Oleh Eka Wirdiyani Jamilah
Hai, Assalamualaikum... kenalkan aku Tantya. Seorang remaja berusia 16 tahun yang sedang duduk di bangku taman sekolah bersama kedua sahabatku. Yang di sebelah kananku bernama Tata dan yang di sebelah kiriku, Tiara.
Saat ini waktunya jam istirahat, kami bertiga memutuskan untuk makan di luar kelas, sekaligus membahas perihal acara kami nanti malam. Rencananya Tata dan Tiara ingin menginap di rumahku selama semalam, karena kami baru saja menyelesaikan ujian semester jadi kami ingin mendinginkan otak yang sudah panas.
"Jadikan nanti sore?" Tanyaku kepada Tata dan Tiara sembari merangkul pundak mereka.
"Jadi dong." Jawab Tiara dengan menunjukkan ibu jarinya.
"Tunggu sebentar, mamaku lagi mengetik nih!." Ucap Tata setelah melihat pesan yang dikirimkan mamanya.
"Ada apa Ta?" Tanya Tiara berpindah posisi ke samping Tata. Tata mengangkat bahunya sebagai jawaban bahwa ia tidak tahu.
Ting...
Pesan masuk dari ponsel Tata dan...
"Aaargh... Kenapa mendadak sih!!" Amarah Tata meledak setelah ia membaca pesan yang dikirimkan mamanya beberapa detik lalu.
"Ada apa?" Tanyaku dan Tiara bersamaan.
Tata menyodorkan ponsel miliknya ke arahku dan Tiara, setelahnya kami membaca pesan tersebut. Setelah kami berdua selesai membacanya, kami akhirnya tau apa yang membuat Tata marah dan kesal, hal itu karena tiba-tiba saja Mama Tata tidak memperbolehkannya untuk ikut di acara kami nanti malam dan itu tanpa alasan.
Tata marah karena acara tersebut sudah kami bahas dan setujui dari seminggu yang lalu dan kami pun sudah mendapatkan izin dari orang tua kami masing-masing, tapi tiba-tiba saja mamanya membatalkan izinnya itu.
Aku dan Tiara mengelus punggung Tata agar ia merasa lebih tenang. Lima menit berlalu bukannya kembali tenang, Tata malah mengambil ponselnya dan memutuskan untuk melakukan sesuatu.
"Ta!! Kamu ngapain sih!." Tegurku karena melihat Tata memblokir nomor mamahnya. Tata sahabatku ini termasuk orang yang lumayan emosian, dan keras kepala, tapi hal tersebut tidak mengurangi rasa saying kami sebagai sahabatnya.
"Biarin." Jawabnya ketus, kemudian menaruh handphone nya dengan keras ke atas bangku yang kami duduki.
"Taa... buka ya blokiran nya, jangan gini dong." Bujuk Tiara dengan menyodorkan ponsel milik Tata. Ia memutar bola matanya kemudian menggelengkan kepalanya sebagai tanda penolakan.
Membujuk Tata agar amarahnya menurun itu memang agak sulit, melihat kepribadiannya yang keras kepala, tetapi kami sudah paham bagaimana cara menenangkan emosinya, karena kami telah melewati banyak hal selama beberapa tahun belakangan.
"Taa, aku punya cerita, mau denger nggak?" Rayuku dengan alisku yang dinaik-turunkan.
Tata yang awalnya memandang lurus ke depan dengan tangan dilipat di depan dadanya malu-malu mengalihkan pandangan ke arahku. "Eemmm, mau Tya." Jawabnya malu-malu sambil tersenyum. Aku tau ia tidak akan mau menolak hal yang satu ini.
***
Siang hari dimana saat itu adalah hari aku dan teman-teman SD ku akan mengadakan berbuka puasa bersama sekaligus reunian setelah lama tidak bertemu, mungkin ada sekitar dua tahunan kita tidak bertemu, karena kesibukan di sekolah yang baru.
Sekarang aku tengah menyiapkan beberapa pasang baju untuk kubawa ke rumah temanku yang akan kami singgahi untuk acara kami. Niatnya aku dan teman-temanku yang lain akan menginap selama dua hari satu malam.
Aku sangat Bahagia saat ini, tapi..
Ceklek...
Pintu kamarku tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok bidadari duniaku, ya itu bunda.
"Hai Bun, ada apa?." Sapaku sekaligus bertanya, “ada apa bunda kemari?”
"Hai sayang. Engga, bunda cuman mau lihat kamu saja." Jawab Bunda.
Aku mengangguk untuk pertanyaan yang bundaku berikan. Aku pun melanjutkan aktivitasku yang ku lakukan sebelumnya.
"Tya, tidak usah ke rumah temanmu dulu ya malam ini." Ucap bunda dengan hati-hati.
Aku yang sebelumnya sedang memasukkan baju yang telah siap ke dalam tas, seketika langsung memberhentikan aktivitas itu dan beralih menatap bunda.
"Kenapa?" Tanyaku to the point.
"Emm, tidak usah dulu, lain waktu saja." Jawab Bunda sambil tersenyum.
Di situ hatiku mulai merasa kesal dan ingin marah, karena aku benar-benar menunggu hari ini. Ditambah Bunda memberikan alasan yang tidak jelas, hanya sebatas ‘Tidak usah, lain waktu saja' dan itu sangat tidak jelas. Sangat menyebalkan
"Gak, pokoknya aku tetap mau ikut!! Bunda juga gak jelas kasih alasannya." Omelku dengan nada suara yang lumayan keras. Aku tahu hal tersebut sangat tidak boleh dilakukan, tapi aku benar-benar kesal.
"Sayang..." Bunda tetap sabar walau aku sudah agak membentaknya dan bunda masih membujukku.
"Gak!!"
Bunda tidak marah, bunda hanya tersenyum lalu beranjak berdiri dari kasurku. "Bunda kasih waktu buat kamu mempertimbangkan keputusan bunda ya, sayang." Titah Bunda sebelum benar-benar keluar dari kamarku.
Di situ aku meluapkan emosiku dengan menendang tas yang sudah siap dan langsung menghempaskan tubuhku ke atas kasur King Sise di kamarku. Sebenarnya aku bisa saja langsung berangkat tanpa memikirkan bunda, tapi entah kenapa aku selalu tidak bisa untuk membantah keputusan bunda, dan sepertinya bunda peka akan hal itu.
Siang hingga malam aku berdiam diri dan mengamuk kecil di kamar, tidak keluar barang sedikitpun, karena aku masih benar-benar kesal. Bunda terus memanggilku dan juga membujukku supaya tidak kesal lagi dengan dirinya, tapi aku tidak mendengarkannya.
Sampai adzan Maghrib berkumandang yang mana hal itu menandakan waktu berbuka telah tiba. Walau aku sedang mengamuk, aku tidak akan melupakan kewajibanku sebagai seorang Muslimah untuk berbuka puasa dan menunaikan sholat. Aku berbuka dengan segelas air putih juga kurma yang sebelumnya sudah aku siapkan untukku bawa ke rumah temanku.
Setengah jam berlalu, aku sudah melaksanakan kewajibanku kepada Allah SWT. Saat aku ingin kembali melanjutkan aksi ngamukku, tiba-tiba bunda mengetuk pintu kamarku.
"Sayang, kok gak turun? Kamu berbuka pakai apa?." Tanya Bunda dengan nada khawatirnya.
Aku tidak menjawab
"Sayang..." Bunda sangat sabar menghadapi aku yang masih seperti anak kecil ini.
"Berbuka pakai air sama kurma." Jawabku datar tanpa melihat ke arah Bunda.
"Turun dulu yuk sayang, makan. Bunda udah masakin makanan kesukaan kamu." Titah bunda lembut.
Seperti sebelum-sebelumnya, aku tidak bisa membantah perintah Bunda. Aku pun bangun dari kasur dan melangkah keluar kamar melewati bunda begitu saja. Tidak sopan sih memang, bahkan sangat.
"Sayang, sebelum makan, tolong buatkan susu buat adikmu dulu ya, dbotol susunya ada di meja Tv." Ucap Bunda.
"Hmm."
Aku punya seorang adik perempuan yang masih bayi, dan aku hanya memiliki ia seorang sebagai saudara kandungku. Adik ku saat itu masih berumur satu tahun. Aku pun turun untuk makan dan membuatkan susu untuk adikku.
Saat aku sudah berdiri di depan meja Tv dan ingin mengambil botol susu, tiba-tiba siaran Tv yang awalnya menampilkan iklan kini sudah mulai kembali, dan acaranya adalah acara berita tvOne.
"Siapa sih yang nonton kok gak dimatiin." Batinku. Aku mengambil remote untuk mematikan televisi, tapi suatu kabar dalam berita itu memberhentikan niatku.
Seorang wartawan menginformasikan kepada publik melalui siaran berita tersebut tentang sebuah kecelakaan beruntun di jalan Soedirman, yang mana jalan tersebut adalah jalan utama menuju rumah temanku, rumah yang ingin disinggahi untuk acara kami. Aku sangat terkejut. Kecelakaan itu membuat kemacetan yang sangat parah yang membuat semua kendaraan yang berada di jalan Soedirman tidak dapat berjalan. Kecelakaan itu terjadi pada pukul 15:00 dan kemacetan dari kecelakaan tersebut terus berlanjut sampai malam ini.
Ceklek...
Pintu rumah terbuka, memperlihatkan sosok pahlawanku, Ayah.
Aku melangkah mendekati ayah dan mengambil tangannya untukku salami. "Kok baru sampai Yah? Tadi berbuka dimana?." Tanyaku.
"Wuuh sayang, ada kecelakaan beruntun di jalan Soedirman, jadi macet parah, sampai tadi mobil ayah tidak bisa jalan sama sekali. Untungnya kamu tidak keluar tadi sore. Kalau tadi kamu keluar, tidak tahu deh gimana. Mungkin bisa jam sembilan malam nanti baru lancar lagi. tadi Ayah berbuka pake air doang sayang, gak ada makanan di mobil." Jawab Ayah panjang lebar.
Aku terpana dengan penuturan Ayah. Sampai jam sembilan malam? Lama banget, bisa bisa aku mengomel sendiri nanti dalam perjalanan semisal aku tetap berangkat ke rumah temanku.
"Ayah udah sholat, kan?" Tanyaku yang di angguki oleh Ayah. "Ya sudah habis ini Ayah bersih-bersih badan, terus makan ya. Tadi bunda sudah masak banyak tuh."
"Okey anak Ayah yang cantik. Kamu mau ngapain?."
"Aku mau buat susu buat adik, Yah."
"Oooh ya sudah, Ayah ke kamar duluan. Bunda di kamar kan?."
"Iya Yah." Jawabku, kemudian Ayah beranjak pergi meninggalkanku.
Selama membuat susu, aku kepikiran dengan kecelakaan tadi, yang membuatku merasa bersalah ke bunda. Aku berfikir, mungkin itu perasaan seorang ibu untuk anaknya, mangkanya tadi bunda tidak memberitahukan alasan kenapa aku tidak boleh pergi.
“Aku harus minta maaf sama Bunda karena sudah mendiaminya dan juga sudah kasar kepadanya.” Batinku dalam hati.
Setelah selesai membuat susu, aku melangkah menaiki tangga menuju kamar Bunda, Ayah, juga Adik.
Tok... Tok...
Ketukan ku daratkan ke batang pintu di hadapanku.
"Masuk saja sayang." Sahut Bunda dari dalam kamarnya.
Ceklek...
"Ini Bunda, susunya." Ucapku sambil memberikan botol susu yang sudah berisi susu itu.
Bunda mengambilnya dan tersenyum. "Makasih sayang, abis ini makan ya."
"Iya, bunda."
Bunda sudah beralih ke adikku yang sedari tadi menunggu sebotol susu. Sedangkan aku? Aku masih tetap di posisiku tadi dan sibuk dengan pikiranku. Aku bingung kenapa Bunda sangat baik, Bunda tidak marah sedikitpun dengan apa yang telah aku perbuat, juga aku bingung bagaimana memulainya, memulai untuk meminta maaf.
Sampai Bunda menyadari bahwa aku melamun diposisi yang sama. "Sayang, kenapa?."
Tersentak dengan pertanyaan Bunda, aku pun menatap matanya. "B-bunda---" satu kata yang baru berani ku keluarkan.
"Ada apa sayang, kamu sakit?" Raut kekhawatiran yang terpancar di wajah bidadariku ini.
Aku hanya menggeleng dan berniat melanjutkan kata-kataku. "Bunda, maafin aku yaa, hiks." Air mataku mengalir dengan sendirinya saat ini, entah karena apa, mungkin karena rasa penyesalanku. "Maafin aku, Bunda. Aku udah kasar hiks-- kasar sama Bunda." Lanjutku.
Bunda langsung berdiri dan memelukku. "Jangan menangis sayang, Bunda selalu membukakan pintu maaf untuk anak-anak Bunda kok. Kamu sudah Bunda maafin sayang, jangan nangis lagi yaa." Kata Bunda menenangkanku.
Aku yang dipeluk dan dibelai oleh bidadari luar biasaku ini semakin deras mengeluarkan air mata, dan membuatku semakin terisak.
"Aku sayang banget sama Bunda." Ucapku.
***
Kini jam menunjukkan pukul 18.00 WIB, yang mana waktu sudah menunjukkan waktu Maghrib. Tiara sudah berada di rumahku sejak tadi sore. Sedangkan Tata, dia jadi tidak ikut acara kami. Dia merasa lebih tenang setelah mendengarkan ceritaku waktu di sekolah tadi dan memilih untuk mendengarkan permintaan Mamanya.
Aku dan Tiara berbincang sambil memasak makanan berat sampai makanan ringan untuk santapan malam kami. Saat sedang asik dengan kegiatan yang kami lakukan, tiba-tiba ponselku berdering dan tertulis sebuah nama "Tata Blakutak.", dengan cepat aku mengangkat panggilan itu.
30 menit berlalu, perbincangan kita pun usai, begitu juga dengan makanan yang sedari tadi dimasak. Dalam perbincangan tadi, berisi kisah membahagiakan yang dialami oleh Tata. Dia sangat bahagia saat neneknya berkunjung ke rumahnya bersama dengan keluarga besarnya. Dia berkata "kamu benar Tantya, bahwa segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya."
Yang dimaksudkan di sini adalah, Tata sudah lama tidak bertemu dengan nenek dan keluarga besarnya, dia sangat merindukan mereka, dan jika dia tetap kekeh untuk ikut main dengan aku dan Tiara, pasti dia tidak bisa bertemu dengan neneknya dalam waktu yang lama, karena neneknya tidak bisa lama di rumahnya. Dan setelah itu, Tata mulai belajar untuk menerima sesuatu dengan lapang dada.
Biodata Penulis:
Eka Wirdiyani Jamilah saat ini aktif sebagai mahasiswa UIN Malang. Penulis bisa disapa di Instagram @diyanyan._