Oleh Mufidatul Ameilia
Namaku Sarah. Selamat datang di bilik sunyi dalam kepalaku, sebuah semesta yang teranyam dari untaian halu, harapan yang terlalu menjulang, dan riuh kenangan yang tak kunjung padam. Inilah Dunia Angan, pelabuhan bagi hati yang menumpahkan terlalu banyak asa.
Mereka berbisik, "Dunia sedang tidak baik-baik saja." Aku hanya mengangguk, sebab rasanya semesta tak lagi sudi memeluk. Perlahan, ia justru merenggutku, sedikit demi sedikit. Planet yang dulu kupandang begitu indah dan hangat, kini hanya menyisakan dingin, bising, dan rasa asing. Semua bermula dari satu sebab "kehilangan".
Kisah ini bersemi dan berakhir saat mentari pamit. Menjelang petang, pesona senja perlahan beranjak dari ufuk, melanglang buana entah ke mana. Langit pun berganti rona gelap, diselimuti mendung yang berarak bersama hembusan angin yang terasa sedikit kasar. Suara bisikan angin itu, meski gaduh, justru terasa lebih menenangkan dibanding gemuruh di dalam pikiranku.
Di sepanjang jalan kota, kelopak-kelopak tabebuya kuning gugur, menciptakan karpet indah namun terasa malang, sebab harus terinjak oleh langkah kaki yang silih berganti. Malang dan menyedihkan, namun takdir berkata demikian. Aku teringat sebuah ucapan yang sarat makna darinya.
“Ada masanya dalam hidup kita merekah seindah bunga. Namun, ada kalanya pula kita harus layu, jatuh, dan terpuruk ke tanah. Itulah napas sejati dari sebuah kehidupan.”
Hari kian pekat. Lampu-lampu jalan menyala temaram, memancarkan bias kuning sendu yang senada dengan isi hatiku. Aku duduk di kursi taman berwarna cokelat tua, bangku yang menyimpan begitu banyak kisah. Saksi bisu dari setiap akhir pekan kami. Tempat paling nyaman untuk meredakan penat dari bisingnya dunia.
Pukul enam sore. Semburat senja telah sepenuhnya berpisah dengan terang, berganti langit malam yang pekat dan terasa mencekam. Namun, kursi di sampingku masih saja hampa. Tak berpenghuni. Entah sudah berapa banyak kali aku datang dan duduk di sini dalam kesendirian. Tuan dari kursi taman itu, yang selalu hadir serempak dengan senja dan dua potong roti cokelat, tak kunjung menampakkan diri. Tak ada suara langkah. Tak ada tanda-tanda kehadirannya.
***
"Bagaimana hari ini?"
Itulah sapaan pembuka kami, percakapan yang tak pernah absen setiap akhir pekan selama setahun penuh. Ia selalu yang memulai. Bertanya tentang keadaanku, lalu merangkai cerita-cerita acak yang hanya kami berdua yang mengerti alurnya. Komunikasi dua arah, namun ia yang lebih banyak mengisi, menghidupkan setiap temu tanpa perlu kuminta.
Perkenalan kami tidak pernah benar-benar dimulai. Mengalir begitu saja. Sebuah kecocokan yang terjalin dari pertemuan, perbincangan, dan terapi emosional yang saling melengkapi. Kami begitu nyaman membahas topik baru setiap pekannya, seolah-olah kami memang telah digariskan untuk mengukir kebahagiaan bersama. Namun, akhir dari cerita ini sungguh di luar dugaan. Awalnya tak terasa, namun ujungnya begitu menyayat jiwa. Pedih. Tak ada isyarat. Sebuah perpisahan yang terjadi sepihak.
Namanya Kinan, tapi aku memanggilnya "Nan". Tiga huruf di akhir namanya. Sosok unik yang mengubah caraku memandang semesta. Ia mahasiswa psikologi yang begitu mampu merengkuhku. Seorang ekstrovert yang mudah bergaul, bahkan denganku, si introvert yang sedang berjuang pulih dari luka lama. Anggap saja aku pasien pribadinya yang berhasil sembuh dari trauma, berkat ‘terapi ajaib’ yang dilakukannya. Dia mampu masuk ke dalam duniaku, yang tak seorangpun bisa memahaminya. Itulah kehebatannya.
Aku ingat betul di Sabtu sore ketika kami bertemu ia berpesan.
"Dunia ini akan tetap berisik, Sarah, selama kamu membiarkan siapa pun bebas masuk. Selama kamu masih mengizinkan telingamu mendengar omongan-omongan sampah. Manusia boleh lemah, namun jangan sampai hilang kuasa atas dirinya sendiri. Dunia hanya sebentar jika harus dilewati dengan kesedihan. Jangan terlalu menggenggamnya sebab ia akan pergi suatu saat nanti, bahkan ketika kamu tidak menghendaki kepergiannya. Jangan jadikan orang lain sebagai alasan atas kebahagiaanmu, tapi ciptakan sendiri kebahagiaan itu, begitupun aku."
Dalam ucapannya, ia selalu menyampaikan kebenaran. Menurutnya, realitas dunia memang harus diterima dan dijalani, walau berdarah-darah. Menghindar hanya akan membuat kita semakin tertikam. Aku suka cara ia menasihatiku yang blak-blakan. Meski kalimat terakhirnya sedikit membuatku tak paham.
***
Di balik sosoknya yang selalu kuat, ternyata ada sisi rapuh yang ia tutupi mati-matian.
Kinan, pemuda 22 tahun, adalah definisi sempurna. Ia adalah lambang laki-laki yang "tidak boleh menangis dan tidak boleh mengeluh." Namun, siapa sangka ada kerapuhan yang tersembunyi.
"Jangan lemah tapi jangan pula terlalu keras, sayangi dirimu" katanya dengan napas yang tersengal.
Dunia benar-benar runtuh sore itu, kala mentari tenggelam.
***
Lamunanku buyar. Petir menyambar salah satu dahan pohon, yang patah dan jatuh ke tanah. Suara guntur tak henti-hentinya memekakkan telinga. Hujan deras tumpah, membasahi apa pun yang ada di bumi. Begitu pula diriku, yang masih duduk terpaku di kursi taman. Tak beranjak. Kehadiran hujan justru membuat lukaku tersamarkan. Derasnya air, membuat tangisku tak terlihat. Aku bisa leluasa meluapkannya. Sebab sosok yang kuharapkan benar-benar tak lagi datang. Tak ada lagi perbincangan hangat, tak ada lagi kue cokelat, tak ada lagi dia yang menjadi penenang dari riuhnya dunia. Ia sudah pergi. Tak akan kembali. Kita terpisah dalam jurang waktu yang begitu dalam.
Setahun lalu ia membuatku merasa utuh. Kini, aku kembali separuh. Ada bagian dari diriku yang terenggut, dan ia membawanya pergi ke tempat yang tak terjangkau.
"Jangan mencintaiku," pesannya kala itu. "Cukup pahami saja aku, maka apa pun yang terjadi padaku akan bisa dengan mudah kau terima."
Setahun setelah kepergiannya, aku baru tahu. Penyakit jahat itu "Leukimia" telah merenggut hidupnya dan kebahagiaanku. Ia tak pernah menampakkan rasa sakitnya. Dan salahku, tak pernah menyadari kerapuhannya. Bodohnya diriku. Tak pernah peduli kepada orang yang bahkan lebih peduli padaku daripada pada dirinya sendiri.
Pertanyaan yang selalu menghantuiku hari-hariku adalah bagaimana mungkin kenangan tentangnya akan pudar?
Namanya, kebaikannya, senyum, dan keteduhannya selalu terngiang. Memang benar, ini hanyalah dunia. Dan sosoknya adalah bagian dari kebahagiaan dunia. Aku telah lancang menggenggamnya dalam hati, hingga saat ia pergi, aku tak tahu bagaimana harus kembali pulih.
Aku terlalu menggantungkan kebahagiaanku padanya. Ketika ia datang, ia menggenapkan bagian diriku yang hilang. Dan kini, saat ia tiada, separuh hatiku ikut pergi bersamanya.
Biodata Penulis:
Mufidatul Ameilia saat ini aktif sebagai mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang.