Yang Hilang Dibawa Arus, Yang Tinggal di Dalam Dada

Cerpen ini menceritakan perjuangan Raka menghadapi bencana banjir dan bagaimana kenangan serta cinta keluarga menjadi kekuatan untuk terus melangkah.

Oleh Azhura Meydasari

Setiap orang punya hari yang tak ingin diingat. Bagi Raka, hari itu adalah hari saat hujan tidak lagi hanya menjadi suara di atap melainkan menjadi pemisah antara dirinya dan keluarga yang ia cintai. Hujan yang biasanya membawa aroma kesegaran tanah, kali ini membawa kabar duka yang mengubah seluruh hidupnya. Dan semua itu dimulai dari sebuah kamar kos kecil di Pekanbaru.

Raka menutup buku catatannya. Huruf-huruf kecil di halaman itu tidak lagi terbaca. Kepalanya terasa penuh seperti balon yang siap pecah. Ia mencoba memaksa diri fokus pada materi ujian yang tinggal beberapa hari lagi, namun pikirannya tersedot oleh kabar yang terus muncul dari media sosial.

Ia mengusap wajahnya, lalu berdiri mendekati jendela kos. Hujan turun deras di Pekanbaru, tetapi yang membuatnya tidak tenang bukan hujan di luar jendela melainkan hujan di kampung halamannya, Padang.

Cerpen Yang Hilang Dibawa Arus, Yang Tinggal di Dalam Dada

Raka membuka ponsel, menatap foto-foto kiriman temannya. Rumah-rumah di pinggir sungai terlihat seperti mainan kayu yang hanyut terbawa arus. Air berwarna coklat pekat, membawa batang pohon, sampah, dan entah apa lagi. Beberapa orang tampak berdiri di atap rumah mereka sambil melambai meminta pertolongan. Jari Raka gemetar ketika ia mengirim pesan ke ibunya

“Ma, banjir di kampung gimana? Air naik ya? Ma jawab ya. Aku khawatir.”

Tak ada balasan. Ia menunggu. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas. Ia menelpon. Tidak diangkat. Perasaan tak enak merayap di dadanya. Ia menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri.

 “Mungkin Ibu sibuk. Mungkin sinyalnya jelek,” katanya meyakinkan diri sendiri. Tapi getaran gelisah di dadanya tak mau hilang. Hari semakin gelap. Raka melirik kalender di dinding kosnya besok adalah hari ulang tahunnya. Biasanya, ibunya menyimpan tanggal itu di kepala. Tidak pernah lupa. Bahkan ketika mereka sedang sulit uang pun, Ibu selalu bangun lebih pagi, memasak telur dadar favorit Raka, dan berkata, “Maaf nak, cuma ini yang bisa Ibu buat.” Kini, ia bahkan tak bisa menghubungi ibunya.

Ia ingin pulang saat itu juga. Membayangkan naik bus malam dan tiba di Padang pagi hari. Mungkin ia bisa membantu mengangkat barang, atau sekadar memastikan adiknya yang berusia 10 tahun itu tidak takut. Tapi ketika membuka dompet, hanya ada selembar uang lima puluh ribu tidak cukup bahkan untuk ongkos makan dua hari ke depan, apalagi tiket pulang.

“Aku harus bertahan,” katanya pada dirinya sendiri. “Ujian tinggal sebentar lagi. Orang tuaku sudah bekerja keras. Aku tidak boleh manja.” Tapi suara hatinya membantah “Bagaimana jika mereka membutuhkanmu sekarang?” pikiranya kemana- mana

Malam turun membawa suara hujan yang lebih ganas. Raka kembali melihat ponselnya, mencoba lagi menelpon ayahnya. Nada sambung berputar lama, kemudian mati. Ia menelpon adiknya untuk memastikan apakah adiknya masih main HP sat hujan. Ternyata sama saja tak ada jawaban.

Teman-temannya di Padang mengirim pesan suara.

“Rak, banjir makin tinggi.” 

“Ini parah, Rak.” 

“Ada jembatan putus di dekat pasar.”

Lalu jaringan mendadak hilang. Internet mati total. Ponsel Raka hanya menampilkan tulisan Tidak ada layanan. Ia menggenggam ponselnya seolah perangkat itu bisa memberinya keajaiban. Air matanya mulai mengisi sudut mata, namun ia menghapusnya cepat-cepat. Raka menatap langit dari balik jendela. “Hujan, tolonglah berhenti,” pintanya lirih. Namun langit tidak mendengar.

Dan di detik ketika tanggal berubah tepat saat ulang tahunnya dimulai Raka duduk sendirian dalam gelap, ditemani suara hujan dan ketidakpastian. Ulang tahun yang paling sunyi dalam hidupnya.

Tujuh hari berlalu dengan perlahan. Setiap pagi, Raka bangun dengan harapan bahwa ada pesan baru dari keluarganya. Setiap malam ia tidur dengan rasa sesak di dada. Teman-teman di kampus melihat wajahnya yang pucat dan matanya yang cekung, tetapi ia hanya menggeleng ketika mereka bertanya.

“Saya nggak apa-apa,” katanya. Padahal ia berbohong. Di meja belajarnya, buku-buku ujian menumpuk tanpa disentuh. Otaknya menolak memikirkan apa pun selain kampung halaman. Hari ketujuh, saat sore mulai turun, ponselnya tiba-tiba bergetar. Sinyal kembali. Ia langsung menelpon ibunya, tidak tersambung. Menelpon ayahnya, tidak aktif. Menelpon adiknya, tidak ada respons.

Tangan Raka mulai berkeringat. Jantungnya berdebar keras. Kemudian telepon masuk. Nama yang muncul “Pak Jamil”. Raka langsung mengangkat. “Halo Pak! Bagaimana Ibu? Ayah? Dila?” Namun jawaban yang ia terima bukan kabar lega. Melainkan suara tangis yang tertahan.

“Raka… Nak… sabar ya. Kampung kita kena banjir besar. Rumahmu… rumahmu hanyut.”

Raka terdiam. Tubuhnya seperti dipalu dari dalam. Dan dengan suara serak bergetar, Pak Jamil melanjutkan, “Ibumu, ayahmu, dan Dilamu… mereka tidak sempat menyelamatkan diri.”

Ponsel di tangan Raka jatuh menghantam lantai. Dunia seperti runtuh tanpa suara. Ia tidak berteriak. Tidak menangis. Tidak bergerak. Ia hanya duduk, memeluk tubuhnya sendiri, sementara hatinya seolah jatuh ke jurang yang tidak punya dasar.

Malam itu, Raka mengetuk pintu kamar temannya, Fikri. Matanya sembab, suaranya parau.

“Fik… aku harus pulang. Malam ini juga. Tapi… aku nggak punya uang.” Fikri yang biasanya ceria langsung terdiam. Ia menatap wajah Raka yang hancur, lalu tanpa banyak tanya membuka dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang. 

“Ini belum cukup buat tiket pulang PP, tapi cukup buat berangkat. Sisanya nanti aku pinjemin lagi. Pulanglah, Rak. Mereka butuh kamu… meski dalam bentuk kenangan.” Tangan Raka bergetar ketika menerima uang itu.

“Terima kasih, Fik… aku nggak tahu harus bilang apa.” 

“Kau nggak perlu bilang apa-apa. Pulanglah.”

Bus malam menuju Padang terasa seperti peti raksasa yang membawa tubuh lelah dan hati patah. Di sepanjang perjalanan, langit gelap dan hujan turun tak berkesudahan. Setiap getaran bus membuat tubuh Raka berguncang, namun pikirannya jauh lebih kacau daripada guncangan jalan. Ia menatap keluar jendela, melihat bayangan pepohonan basah dan rumah-rumah yang lampunya redup.

Ia membayangkan ibunya, yang selalu menanti di depan pintu setiap kali ia pulang.

Ia membayangkan ayahnya yang suka menyuruhnya menghabiskan makanan meski mereka kekurangan. Ia membayangkan adiknya yang selalu melompat memeluknya begitu bus berhenti. Tapi bayangan itu kini seperti mimpi yang kabur.

Ketika bus memasuki wilayah Padang, Raka melihat kenyataan yang lebih menyakitkan. Rumah-rumah rusak, jalanan berlumpur, jembatan patah, pepohonan tumbang. Warga berjalan dengan wajah pucat, beberapa menangis, beberapa berdiri memeluk satu sama lain.

Bencana itu nyata. Dan ia berada di tengah-tengahnya. Ketika sampai di kampung, lutut Raka lemas. Yang tersisa dari rumahnya hanyalah pondasi yang terendam lumpur. Kayu-kayu patah berserakan, foto-foto keluarganya hilang entah ke mana. Di titik tempat dapur dulu berdiri, hanya tersisa kursi plastik yang tersangkut di pohon jambu belakang rumah.

Angin sore bertiup pelan, membawa aroma lumpur dan kenangan yang tenggelam. Raka berdiri di sana sambil memegang sepotong kayu yang mungkin dulu bagian dari pintu rumahnya. Ia mengusapnya perlahan, seolah menyentuh wajah keluarganya melalui benda itu.

“Ibu… Ayah… Dila…” suaranya pecah. 

“Ini Raka. Aku pulang.” Dan di antara puing itu, akhirnya Raka menangis menangis tanpa suara, hanya tubuhnya yang bergetar hebat.

Beberapa tetangga datang memeluknya. Mereka mengantar makanan, selimut, bahkan menawarkan tempat tinggal sementara. Tapi yang paling menolong Raka bukan bantuan fisik melainkan kehadiran mereka. Mereka mengenal keluarganya sejak kecil. Mereka menceritakan bagaimana ibunya menolong tetangga lain hingga detik terakhir, bagaimana ayahnya berusaha menyelamatkan barang-barang, dan bagaimana adiknya selalu tersenyum bahkan ketika air mulai masuk ke rumah. Cerita-cerita itu membuat hati Raka hancur sekaligus hangat. Ia kehilangan mereka tapi ia juga tahu, mereka pergi dengan keberanian dan ketulusan.

Malam itu, di antara serpihan rumah dan tanah basah, Raka duduk sendirian. Hujan turun perlahan, seperti pengantar doa. Raka menatap langit. “Mungkin aku tidak bisa lagi melihat wajah kalian. Tidak bisa mendengar suara kalian. Tapi kalian tetap hidup dalam setiap langkahku.” Ia berdiri, menatap puing rumahnya.

 “Aku berjanji akan jadi orang yang membuat kalian bangga. Kalian mungkin sudah pergi… tapi aku tetap anakmu.” Dan untuk pertama kali sejak kabar buruk itu datang, Raka merasa sebuah kekuatan kecil tumbuh di dadanya. Bukan untuk melupakan. Tetapi untuk melanjutkan.

Hujan bukan lagi musuh bagi Raka. Bukan pula sesuatu yang menakutkan. Hujan kini menjadi pengingat, bahwa cinta bisa mengalir lebih deras dari bencana manapun, dan kenangan akan terus bertahan bahkan ketika rumah sudah hilang. Setiap tetesnya seperti membawa suara lembut.

"Kami selalu bersamamu." Ia tidak lagi sendirian arena cinta keluarganya akan selalu pulang bersama hujan.

Azhura Meydasari
Penulis: Azhura Meydasari

© Sepenuhnya. All rights reserved.