Panggilan Itu Datang

Cerpen ini mengisahkan perjalanan spiritual seorang santri yang tanpa disangka terpilih mengikuti beasiswa umroh, melalui proses seleksi, penantian ..

Oleh Novia Fatma Azzahra

Tawaran yang kukira hanya pertanyaan biasa, kini menjadi kenyataan. Siapa yang tidak mau menerima panggilan itu.

Sore kala itu, perasaanku tegang karena dipanggil langsung oleh beliau. Dalam hatiku bertanya, salahku apa? Apa selama mengabdi sebagai pembimbing santri putri ini aku melakukan kesalahan?

Tibalah aku di kantor sekretariat pesantren. Ruangan AC enam belas derajat celcius membuatku tambah menggigil, entah karena dingin atau karena rasa takut kian membeku. Jarak pintu masuk hingga ruangan dalam itu jalanku berlutut, khalayaknya adab santri bertemu guru.

"Assalamu'alaikum, Kiai"

Spontan dari dalam ada yang menjawab "wa'alaikum salam, silahkan masuk”.

Kemudian to the point Kiaiku bertanya "kamu mau umroh tidak?" Sambil mengulurkan senyum kharismanya. Hatiku bergetar dengan pertanyaan itu. Dalam hati kenapa hanya aku yang dipanggil dari sekian banyaknya pengabdi di pesantren ini?

Dengan spontan kumenjawab "mau banget, Kiai”. Aku tersenyum sembari menurunkan bahu dan kepala.

"Muroja’ahnya ditingkatkan lagi ya, meskipun kamu sibuk mengabdi, sempatkan waktu untuk muroja’ah sendiri."

Cerpen Panggilan Itu Datang

Di situ aku paham bahwa ini seleksi beasiswa umroh bagi santri yang lancar hafalan Alqurannya. Kemudian beliau mengulurkan kertas brosur beasiswa umroh. Dengan tangan gementar, aku menerimanya.

"Baik, Kiai! Insya Allah."

Awalnya aku mengira layakkah aku ke sana? Dari sekian banyaknya santri di kota ini bisakah aku lolos seleksi ini? Pertanyaan ini selalu muncul dalam benak pikiranku. Ah! Sudahlah tidak usah dipikirkan hal yang belum terjadi.

***

Beberapa hari kemudian datang panitia seleksi umroh ke pesantren kami, untuk menjemput beberapa santri yang akan tes seleksi beasiswa ini.

"Bismillah mudah-mudahan semuanya beruntung, ya." sahut ustaz kami sebelum menaiki mobil.

"Aamiin" para santri yang menjawab dengan antusias.

Di perjalanan, mulut komat kamit, zikir dilantunkan setiap detiknya. Perasaan campur aduk, karena bersaing dengan para santri lainnya dari berbagai kota.

Kemudian kami mendapatkan nomor undian untuk tes hafalan dan wawancara. Aku mendapatkan nomor undian nomor empat. Seketika itu nomor undian satu, dua berlalu selang waktu lima belas menit. Sudah saatnya giliranku yang masuk dalam ruangan tertutup itu.

"Nomor tiga dan empat, silahkan masuk, ya". Ucap panitia. 

Kemudian aku dan satu peserta lainnya masuk di dua ruangan yang berbeda.

***

Enam bulan lamanya aku menunggu kepastian dari penyelenggara beasiswa. Padahal pengumuman santri yang lolos telah diumumkan seminggu setelah tes seleksi dilaksanakan. Di satu hari, selepas salat Maghrib, namaku dan tiga santri lainnya terpampang di sebuah Grup WhatsApp.

Perasaan pecah bahagia, terharu, bingung, semua bercampur aduk. Tidak sedikit banyaknya ustazah sepengabdian mengirim pesan WhatsApp "Masya Allah. Selamat ya… nanti kalO udah di sana nitip doa depan ka'bah."

Tiba-tiba brukk pintu kamarku terbuka kencang. Salah satu rekan pengabdianku terdekat masuk secara spontan dan memelukku dengan sangat erat. "Selamat yaa." Perasaanku tercengang, sembari meneteskan air mata secara perlahan.

Sujud syukur serta air mata membasahi sajadah hijau. Doaku sebenarnya mengalir saja, tidak ingin sangat ke sana. 

"Mau sekali ke sana, tapi ya tidak waktu sekarang juga. Kan masih banyak waktu." batinku.

Sampai aku terbawa hanyut oleh pikiran, dan merenung "apa sebenarnya kebaikan yang bisa membawaku ke sana?" Tapi kalau sekiranya rezeki ya kenapa ditolak? Gumamku dalam hati. Ya Allah mudahkan hamba untuk menunaikan ibadah umroh.

***

Waktu terus berjalan, sampai akhirnya aku lulus pengabdian dan mendaftar berbagai Perguruan Tinggi Negeri untuk melanjutkan studi. Kesibukan mempersiapkan pemberkasan berkas untuk mendaftar menjadi prioritas utama.

Tekadku mencoba tes di berbagai kampus, mulai dari mandiri, UM-PTKIN, hingga Beasiswa, aku terobos. Karena aku ingin berusaha semaksimal mungkin untuk kuliah dengan semangat antusias. Sehingga membuatku secara perlahan lupa akan beasiswa umroh itu.

Meminta rida guru sudah menjadi kebiasaan seorang santri untuk berpamitan dan meminta izin menimba ilmu di tempat lain. Apalah kita tanpa doa yang dipanjatkan setiap waktunya?

Di sela-sela berpamitan Kiaiku bertanya tentang kepastian umroh tersebut. "Gimana umrohnya ada kabar lagi?"

"Belum, Kiai" seketika harapanku hilang tentang hal tersebut.

"Lebih baik kamu konfirmasi lagi tentang hal ini kepada penyelenggaranya."

"Baik, Kiai." Tuturku.

Perjalananku kuliah memang dari wasilah pondok pesantren, akhirnya meraih beasiswa santri di UIN Malang. Yang nantinya akan menjadi tanggung jawabku kelak ketika tamat kuliah untuk kembali berkiprah mengabdi lagi di pesantren itu.

Dua semester pertama kuliah, terasa begitu cepat. Kabar umroh sudah lama tidak hinggap di kepalaku. Sampai aku pun lupa karena keadaanku yang baru menjadi mahasiswa.

Pulang ke rumah liburan akhir semester, menjadi hal yang ditunggu-tunggu. Entah kenapa selama menjadi mahasiswa perasaan rindu dan ingin sekali tidak jauh dari orang tua sangat melekat.

Padahal dulu semasa SMP mondok di Jawa Barat, yang juga jauh dari rumah, tidak sebegininya. Akhirnya aku pulang, dengan durasi waktu perjalanan dari Malang ke Banten menghabiskan waktu lima belas jam perjalanan darat.

***

Dering spam notifikasi pesan WhatsApp terkirim, ternyata dari teman pondokku, kami berdua lolos seleksi beasiswa umroh tahun lalu. Kedekatan kami sangat akrab dan perbedaan umur kami selisih dua tahun, dan umurku lebih duluan darinya.

"Assalamu'alaikum Kakaa." Dengan gaya chat seakan memberikan berita baik.

"Kaa, gimana kabarnya?"

"Kabar baik untuk kita persiapkan kelengkapan berkas untuk buat paspor, di kantor imigrasi. Tak Tunggu secepatnya ya."

Spontan, perasaanku tercengang menerima pesan itu. Langsung kedua orang tuaku beritahu kabar baik ini. Akhirnya, harapan yang sudah lama sirna, hadir seakan membawa penerangan.

Akhirnya semua persiapan mulai dari paspor, tes kesehatan, dan manasik umroh yang dilaksanakan seminggu sebelum keberangkatan. Dan juga termasuk koper, tas, dan seragam yang dibagikan travel, cukup menjadi persyaratan keberangkatan umroh yang paripurna.

Dua belas hari lamanya kami akan beribadah di dua kota suci. Lima hari pertama kami bermukim di kota Madinah, dan lima hari kedua di kota Makkah al-Mukarramah. Sisanya dua hari perjalanan di pesawat.

Angin kencang disertai panas terik matahari di kota Madinah merupakan musiman cuaca di bulan Februari, tidak jarang kulit dan bibir kering berdarah karena perbedaan iklim di Indonesia. Dari sanubari hati yang mendalam, sebenarnya tak kuasa menahan air mata ini menangis, terenyuh ketika kaki ini pertama kalinya menapaki kota Nabi SAW dimakamkan.

Masjid dengan kubah hijau menandakan ketenangan hati, keheningan suasana orang berdoa di berbagai belahan dunia, mengamati perlahan payung raksasa yang tertutup setiap menjelang Maghrib, dan azan yang dikumandangkan oleh imam besar di setiap waktunya membuat menyentuh hati akan kekuasaan Allah.

Aahh Allah menyentuhku dengan segala Rahmat-Nya.

Suara kepakan burung merpati yang menawan membuat hati tertegun. Tak jarang mataku sembab setelah berdoa dan salat di sana. Rasanya ingin sekali terus menetap di kota Madinah.

Aku merasakan dahsyatnya doa baik dari lisan maupun ucapan hati yang sekilas, langsung dikabulkan di tempat itu juga.

Ketika itu keadaan perut kami sangat lapar, karena sedari Asar hingga Isya, aku dan temanku menetap di Masjid Nabawi. Kemudian temanku berinisiatif membawakan makanan dari hotel dan berharap jatah makan malam masih ada.

Karena saking laparnya temanku ini, ketika di lift menuju ruang makan dia hanya berucap 'ya Allah laper'.

Tiba-tiba pintu lift terbuka. Ada salah seorang ibu jamaah, dari jamaah rombongan kami, masuk dan memberikan sekotak nasi biryani khas Madinah.

"Nih buat adek, di makan yaa"

Temanku ternganga sambil menerima nasi kotak itu dengan tangan gemetar kelaparan. Temanku tidak menyangka, berawal dari rintihan dalam hati, seketika terwujud.

"Makasih banyak, bu"

"Sama-sama" ibu itu tersenyum dan keluar lift, menuju tujuan lantai hotel yang ditujunya.

Segera mungkin temanku menghampiriku yang menunggu pelataran di masjid, dengan perasaan girang. Dia menceritakan segala hal ajaib yang telah terjadi. 

Kemudian kami berdua makan nasi biryani bersama di pelataran Masjid Nabawi, sambil bercerita kejadian yang sangat terheran heran.

Setelah itu kami pulang meninggalkan karpet hijau pelataran masjid, menuju hotel untuk beristirahat. Terbesit dalam hati 'doaku hanya satu yang pasti, memohon kepada Allah mengundang semua kaum muslimin dan muslimat untuk merasakan kota penuh dengan ketenangan hati ini'.

- Madinah

Novia Fatma Azzahra

Biodata Penulis:

Novia Fatma Azzahra saat ini aktif sebagai mahasiswa, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

© Sepenuhnya. All rights reserved.