ngobrol.

“Iya, aku anak Paskibra. Mau ikut?”

“Latihannya berat nggak, kak?”

Percakapan terus mengalir hingga bel tanda masuk kembali berbunyi.

“Kak Rana. Aku boleh minta nomor ponselnya? Aku mau tanya lebih lanjut tentang Ekskul Paskibra.” Jantungnya berdetak cepat.

Rana tidak curiga sama sekali. Mulai membacakan nomornya. Ari semangat mencatat. 

“Makasih kak.” Ucapnya seraya berpamitan kembali ke kelas.

Begitu punggungnya tidak lagi terlihat oleh Rana, Ari mengepalkan tangan.

“Yes!!”

Selang satu bulan setelah Ari menyimpan nomor Rana. Mereka akhirnya pacaran.

Ari akhirnya menemukan jawaban dari misteri yang selama ini ia kejar. Ternyata Rana mengidap sebuah kondisi langka: ada sel parasit di otaknya yang tidak berbahaya secara fisik, tetapi membuatnya mudah melupakan sesuatu yang tidak lagi sering dilihat atau didengar, entah itu benda, tempat, maupun seseorang.

“Tulis di catatanmu, Ran. Hari ini kamu habis makan batagor dua bungkus. Biar kamu gak lupa kalau kamu rakus.” Ari menggoda pasangannya.

“Aku tuh nyatet yang penting-penting, Rii.” Rana mencubit lengan Ari. Menyilangkan tangannya sambil membelakangi Ari. Berpura-pura marah.

“Ya udah. Nih catet.” Ari menunjuk wajahnya. “Biar kamu gak lupain aku.”

Rana tersenyum. Menatap Ari lembut. “Aku gak akan lupakan kamu”

Rana selalu mencatat hal-hal penting di ponselnya: kegiatan, kebutuhan, bahkan kenangan kecil dari masa lalu. Sayangnya, ia baru diperbolehkan memegang ponsel sendiri saat kelas delapan. Karena itu, tidak ada satu pun catatan tentang Ari.

Ari menerima semua keadaan ini dengan hati yang lapang. Bagaimanapun kondisi Rana, dia tetap mencintainya.

Pagi yang cerah. Ibu guru membahas tentang Aljabar. Ari mengantuk. Tidak paham sama sekali. Di sebelahnya, Ucil sudah tidur pulas dari tadi. Mulutnya terbuka. Liurnya keluar. Padahal ini masih jam pertama. Dia sudah bahagia di alam mimpinya.

BRAAK!!

Botol minum milik salah satu siswa terjatuh. Tidak mengacaukan suasana kelas. Ibu guru juga membiarkan.

PRANGG!!

Jam dinding terjatuh. Ucil terbangun. Mengelap liurnya yang memenuhi pipi. Beruntungnya tidak ada seseorang yang tertimpa. Ruangan tiba-tiba bergetar hebat. Semua murid panik. Suara teriakan panik terdengar dari berbagai arah.

KRIIING!!

Bel darurat berbunyi. Bangunan mulai retak. Dinding di sisi kanan sekolah mulai roboh. Disusul sisi lainnya. Sampai sekolah itu sepenuhnya ambruk. Menjadi tumpukan beton yang rapuh.

***

Entah berapa hari setelah bencana itu. Kondisi Rana tidak diketahui. Di sisi lain, Ari masih hidup. Kondisinya mengenaskan. Tidak bisa bergerak diapit reruntuhan. Kelaparan. Kehausan. Satu-satunya kabar baik, yaitu Ucil masih hidup. Dia berada di sebelah Ari. Mereka sama-sama tidak bisa bergerak. Ari dan Ucil menghabiskan waktunya dengan bercakap di dalam gelap.

Situasi tidak nyaman ini akhirnya berakhir. Ari menyadari ada sebuah cahaya dari sudut reruntuhan. Tim penyelamat mengangkat reruntuhan yang menimpanya. Sinar matahari terlihat jelas. Ari ditandu bersama Ucil menuju ambulans. Kondisi bangunan di sekitar hancur lebur. Tidak bersisa.

“Pak, korban yang bernama Rana sudah dievakuasi?” Ari bertanya dengan sisa tenaganya.

“Belum, kami usahakan sekuat tenaga untuk mencarinya.” Salah satu petugas meyakinkan Ari.

***

Tiga tahun setelah gempa bumi yang menghancurkan seisi kota. Ari akhirnya lulus sekolah. Ari menamatkan sisa sekolahnya di tenda darurat. Disatukan dengan murid sekolah lain. Kos Ari dan Ucil porak-poranda. Selama ini mereka tinggal di tenda pengungsian bersama para warga.

Gempa bumi itu melanda kota ini dan beberapa daerah di sekitarnya. Sampai sekarang, masih ada sisa reruntuhan yang belum dibersihkan. Banyak korban yang belum ditemukan. Terhimpit di antara reruntuhan. Beberapa bulan ini, jasad-jasad yang ditemukan sudah menjadi kerangka. Baunya tidak menyengat seperti tahun lalu.

Bagaimana kondisi Rana? Tidak diketahui. Setelah tiga tahun lamanya menyusuri setiap tempat yang mungkin pernah didatanginya, Ari tetap tidak menemukan satu pun jejak. Entah ia masih hidup atau sudah tiada. Kalaupun hidup kemungkinan besar Rana sudah tidak mengingat Ari lagi. Puing-puing sekolah sudah tamat dievakuasi, rumah Rana yang hancur, rumah teman-temannya, pusat perbelanjaan kecil di kota, stasiun, terminal, semua sudut yang masuk akal, atau yang di luar nalar. Tidak ada apa pun.

Ari mulai putus asa. Pikirannya sudah mentok. Dia sekali lagi kehilangan orang yang dicintainya. Kosong yang dulu dialaminya datang lagi. Bedanya, sekarang menimpa seorang pria yang sudah tumbuh dewasa, bukan anak ingusan yang senang berlayar bersama teman-temannya. Jauh lebih perih. 

***

Ari turun dari kapal. Disusul Ucil. Menginjakkan kaki di kampung halamannya. Keduanya berpisah. Berjalan menuju rumah. Berniat me-surprise kedua orang tuanya.

Tidak ada sinyal di pulau itu, sehingga ayah dan ibu tidak pernah mendapat kabar apa pun tentang Ari. Mereka hanya tahu soal gempa dari televisi, lalu memutuskan menjenguknya saat dirawat di rumah sakit. Itu pun terjadi dua tahun yang lalu.

“Assalamualaikum. Paket!!” Ari bingung sendiri. Mana ada tukang paket di pulau ini.

“Waalaikumsalam” Ibu membuka pintu. Beberapa detik menatap Ari. “ARI, Anakku!!” Ibu memeluk Ari. Ayahnya berlari dari kamar. Dia mendengar teriakan ibu. Sama terkejutnya. Turut melingkarkan lengannya.

Setelah enam tahun merantau, pulau Ika banyak berubah. Sebuah menara sinyal, sedang dibangun. Sekolah dasar satu-satunya kini ditingkatkan hingga memiliki jenjang SMP. Pelabuhan yang dulu sederhana berubah menjadi jauh lebih megah. Banyak rumah warga pun tampak baru, direnovasi. Beberapa tetangga memiliki sepeda motor baru.

Ari mengajak Ucil berjalan mengelilingi pulau. Bernostalgia. Mereka berhenti di depan sekolah dasar. Menatapnya lama, mengingat hal-hal lucu bersama, Ari tersenyum membayangkan wajah kecil Rana.

Mereka berdua kembali melangkah.

Sebuah sepeda motor melaju kencang. Motor itu dikemudikan seorang bocah. Di belakangnya duduk seorang Perempuan. Rambutnya tersingkap oleh angin. Wajahnya terlihat sekilas. Sebaya dengan Ari. Itu Rana.

“Itu Rana, Cil!!” 

“Hah?! Mana?!” Ucil menoleh ke segala arah. Tidak sempat bereaksi. Ari sudah berlari mengikuti motor itu. Ucil menyusul. Mereka tertinggal lumayan jauh.

Ari dan Ucil kehilangan jejak. Tapi Mereka tahu tempat mana yang harus dituju. Rumah Rana.

Keduanya terus berlari. Sambil mencoba mengingat-ingat jalur yang benar. Beberapa kali putar balik karena salah arah. Jalanan di pulau ini tidak seperti dulu. Ada jalan yang hilang, lebih banyak yang baru.

Sampai tibalah Ari di depan rumah yang dituju. Ucil tertinggal di belakang. Staminanya habis. Ari Mengatur nafas. Merapikan kaosnya yang setengah basah oleh keringat.

“Assalamualaikum” Ari mengetuk pintu.

Sayup-sayup terdengar suara ibu-ibu berteriak. “Ran, bukakan pintunya!”

Selang beberapa saat. Pintu dibuka oleh seorang remaja perempuan. Tatapannya bingung.

“Waalaikumsalam.” Suaranya pelan.

“Permisi, Kak Rana ya?” 

Rana mengangguk. “Iya. Ada perlu apa ya?” 

Ari tersenyum. mengulurkan tangannya. 

“Perkenalkan. Namaku Ari.”

*** 

Biodata Penulis:

Neo Achmad Maulana lahir pada tanggal 15 September 2004 di Sidoarjo. 

© Sepenuhnya. All rights reserved.