Rie, Ini Beberapa Pengakuanku

Cerpen ini mengisahkan seorang perempuan yang menulis surat panjang kepada Rie, cinta lamanya, untuk mengungkap alasan di balik perpisahan mereka.

Cerpen Rie, Ini Beberapa Pengakuanku

Oleh Yessi Alma’wa

/1/

Rie, hampir lima tahun lamanya kita tak saling menyapa. Aku menghormati kebencianmu yang abadi itu terhadapku. Bagaimana tidak, aku mencampakkanmu dengan mudahnya lewat deretan kata-kata dingin yang kukirimkan lewat pesan singkat. Dengan egoisnya aku bilang bahwa kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Kutambahkan pula bahwa Tuhan akan murka jika kita terus bersama. Sungguh, aku tak punya muka.

Rie, persoalan kita ini bukan hal yang sederhana. Kau memiliki seorang pacar tapi malah mencintaiku, sedangkan aku begitu mencintai pacarku meski tahu bahwa ia tak pernah mencintaiku. Lucu, bukan? Kenapa orang-orang seperti kita malah terjebak dalam lingkaran seperti ini?

Rie, waktu kutanya kenapa kau tak tinggalkan saja pacarmu itu, kau jawab karena kau kasihan padanya. Ouh Rie, jawabanmu itu menamparku dengan telak membuatku bertanya-tanya, apakah pacarku juga hanya kasihan padaku?

Tapi pada akhirnya kau lebih berani dariku. Kau jujur pada perempuan itu. Kau akhiri hubunganmu dengannya baik-baik. Kau mungkin berharap aku melakukan hal yang sama kepada lelaki yang kucintai itu. Agar kita bisa bersama. Jujur Rie, aku ingin mencoba perubahan seperti itu. Tapi hubunganku dengannya begitu rumit.

/2/

Rie, aku malu pada Tuhan. Jika aku mengakui kepada-Nya bahwa aku mulai mencintaimu, tentu Tuhan makin marah padaku, bukan? 

Kau tahu, Rie? Perasaan itu tumbuh perlahan dan memuncak di semester enam. Kau datang ke kosanku, membawa sekotak cokelat. Ternyata kau masih ingat saja guyonanku tentang “ayam kampus” keinginanku diberi cokelat berselipkan nomor teleponmu. Waktu itu aku hanya meminta sebungkus, tapi kau bawakan sekotak penuh yang kau masukkan ke kantong kresek.

Sehabis pertemuan kita malam itu, sambil berjalan menuju kamar, aku meraba-raba isi kantong kresek itu. Aku sungguh kaget Rie, di dalamnya aku menemukan sepucuk surat. Cepat-cepat aku masuk ke kamar dan mengunci pintu. Kumatikan lampu kamar, dan kuhidupkan senter tiger head peninggalan ibuku untuk membacanya.

Tak kusangka, Rie. Bertahun-tahun kita di kelas yang sama, tak tahu aku tulisan tanganmu begitu molek. Huruf-hurufnya tertulis begitu rapi. Ah, aku jadi malu dengan tulisanku sendiri.

Kejutan tak berhenti sampai di situ rupanya. Kau menyelipkan kalung perak dengan liontin kupu-kupu. Rie, kau berharap apa padaku sebenarnya?

Kau tulis di surat, itu hadiah untukku. Kau melihat bocah keturunan Tionghoa berambut bondol memakainya saat liburan di rumah pamanmu dan berpikir aku juga cocok memakainya. Benar Rie, aku sungguh cocok memakainya. Tak kusangka sejak pemberianmu itu membuatku makin cinta padamu. Tapi cintaku pada pacarku juga terus membesar, Rie.

/3/

Rie, banyak yang tak kupahami tentang diriku sendiri, terlebih hubunganku dengan ayahku. Waktu itu kutanya kau, bagaimana aku menyikapi seorang ayah yang telah durhaka kepada anaknya? Dengan halus, kau menjawab aku tak perlu dendam. Katamu aku cukup berbuat baik sebagai seorang anak.

Aku kemudian memohon kepadamu kalau aku menikah, kau yang akan menjadi walinya. Di luar dugaanku, kau menolak. Kau bilang kau tidak ingin melakukan itu apalagi pura-pura menjadi ayahku. Kau ingin lebih, tepatnya menjadi suamiku. Biarpun nantinya aku menikah dengan orang lain. Kau bilang jika suamiku meninggalkanku sebab tak cinta, kau siap menikahiku.

Rie, aku tahu beberapa peristiwa yang terjadi selama kita kuliah, telah membuat hati kita saling berbunga-bunga. Tapi tetap saja kita tak akan bisa bersama. Cintaku padamu memang semakin besar, tapi cintaku pada pacarku juga terus membesar.

/4/

Dari kedatangan suratmu itu, akhirnya membuat kita saling menyelipkan surat di buku paket kuliah. Teman-teman mengira mungkin kita hanya saling meminjam buku saja, tanpa tahu di dalam buku itu, sering kita selipkan surat-surat cinta kita.

Meski di kampus kita seperti orang tak saling kenal, tapi aku menikmati kebohongan yang kita upayakan itu, Rie. Kau dan aku juga tak tahu kenapa kita demikian.

Tiap malam, di telepon. Aku selalu bilang bahwa aku harus pergi meninggalkanmu. Walau cinta kita telah tumbuh, tapi kita tetap tidak akan bisa bersama. Aku sebenarnya ingin bertahan. Ingin melihat seberapa jauh kita bisa saling memahami dan mencintai, tapi sialnya cintaku pada pacarku juga kian membesar, tumbuh makin membesar.

/5/

Rie, cintaku terhadap pacarku itu, tentu tak sebanding dengan cinta kita. Meski aku ingin bersamamu Rie, itu tak akan adil buatmu. Waktu kau bercerita tentang abah dan umimu padaku, aku kian kepikiran saja tentang perbuatanku.

Kau katakan kau adalah hadiah terindah yang pernah diharapkan oleh orang tuamu selama hidup. Sangat sulit bagi abah dan umimu mengupayakan kehadiranmu di dunia ini. Demikianlah sewaktu kau lahir, mereka sangat menyayangimu lebih dari apapun. Terlebih umimu.

Rie, apakah kau ingat? Tentang rencana masa depan kita yang kau inginkan itu? Menikah dan tinggal di rumah peninggalan orang tuamu, dan melihat “kaki-kaki kecil” berlarian di halaman? Aku langsung memotong khayalanmu itu, aku bilang bahwa pernikahan dan anak-anak itu tidak akan pernah terjadi.

Kau bertanya “Apakah aku telah melakukannya?” Dan kemudian kau pasang raut wajah seperti takut jika aku berkata “Iya.” Kemudian pertanyaan itu kujawab dengan jawaban “Tidak,” kau langsung lega dan bersyukur memuji nama Tuhan kita.

/6/

Tetapi Rie, inilah yang ingin aku ungkapkan kepadamu dan inilah alasan kenapa aku memilih meninggalkanmu. Aku tidak ingin menjadi seperti ayahku. Karena itulah aku tulis surat-surat ini, agar dendammu padaku memiliki kejelasan.

Perihal jawabanku atas pertanyaanmu saat itu adalah “Bohong.” 

Jawabannya adalah “Iya.”

Aku melakukannya Rie. Tentang dengan siapa aku melakukannya, kau tahu persis dengan siapa aku melakukannya. Saat cintaku padamu mekar, janin itu juga membesar. Aku sungguh pandai menyembunyikannya, kan? Bahkan saat itu aku masih bisa melompat dan berlari-lari riang bersamamu.

Rie, tentu aku tak ingin abah dan umimu mengetahui bahwa calon istri anaknya adalah seorang pelacur, terlebih seorang pembunuh. Rie, aku membunuh anak itu. Ayahnya enggan bertanggung jawab. Kemudian ia melarikan diri meninggalkanku.

Maka dari itu, sewaktu kau menginginkan kita menikah dan punya anak. Sebenarnya waktu itu aku ingin jujur, Rie. Namun, raut wajahmu membuatku tak berdaya.

Aku memilih meninggalkan dirimu dan tak ada lagi yang bisa kuberikan padamu selain perpisahan itu.

Yessi Alma’wa

Biodata Penulis:

Yessi Alma’wa merupakan alumnus Sastra Indonesia, Universitas Jambi. Beberapa tulisannya telah dimuat di platform online hingga cetak. Kini sibuk merenungi eksistensinya sebagai pengajar atau cuma lagi mikirin, “Aku ini siapa, sih?” Jika ingin menyapa bisa mampir di Instagram @sii_almawa.

© Sepenuhnya. All rights reserved.