Oleh Maulida Az-Zahra
Malam itu, cahaya duduk di beranda rumah kayu tua yang ia tempati bersama kedua orang tuanya. Angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya, membawa aroma tanah basah yang menyegarkan setelah hujan sore. Dari kejauhan, terdengar suara jangkrik bernyanyi, menambah kesunyian yang menyelimuti kampung mereka. Cahaya menatap bintang-bintang di langit, berharap salah satunya bisa menjadi tanda bahwa impiannya akan segera terwujud.
“Ibu, aku nggak bisa tidur,” Cahaya memanggil ibu dari pintu belakang.
Ibu keluar dan berjalan mendekat. “Kenapa? Pusing mikirin apa lagi?”
Cahaya mengangkat bahu, tidak tahu harus mulai dari mana. “Bingung aja, Bu. Aku kayaknya nggak cukup usaha buat bahagiain kalian.”
Ibu duduk di sampingnya, menatap langit yang sama. “Ngomong apa kamu? Kamu udah bahagiain kami kok, nggak perlu yang aneh-aneh.”
“Tapi, Bu...” Cahaya menghela napas. “Aku pengen lebih dari ini. Aku pengen kalian nggak capek lagi, nggak ngeluh lagi, nggak harus mikirin hari depan terus.”
Ibu menyentuh tangan Cahaya, memandangnya dengan tatapan penuh kasih. “Kamu tuh nggak pernah puas, ya? Kami nggak butuh harta, Cahaya. Kami cuma butuh kamu sehat dan bahagia.”
“Aku tahu, Bu. Tapi... aku pengen lebih dari sekadar ‘bahagia’ yang sekarang. Aku nggak mau liat kalian kerja keras terus. Aku mau kalian juga bisa nikmatin hidup.”
Ibu tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di matanya. “Kamu kalau udah mikirin sesuatu, serius banget. Tapi jangan lupa, hidup itu nggak cuma soal materi.”
Cahaya diam, menatap bintang. “Iya, tapi rasanya nggak cukup, Bu. Aku pengen ngerasain kalau kita udah lebih dari cukup. Aku nggak mau kalian kayak gini terus.”
Ibu hanya diam, dan Cahaya tahu, di dalam hatinya, ibunya merasa bangga meski tidak pernah mengatakannya. Tetapi Cahaya tetap merasa bahwa ia belum memberi yang terbaik.
Esok harinya, Cahaya memutuskan untuk berangkat ke kota. Ia merasa waktunya sudah tiba. Tanpa mengucapkan perpisahan yang terlalu emosional, ia hanya meninggalkan sepucuk surat untuk ibu dan ayah. Ia tahu, ini adalah langkah besar, tapi demi kebahagiaan mereka, ia tak peduli betapa sulitnya.
Sesampainya di kota, Cahaya mulai bekerja keras. Ia tahu hidup di sini tidak akan mudah. Pekerjaan pertama yang ia dapatkan bukanlah pekerjaan yang glamor, namun cukup untuk bertahan hidup. Setiap malam setelah pulang kerja, ia menghubungi ibu.
"Bu, udah tidur?" tanya Cahaya, suara lelah terdengar di ujung telepon.
“Baru aja mau tidur, kenapa? Capek banget ya di sana?” suara ibu terdengar khawatir.
"Capek, tapi nggak apa-apa. Aku bisa kok. Yang penting kalian gimana? Sehat?" Cahaya mencoba terdengar santai.
“Kami baik-baik aja, jangan khawatir. Jaga kesehatan ya, jangan cuma kerja terus. Udah ada yang baru di kampung?”
Cahaya tersenyum. “Kayaknya belum ada yang baru, Bu. Tapi aku janji, nanti aku bawa kalian ke sini, jalan-jalan. Pasti seru!”
Ibu tertawa kecil, lalu menimpali, “Iya, iya. Tapi jangan lupa istirahat. Kalau kamu capek, nanti nggak bisa kirim uang buat kami.”
“Tenang aja, Bu. Ini demi kalian kok. Aku nggak akan menyerah.”
Beberapa bulan berlalu, dan Cahaya akhirnya berhasil mengirimkan uang untuk memperbaiki rumah mereka. Dengan uang itu, ia bisa membawa ibu dan ayah ke kota. Mereka berjalan-jalan di taman kota yang hijau, meski hanya sebentar. Di sanalah, Cahaya akhirnya merasa bahwa ia berhasil mewujudkan impian, meskipun tidak sempurna.
Malam itu, di tengah kerlip lampu kota yang megah, Cahaya menatap langit. Bintang-bintang yang begitu jauh dari pandangan, tetap ada, meskipun sering terlupakan. Tapi baginya, kebahagiaan yang sejati tak harus terlihat dari materi. Ia hanya butuh waktu untuk memahami bahwa orang tua bahagia, adalah kebahagiaan yang tak ternilai.
Biodata Penulis:
Maulida Az-Zahra saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Seiring kesibukan kuliah, ia terlibat dalam kegiatan perkuliahan dan organisasi kampus. Penulis bisa dihubungi melalui Instagram @maulidaazhr__