Hentakan Maut

Cerpen ini mengisahkan seorang pemuda yang penuh harap menghadapi hari lamaran, namun kebahagiaan dan ketegangannya berubah menjadi kejutan ketika ...

“NIIITTT…..”

“NIIITTT…..”

“NIIITTT…..”

Pada pukul 4.30 alarm di ponselku berbunyi dengan menampilkan catatan kecil yang telah ku-setting. Catatan itu berupa:

“BANGUN!!! LALU LIHAT TANGGAL!!!”

Cerpen Hentakan Maut

Dalam kondisi badan yang belum sepenuhnya sadar, diriku membuka kalender di ponsel. Dengan mata setengah terbuka, aku melihat tanggal hari ini yang telah kuberi tanda berupa lingkaran merah dengan catatan: “Lamaran”.

Sontak diriku sadar secara penuh ketika tulisan itu direkam oleh mataku dan direspons oleh otakku. Seketika tidak ada anggota tubuhku yang masih dalam kondisi setengah sadar, seakan-akan ada energi tak kasat mata yang masuk lalu diriku seperti di-charge. Mata berbinar beserta senyuman tak pudar menghiasi wajah ini sedari sadar akan tulisan di kalender.

Dengan tubuh yang telah sadar penuh, aku bergegas mempersiapkan diri. Setelah seluruh persiapan kulakukan, aku keluar dari kamarku. Lagi-lagi mata berbinar dan senyuman itu masih melekat. Aku memang bukan ahlinya dalam menyembunyikan perasaan. Sesampainya aku di ruang tamu, aku terkejut. Hari bahagiaku, tidak juga dirasa oleh sanak keluarga yang menunggu di sana. Tidak ada guratan manis kutemukan di wajah mereka, hanya ada ekspresi murung.

“Cepat!!! Kamu mau lamaran tidak? Nanti ditakutkan ada orang lain yang mendahului kamu.”

Hampir saja hari bahagiaku hancur. Wajah murung itu akibat 1 jam berlalu dalam menungguku bersiap-siap. Dengan wajah melas, aku membela.

“Hehehehe. Maaf yaa menungguku lama. Lagi bahagia soalnya, sulit untuk mengendalikan diri. Ayo kita berangkat!”

Tanpa berlarut dalam kekesalan, sanak keluargaku menerima kesalahanku dan kami segera berangkat menuju lokasi penyebab mata berbinar dan senyumku itu belum juga pudar. Untaian doa. Hanya itu yang kuperbanyak selama perjalanan.

Di dalam lamunan, diriku bergumam, “Sudahlah, hari bahagia yang kau tandai di kalender sedari 8 bulan lalu itu, sudah di depan mata. Tidak perlu dibayang-bayangkan nanti akan seperti apa. Perbanyak doa saja.”

Begitulah hati kecilku menasehati diriku yang kerap kali melampaui batas. Baiklah, untuk kali ini aku taati, setelah banyak peristiwa sial menimpaku akibat melalaikan nasehat hati kecilku. Untaian doa masih basah di lisanku beserta mata berbinar dan wajah sumringahku juga belum sirna. Adikku yang duduk di sampingku terheran-heran mendapatiku di sampingnya yang sedari berangkat aku bertahan dengan mata berbinar dan senyuman. Akhirnya, ia dengan keluguannya memecahkan lamunanku bersama doa yang kuuntaikan.

“Bang! Dari tadi kok aku lihat Abang senyum-senyum terus. Biasanya kan Abang juga bercanda sama kami kalau sedang berpergian. Ada apa Bang?”

Mendapati pertanyaan darinya, aku bingung harus jawab apa. Jika aku terangkan yang sebenarnya terjadi padaku, percuma saja, dia pasti belum paham. Akhirnya, Ibu yang duduk di kursi depan dan memahami kondisi yang terjadi padaku, mencoba untuk mengalihkan perhatian Adik.

“Abangmu itu sedang membayangkan dirinya ketika sukses nanti, Nak. Kamu main dengan mainan yang kamu bawa saja. Nanti di rumah, Ibu terangkan lebih panjang, supaya kamu juga bisa termotivasi untuk belajar.”

Dengan sedikit kesal karena kurang puas, Adik menerima perkataan Ibu. Aku pun tersenyum simpul sembari mengangkat satu alisku kepada Adik. Jauh diriku di dalam lamunan dan untaian doa, ternyata perjalanan tersisa satu tikungan.

Roda mobil pun berhenti berputar, jantungku berdebar tak karuan, padahal hanya pagar rumahnya yang baru kulihat. Sang kekasih masih bersembunyi di dalam kamarnya. Mendengar suara mesin mobil, tuan rumah menyadari kedatanganku bersama keluarga lalu menyambut kami di ambang pintu. Dengan mata berbinar dan senyum manis yang belum pupus, aku bergegas menghampiri calon mertuaku diiringi sanak keluargaku yang turun dari mobil sembari membawa seserahan yang telah disiapkan. Tak berselang lama, acara pun dimulai. Acara berlangsung di ruang tamu yang dikelilingi kamar-kamar, termasuk kamar kekasihku itu. Setelah berbincang dengan keluarga kekasih, saat yang dinanti pun tiba.

Kekasihku, yang dalam hitungan menit kemudian akan berstatus tunangan ini, merupakan seorang wanita yang berpendidikan tinggi dan juga Muslimah yang taat. Aku pun hampir gagal dalam memperjuangkannya.

Selain itu, ia juga sangat menjaga pergaulan dan interaksi dengan lawan jenis. Jika tidak ada keperluan penting dan darurat di luar rumah, ia tak sungkan untuk tetap di rumah, karena wanita yang baik adalah yang menjaga dirinya dan menjaga kehormatan keluarga.

Dalam berpakaian pun ia sangat teliti. Aurat sebagai titik kehormatan seseorang tidak cukup ditutup, melainkan juga ditutup dengan pakaian yang tidak menunjukkan bentuk lekuk tubuh. Ia paham betul perintah untuk menjulurkan pakaian agar tidak terbentuk lekukan tubuh yang dapat mengundang nafsu lawan jenis.

Tidak cukup dengan itu, ia juga selalu mengenakan niqab atau cadar untuk lebih menjaga dirinya, yang mana perihal ini hanya anjuran dan bukan kewajiban. Saat kusaksikan keteguhan dirinya, hatiku berbisik: dialah yang layak mendampingiku dalam menyempurnakan separuh agamaku.

Jantungku semakin berdebar kencang, berbeda dengan yang sedari tadi dirasa. Dengan wajah tertunduk dan doa yang masih teruntai, aku menunggunya keluar dari kamar. Sang ibu menemaninya 'tuk keluar dari kamar. Sedari tadi aku sudah diperintahkan berdiri untuk menyambut sang kekasih, yang mana aku dengannya akan berstatus tunangan. Wajahku masih tertunduk, namun mata berbinar dan senyuman masih membekas.

Sang ibu membuka pintu kamar sembari menggandeng putrinya. Raut wajahku tidak bisa berbohong ketika dirinya keluar dari kamar sebagai inti acara. Senyum bahagia itu berubah, menjadi senyum malu. Malu tapi mau. Jantungku dibuat kembali berdebar ketika gamis putih menjulur menutupi tubuhnya. Kerudung hitam membalut kepalanya, tempat bersemayamnya berbagai inspirasi dan pengetahuan yang begitu luas hingga membuatku terpikat padanya. Tak hanya itu, kain cadar juga membuat aura kemuslimahannya semakin membuatku terpikat dan aku merasa berada pada pilihan yang tepat.

Di dalam syariat Islam, terdapat anjuran bagi seseorang yang mau menikah untuk ‘melihat’ calon pasangannya yang disebut nazhar. Dalam nazhar pasangan yang akan menikah diperbolehkan melihat beberapa anggota tubuh calon pasangannya tetapi tetap ada aturan yang mengikat. Hal ini agar dari kedua belah pihak mengetahui calon pasangannya dan ‘tidak salah pilihan’. Menikah bukanlah ibadah satu atau dua hari, melainkan seumur hidup. Menikah itu menyatukan dua insan yang saling kasih dan cinta. Maka dari itu, adanya syariat nazhar ini untuk meyakinkan pasangan yang akan menikah. Lanjut atau tidak. Karena menikah bukan ibadah biasa.

Pada hari lamaran itu, aku juga mengikuti anjuran yang ada, yaitu nazhar. Meskipun kekasihku ini bercadar untuk menjaga kemuliaannya, ketika nazhar cadar itu harus dibuka agar meyakinkanku sebagai calon pasangannya. Hadirin pun turut menyoraki agar aku segera meyakinkan pilihanku dengan melihat calon pasanganku untuk pertama kalinya. Aku yang tetap dengan senyum malu mengiyakan, karena aku pun sepihak dengan mereka. Sang ibu yang memahami keadaan, langsung memutar tubuh kekasihku hingga berhadapan denganku. Suasana semakin ramai. Aku seakan terjebak di surga. Terdesak, namun tak ingin beranjak.

“BUKA CADARNYA…”

“BUKA CADARNYA…”

“BUKA CADARNYA…”

Sorak-sorai hadirin mendesakku, namun aku tak menyesalinya. Aku segera mengeksekusi keinginan hadirin--yang merupakan keinginanku juga--. Tangan lemasku mulai terangkat, dengan susah payah Aku menahan malu. Malu tapi mau. Dengan keberanian, tangan ini telah sampai pada simpul yang menyatukan tali kain cadar itu. Ikatannya tidak kuat, karena sengaja agar aku mudah membukanya.

Tidak ada yang aku pikirkan, kami sama-sama tertunduk. Kepalaku tertunduk, namun mata hatiku telah berhasil menembus kain itu. Aku sudah mendapati wajah cantik yang selama ini ia jaga demi kehormatannya. Dapat kulihat hidung mancungnya, putih bersih wajahnya, alis tebal yang memayungi matanya, serta bibir yang membentuk lengkungan manis, menyimpan gigi-gigi rapi, membuatku merasa tidak salah pilihan.

Hatiku terkagum-kagum atas apa yang dilihat, tak pernah kudapati yang seperti ini sebelumnya. Hari lamaranku ini telah kutandai di kalender sedari 8 bulan lalu. Sejak kutandai hari itu 8 bulan lalu, aku yakin langit mempersiapkan bidadarinya itu untuk kemudian bersanding denganku sebagai pasangan. Hari ini, bidadari itu telah hadir di hadapanku dan akan menjadi pendamping hidupku selamanya.

Di tengah kondisi yang mendebarkan, aku merasa punggungku seakan ada yang menarik dan memukul namun tidak keras. Di telingaku pun terdengar suara yang memanggil namaku berulang kali namun samar. Seperti memanggilku dari kejauhan. Tarikan serta pukulan kepada punggungku dengan disertai suara panggilan namaku yang samar-samar masih aku rasakan. Tak bisa aku hiraukan karena aku sedang dalam momen kebahagian seumur hidupku. Semakin keras aku rasakan. Simpul telah terbuka, hanya menyingkapkannya saja aku sudah dapat wajah cantiknya dengan mata kepalaku. Namun aku diganggu. Dengan mata terpejam aku mencoba meredam gangguan itu, mencoba untuk tenang. Ternyata tidak bisa aku redam, hingga pada akhirnya suara panggilan itu bagaikan sambaran petir yang mengejutkanku dan mampu membuka mataku yang terpejam serta mampu membuatku terkejut hingga lompat ke ruangan sebelah. Ruangan itu bernama, “DUNIA NYATA”.

Perasaan sedih dan kesal bersatu. Sedih karena hari bahagia itu tidak berlangsung hingga akhir dan kesal kepada temanku yang menarik dan memukul punggungku sembari menyebut-nyebut namaku sehingga aku mengakhiri hari bahagiaku.

Dalam diam aku termenung, “Bahagia sekali yang kualami tadi, tapi itu terjadi di dunia mimpi. Kesal sekali aku dengan temanku yang mencoba mengakhiri hari bahagiaku! Ingin kecewa, tapi kan itu cuma mimpi. Ingin kuulangi lagi, namun bagaimana?”

Tiba-tiba lamunanku dipecah oleh suara yang sangat nyaring, “KRIIING…..”

“Alamak! Alarm untuk segera berangkat ke sekolah!”

Mohammad Ghazy

Biodata Penulis:

Mohammad Ghazy bisa disapa di Instagram @ghazyun74

© Sepenuhnya. All rights reserved.