Di sebuah desa yang bernama Batipuah, mengalir sebuah sungai yang dahulu jernih dan tenang. Masyarakat menggantungkan kehidupan dari sungai itu mulai dari mengairi sawah hingga memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, keadaan sungai berubah. Airnya keruh, sampah menumpuk di tepiannya, dan beberapa kali desa mengalami banjir ketika hujan turun dengan deras.
Ustaz Maulana, seorang pendakwah yang dihormati di desa tersebut, sering menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga lingkungan. Namun, tidak semua warga menyadari makna dari nasihat itu.
Suatu sore, setelah salat Magrib berjemaah, Ustaz Karim berkata, “Saudara-saudaraku, kerusakan alam bukanlah semata-mata musibah. Banyak di antaranya adalah akibat perbuatan kita sendiri. Allah telah berfirman bahwa kerusakan di daratan dan lautan terjadi karena ulah manusia. Maka, menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah.”
Kata-kata itu menarik perhatian Dandi, seorang remaja yang sejak kecil melihat perubahan di desanya. Ia teringat bagaimana sungai tempat ia bermain dahulu kini hampir tak dikenali. Dandi merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu.
Keesokan harinya, saat berada di tepi sungai, Dandi melihat sampah plastik yang tersangkut di akar pohon. Ia mengambil sebuah karung bekas, lalu mulai mengumpulkan sampah satu per satu. Dua temannya, Reno dan Rara, tiba-tiba menghampirinya.
“Dan, apa yang kamu lakukan?” tanya Reno.
“Aku membersihkan sungai. Kalau bukan kita, siapa lagi?” jawab Dandi tanpa ragu.
Awalnya Reno dan Rara hanya memperhatikan, tetapi melihat kesungguhan Dandi, mereka ikut membantu. Tidak lama kemudian, beberapa warga yang melintas mulai bergabung.
Kabar itu sampai kepada Ustaz Maulana. Pada Jumat berikutnya, ia mengumumkan sebuah program baru seusai salat Jumat.
“Mulai pekan ini, kita adakan Gerakan Jumat Lestari. Kita akan membersihkan lingkungan, menanam pohon, dan belajar memahami amanah Allah dalam menjaga bumi.”
Warga menyambut gagasan itu dengan antusias. Setiap Jumat sore, mereka berkumpul di sekitar sungai. Ada yang mengumpulkan sampah, ada yang menanam bibit pohon, dan ada pula yang memperbaiki saluran air yang tersumbat.
Tiga bulan berlalu. Bukit-bukit di sekitar desa mulai menghijau kembali. Sungai pun menjadi lebih bersih. Masyarakat sudah terbiasa untuk tidak membuang sampah sembarangan.
Pada suatu sore yang cerah, Ustaz Maulana menghampiri Dandi dan teman-temannya yang sedang menyiram bibit pohon.
“Anak-anak,” katanya lembut, “kalian telah menunjukkan bahwa dakwah tidak hanya disampaikan dengan kata-kata, tetapi juga melalui tindakan. Menjaga lingkungan adalah amanah. Pohon yang kalian tanam ini kelak akan menjadi sedekah jariyah. Sekecil apa pun kebaikan itu, Allah pasti membalasnya.”
Dandi tersenyum bangga. Ia memandang pohon kecil di hadapannya yang daunnya bergerak perlahan tertiup angin. Ia merasa telah melakukan sesuatu yang berarti.
“Ustaz,” ujar Dandi, “ternyata menjaga alam membuat hati terasa lebih tenang.”
Ustaz Maulana mengangguk. “Benar, Dandi . Ketika kita menjaga ciptaan Allah, kita menjaga diri kita sendiri.”
Sejak saat itu, Lembah Hijau benar-benar kembali seperti namanya: hijau, bersih, dan penuh kehidupan berkat dakwah yang diwujudkan melalui perbuatan nyata.
Biodata Penulis:
Nurhadini saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi.