2 Juli 2025
Dingiiiiiinn... Dingin sekali rasanya. Kakiku yang semula lincah kini terasa beku tak bertuan. Gigi-gigiku bergemeretak menggigil tak karuan. Isak tangis mengiringi sepanjang malam penuh bintang. Semuanya berpegangan erat pada plastik oranye berbentuk donat ini, berpindah-pindah ke sana ke mari tanpa arah. Mengharap bantuan yang entah nyata adanya atau hanya angan belaka.
Aku terlampau lelah, tanganku mati rasa, mungkin, ini memang sudah saatnya, aku menghadap sang kuasa, mempertanggungjawabkan apa yang telah kulakukan padanya kemarin lusa.
Andai saja, andai saja, andai ... ah sudahlah sesal yang datang kemudian tak ada gunanya.
Pasrah.
30 Juni 2025
“Iyaaa Bu, iyaaa sabar dong! Dikira gampang apa cari kerja,” tanpa kusadari suaraku meninggi di hadapan ibuku sendiri.
Sebenarnya aku sendiri pun muak dengan kondisiku belakangan ini. Aku putus kuliah sejak ayahku meninggal, banting setir menjadi buruh di sebuah pabrik rokok ilegal dekat rumahku. Yang kemudian digerebek pemerintah dua bulan kemarin. Aku kehilangan pekerjaanku satu satunya. Bahkan, gaji akhir bulan yang seharusnya kuterima pun sirna. Sejak itu hari-hariku diisi lamaran kerja yang tak pernah berbalas. Ijazah SMA milikku seakan tak ada harganya.
Terik matahari menemani langkahku siang ini. Entah sudah berapa kalinya aku pergi ke tukang fotokopi dekat rumahku.
“Mau coba ke mana lagi ini Mas?”
“Seadanya aja deh Mas, pokoknya kerja”
Mata sembab tanda iba yang biasanya kutemukan setiap kali aku ke tempatnya, entah kenapa sekarang justru terlihat berbinar indah.
Sembari menyodorkan kertas hitam putih itu, ia memberitahuku terkait informasi lowongan kerja sebagai staf hotel di Bali yang ia tahu dari saudaranya. Oh ternyata ini penyebabnya. Tanpa pikir panjang aku menyetujui tawaran itu. Jadwal pertemuan dan pemberangkatanku ke Bali pun sudah hampir dapat dipastikan.
Untuk pertama kalinya sejak dua bulan terakhir aku dapat menentukan arah.
Sebuah harapan?
2 Juli 2025
Buku, baju, handphone serta charger, dompet, surat-surat, STNK, SIM, KTP, dan sisa uang. Sepertinya semua hal yang diperlukan sudah kukemasi rapi-rapi dalam tas ransel yang tampak mengembang seperti ikan buntal. Semuanya telah siap.
Setelah berpamitan dengan keluarga dan para tetangga, aku pulang dengan hati lega. Langitnya begitu cerah, bulan tak tampak, namun gemerlap bintang di langit malam menggantikannya. Indah.
“Oh iya, hati-hati ya besok”
Aku baru saja membuka pintu, mendengar ibu berkata demikian saat menelepon membuatku penasaran. Dengan siapa ia berbicara?
“Siapa itu Bu”
“Adekmu, Mas. Eemmm, Mas berangkatnya ditunda lusa bisa? Soalnya adekmu mau pulang besok ini, adek kemarin gak bisa dateng pas ayahmu meninggal. Sekarang dia pengen kita bareng-bareng ke makamnya”
Ya Tuhan, apalagi ini?
Dia ingin membatalkan keberangkatanku hanya karena adikku yang akan datang esok hari? Yang benar saja!
“Gak bisa dong Bu, aku sudah nentukan jadwal keberangkatan. Kalau aku gak berangkat besok, aku gak bakalan bisa kerja di sana Bu. Ayolah tolong sekali saja mengertilah, tolong sekali saja lihat aku”
Matanya berkaca-kaca, diam, hening, menatap dalam mataku. Nafasku naik turun tak teratur. jantungku berdebar tak karuan. Aku tak percaya sebegitunya ia ingin menghambatku terbebas dari hari-hari pengangguran ini.
Meskipun dalam hati masih gundah, kutinggalkan ibu yang masih duduk di dipan (semacam ranjang). Mungkin ia masih sedih, aku pun tak mau seperti ini, tapi mau bagaimana lagi? Apa yang bisa kulakukan?
Aku menuju halaman untuk mempersiapkan motor tua peninggalan ayahku. Satu-satunya motor yang kami miliki. Kuperiksa semua kondisinya, ban, lampu, mesin. Sepertinya semuanya masih normal dan layak pakai.
Dengan hati yang masih berdebar antara kesal, bersalah, dan tekad, aku mengambil ransel ikan buntal itu di kamar. Malam semakin larut, hawa semakin dingin menusuk tulang. Aku menoleh sekali lagi ke jendela kamar ibu. Gelap. Dia pasti sudah tidur, atau pura-pura tidur, agar tidak harus meladeni kepergianku yang tak ia hendaki ini.
Kau tidak pernah mengerti!
Kunci kontak kuputar, mesin motor tua itu menderu, memecah kesunyian malam. Aku melesat meninggalkan rumah, jalanan sepi dan gelap kecuali untuk sorot lampu motorku yang kuning dan redup. Arahku jelas, pelabuhan. Aku harus menyambut feri malam yang akan membawaku menyeberang ke Bali. Angin malam menerpa wajahku, semakin keras seiring dengan laju motor terpacu. Dinginnya bukan main, menusuk, menembus jaket tipisku, menyelinap masuk hingga ke tulang.
Jarak dari rumahku menuju pelabuhan memang lumayan jauh. Karena itu juga aku memilih bepergian malam agar tidak terjebak macet Jalan Pantura yang terkenal sangat padat. Perjalanan ke pelabuhan terasa begitu panjang. Pikiranku melayang antara bayangan ibu yang sendirian di rumah dan harapan akan kehidupan baru di Bali. Motor tua itu menggerung hebat. Lampu-lampu jalan dan terkadang sorot lampu mobil dari arah berlawanan, menyilaukan. Aku terus berkendara, memaksakan mata yang mulai berat untuk tetap terbuka.
Setelah perjalanan panjang nan melelahkan, akhirnya pelabuhan itu pun tampak. Suasana di sana tetap ramai dan bising, meskipun Jarum jam arlojiku sudah menyentuh angka sebelas. Truk kontainer, bus, mobil pick up dan para pejalan kaki saling berdesakan. Setelah membeli tiket dan melalui serangkaian pemeriksaan singkat, aku membawa motorku masuk ke dalam perut kapal feri. Aku memarkir motorku di antara kendaraan lain, lalu naik ke deck penumpang.
Tung... Tung... Tung
Begitulah suara besi anak tangga yang kunaiki, kapal ini tampaknya sudah lumayan berumur. Karat tersebar dimana-mana, bahkan ada beberapa bagian anak tangga yang kulewati tadi bolong terkena karat. Sampai di deck kapal, aku mencari tempat duduk yang tersisa, berkeliling, melirik, akhirnya aku menemukannya.
“Mbak, permisi ya, saya mau duduk”
Kataku lirih, pada wanita cantik itu. Ia mengangguk pelan. Aku duduk di sampingnya. Kuletakkan tas ikan buntalku di lantai.
Kapal yang kutumpangi ini memang tidak begitu besar, bahkan deck penumpang dalam ruangan pun tidak punya, karena kapal ini berjenis kapal tongkang keluaran lama. Terpaksa aku duduk di deck terbuka, terkena terpaan angin malam. Dingin. Tapi ya sudahlah.
Poom... Poom... Poom...
Sekitar jam setengah dua belas malam, Kapal pun berangkat. Udara laut terasa asin, lebih dingin dan kencang. Kota asalku perlahan-lahan mengecil, hanya menjadi kumpulan titik-titik cahaya yang semakin menjauh. Sebuah perasaan ganjil menyergap; antara bebas dan hampa. Aku meninggalkan segalanya, demi sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Tidak lama setelah kapal meninggalkan pelabuhan, gelombang mulai terasa semakin kencang. Kapal yang tadinya terapung tenang, mulai oleng ke kiri dan kanan. Ombak menghantam lambung kapal dengan suara "debam" yang menggelegar, menyemburkan buih-buih putih ke atas deck. Para penumpang yang awalnya santai mulai menunjukkan wajah kepanikan. Sebagian mengambil tempat duduk di dalam, masuk ke area petugas. Sebagian lainnya, termasuk aku, bertahan di deck dengan wajah pucat memegang erat apa yang ada di sekitar.
Langit tanpa bulan semakin gelap, dan gemerlap bintang yang kupuji indah tadi malam seakan tertutup oleh awan kelam. Angin berubah menjadi prahara, menderu-deru, menerpa. Kapal bergoyang semakin dahsyat, seperti mainan di cengkeraman raksasa yang tak terlihat. Teriakan dan tangis mulai terdengar dari seluruh penjuru kapal. Petugas kapal berteriak-teriak memberikan instruksi, tetapi suaranya tenggelam dalam amukan angin dan gemuruh ombak.
Ikan buntalku jatuh ke laut.
“Jangan panik, tenang!” Teriak seorang petugas
Jeduum.
Dentuman ombak menabrak, kapal oleng hebat, kelistrikan kapal mendadak mati. Semuanya menjadi gelap. Penumpang kapal menjerit ketakutan. Kru kapal keluar menyalakan senter. Membuka lemari persediaan, mengeluarkan lusinan benda plastik berwarna oranye. Orang-orang berebutan mengambilnya.
Ada yang tidak beres.
Aku dan wanita yang tadi di sebelahku ikut berdesakan berebut. Tapi...
“Loh sudah habis?” Ujar seseorang.
Ah sial.
“Bagaimana ini Mas, aku gak bisa berenang?” Wanita itu bertanya.
“Ayo, Mbak. Kita cari pelampung saja, barangkali masih ada”
Ia menyalakan senter dari handphone, menelusuri setiap sisi kapal, ketemu. Pelampung oranye raksasa berbentuk donat.
Jeduum.
Dentuman yang kedua, orang-orang semakin menjerit ketakutan. Lambung kapal bocor, air mulai memasuki daerah parkiran. Kendaraan terendam air. Waktu kami sudah tak banyak lagi.
Setengah bagian kapal terendam air. Aku dan wanita tadi berdiri di pinggiran pagar pengaman. Ia menggenggam erat lengan bajuku. Donat itu ku kalungkan kepadanya. Orang-orang mulai berlompatan.
“Kita ikutan lompat enggak Kak? Aku gak bisa berenang”
“Kita ada pelampung kok, aman”
Kami berdua melompat bersamaan, ke lautan. Byuuur, dingin seketika menusuk tulang, kepalaku mendongak, melihat kanan dan kiri, mencari wanita itu. Ternyata dia masih berpegang erat pada donat oranye tadi. Aku berenang menujunya, menggapai donat itu, mengalungkan tanganku kepadanya.
Tak lama kemudian orang-orang lainnya ikut terjun. Mereka berenang menuju kami, meraih donat keselamatan. Berpegangan, menggantungkan nasibnya padanya. Kami berlima terombang-ambing terkena amukan ombak. Semakin menjauh dari kerlap-kerlip cahaya kota dan lampu kapal.
Entah di mana kami sekarang.
Ketika rasa panik mulai mereda digantikan oleh kelelahan yang amat sangat, kesadaran untuk bertahan hidup memunculkan naluri dasar untuk membentuk kelompok. Kami pun saling melempar nama, sebuah upaya primitif untuk membangun koneksi dan kepercayaan.
Kami terdiri dari lima orang: aku; dua orang lelaki paruh baya, Saiful dan Suryo; seorang mahasiswa Udayana asal rembang, Hartono; dan wanita yang bersamaku sejak di kapal itu, Maya. Hal ini dilakukan untuk berjaga-jaga semisal nanti di antara kami ada yang selamat. Sebuah perkenalan singkat.
3 Juli 2025
Hari pertama terombang-ambing di lautan lepas terasa seperti siksaan yang tiada henti. Kulitku perih kemerahan terkena terik matahari. Mulut kering kerontang. Meskipun berada di antara air, namun tak setetes pun kami dapat meminumnya. Pelampung donat oranye itu adalah satu-satunya penjaga nyawa kami berlima. Kami bergelantungan, lengan menjadi kaku, putih pucat karena terendam air terlalu lama.
Malam datang kembali. Dinginnya menusuk hingga ke sumsum tulang, menggigil tak tertahankan. Ombak tak sebesar saat kapal karam, tapi cukup untuk melemparkan tubuh kami dan menyiram wajah dengan air asin yang membuat mata perih.
Aku terus memegangi lengan Maya, memastikan dia masih ada. Terkadang, dia bergumam pelan, "Aku pengen pulang..." Suaranya seperti anak kecil yang ketakutan. Aku hanya bisa menggenggamnya lebih erat, tak punya kata-kata penghibur lagi untuk diucapkan.
4 Juli 2025
Fajar terbit, bintang-bintang kembali bersembunyi di balik langit. Kekuatan kami benar-benar menipis. Salah satu laki-laki paruh baya itu sudah tidak ada, hilang entah kemana. Kami tak sedikit pun berusaha mencarinya. Bibirku pecah-pecah, kepala pening, dan halusinasi mulai datang. Aku melihat ibuku berdiri di kejauhan, tersenyum, memanggil namaku.
Aku menoleh ke arah Maya, ia tampak sangat tenang. Matanya yang biasanya penuh ketakutan kini memandang tenang jauh ke horizon, seolah melihat sesuatu yang tak bisa kami lihat. Wajahnya pucat pasi, tapi ada kedamaian aneh yang terpancar.
“Mayaa …! Mayaaa …!”
Aku berusaha menyadarkannya, ku tepuk-tepuk pundaknya, ku goyang-goyangkan tubuhnya.
Tak ada respons.
Tangannya perlahan melepaskan rangkulannya dari pelampung. Aku dengan sisa terakhir tenaga yang kumiliki berusaha memegangnya, menarik tangannya kembali ke pelampung. Tapi aku tak kuasa. Tanganku terlampau lemas. Kulepaskan ia. Tubuhnya perlahan menjauh, menghilang di balik buih ombak. Kami terlalu lemah untuk berteriak atau menangis. Hanya bisa memandang dengan pandangan kosong, menerima takdir bahwa mungkin itu akan segera terjadi pada kami semua.
5 Juli 2025
Keesokan harinya, atau entah kapan, aku tak tahu pasti. Pikiranku terlalu kacau hanya untuk mengingat hari. Kita hanya bersisa tiga orang, aku, lelaki paruh baya, dan mahasiswa Udayana. Aku tak tahu lagi siapa yang masih hidup dan siapa yang sudah pergi.
Kesadaranku datang dan pergi. Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara mesin. Suara yang asing setelah sekian lama hanya mendengar desau angin dan deburan ombak. Aku memaksakan mata yang hampir buta ini untuk membuka.
Sebuah perahu nelayan kayu berwarna biru tua mendekat. Dua orang nelayan tua dengan topi jerami berdiri di ujung perahu, matanya tajam menatap ke arah kami atau lebih tepatnya, ke arah sisa-sisa kami.
Dia mendekat dengan hati-hati. Yang tersisa dari kami berlima hanyalah aku, yang nyaris tak bernyawa, masih terikat pada pelampung donat oranye yang sudah kusam. Dan satu tubuh lainnya yang sudah tak bergerak, mengambang tertelungkup dengan lengan masih terkait longgar pada pelampung. Satu orang lagi? Entahlah padahal tadi dia masih ada.
Si nelayan menghela napas panjang, wajahnya berlinang air mata. Dengan susah payah, dia dan anak buahnya mengangkat tubuhku yang lunglai ke atas perahu. Kain terpal segera menyelimutiku, menutup penglihatanku. Gelap.
Biodata Penulis:
Candra Alim saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.