Ketika Hujan Tak Lagi Ingat Caranya Pulang

Cerpen ini menyingkap kehilangan, kesepian, dan kehancuran kampung akibat hujan tanpa henti, diselingi kilas kenangan yang hangat dan melankolis.

Oleh Amanda Putri Ayunda

Sudah sewajarnya manusia merindukan manusia lain. Sudah sewajarnya pula manusia merindukan kampung halamannya. Yang tidak wajar hari ini adalah ketika manusia mulai merindukan cahaya matahari. Banyak orang berdoa agar mentari kembali menyinari mereka, karena hujan tak kunjung berhenti menyapa daun-daun di negeri ini.

Cerpen Ketika Hujan Tak Lagi Ingat Caranya Pulang

Sudah lebih dari satu minggu aku tak lagi merasakan hangatnya matahari. Yang kurasakan hanyalah dinginnya air yang menyentuh kulit saat aku memberanikan diri keluar dari tempat perlindunganku.

Langkah kakiku menyibak genangan yang tak lagi pantas disebut genangan—ia telah menjadi bagian dari jalan itu sendiri. Air diam, pucat, seolah menyimpan sesuatu di dasarnya. Rumah-rumah berdiri dengan luka yang perlahan membusuk, dinding mereka dilekati lumut hijau tua, dan jendela-jendela tertutup rapat seperti mata yang enggan menyaksikan kenyataan.

Tak ada lagi suara anak-anak. Tak ada lagi teriakan penjual sayur yang dulu bersaing dengan ayam jago di pagi hari. Yang tersisa hanya bunyi hujan, jatuh tanpa jeda, seperti kesedihan yang tak tahu caranya berhenti.

Aku berhenti di depan rumahku atau yang dulu kupanggil rumah. Air telah merangkak hingga ambang pintunya. Aku menatap pantulanku di permukaan yang bergetar oleh tetesan hujan: wajahku pucat, mataku kosong, seolah aku pun mulai berubah menjadi bagian dari hujan itu sendiri.

“Apa mentari masih ingat nama kampung ini?” bisikku pada udara yang dingin. Tak ada jawaban, selain riak kecil di air yang memantulkan langit kelabu.

Orang-orang mulai menghilang sejak hari keempat hujan turun. Ada yang pergi, membawa sisa barang dalam karung dan kenangan dalam diam. Ada yang hanyut di arus yang tiba-tiba muncul tanpa permisi. Ada pula yang memilih tinggal di rumahnya, membiarkan air perlahan menelan dinding dan tubuh, seolah pasrah adalah satu-satunya bentuk doa yang mereka miliki.

Kemarin aku melihat sepatu kecil tersangkut di dahan pohon jambu milik tetangga. Sepatu itu milik Nari, gadis kecil yang sering menyapaku setiap pagi. Tak ada lagi Nari. Hanya sepatunya yang menggantung, basah, memanggil masa lalu yang tak mau menjawab.

Dingin kini menjadi sahabat terlama. Sepi menjadi napas sehari-hari. Harapan perlahan berubah menjadi sesuatu yang asing dan jauh, seperti matahari yang kini hanya tinggal cerita di dalam ingatanku.

Di hari kesepuluh hujan, ketika langit terasa lebih ringan sejenak, aku melihat sesuatu di sela-sela awan. Bukan mentari, bukan pula cahaya. Hanya sebuah celah tipis yang membiarkan sedikit terang turun, jatuh tepat di atas air yang menggenang di kakiku.

Untuk sesaat, aku melihat bayangan kampung ini seperti dulu: kering, hangat, penuh suara. Aku melihat diriku yang lama berdiri di sana, tersenyum, hidup. Lalu hujan kembali jatuh lebih deras. Celah itu menutup. Bayangan itu menghilang. Dan aku kembali menjadi satu-satunya yang masih berdiri di negeri yang perlahan tenggelam oleh rindu dan air yang tak pernah benar-benar berhenti.

Aku tak lagi berharap matahari kembali. Jika ia datang pun, mungkin aku sudah berubah menjadi bagian dari hujan yang dulu begitu kurindukan untuk berhenti. Dari hulu terdengar gemuruh yang tak seperti hujan. Bunyi itu berat, kasar, dan datang membawa sesuatu yang lebih dari sekadar air. Tanah di bawah kakiku bergetar pelan, seolah memperingatkan, seolah mengucapkan selamat tinggal dengan bahasa yang tak kumengerti.

Aku menoleh ke arah datangnya suara itu. Di antara kabut dan rintik yang mulai menebal, bayangan gelap bergerak turun bersama batang-batang patah dan sisa-sisa atap yang pernah menjadi rumah. Banjir bandang itu belum sepenuhnya tiba, namun kehadirannya telah mengisi udara.

Aku tidak berlari. Tidak pula berdoa. Aku hanya berdiri, menatap, menunggu dengan napas yang nyaris tak terdengar, bertanya-tanya apakah ketika air itu sampai padaku nanti, ia akan membawa kehancuran… atau justru membawa pulang segala yang telah hilang.

© Sepenuhnya. All rights reserved.