Ketika Otak Perlu Istirahat

Cerpen ini menyoroti rutinitas di kafe, interaksi dengan pelanggan, dan kehangatan suasana yang mampu membuat semua orang merasa diterima.

Oleh Atina Zahira Al ‘Ulya

Aku bukan dukun.

Juga bukan peramal.

Aku hanya perempuan yang bekerja dari balik meja bar. Bertahun-tahun berdiri dan menggiling dari balik mesin espresso. Aku hanya tahu kapan harus memberi gula lebih banyak atau kapan harus menyajikan pure black tanpa diminta. Lagu klasik yang mengalun lembut dari pengeras suara beradu dengan suara coffee grinder yang terus bekerja. Kombinasi yang sempurna!

Cerpen Ketika Otak Perlu Istirahat

Pagi itu, aku membuka kafe lebih awal dari biasanya. Entah faktor apa yang membuatku bersemangat, aku hanya merasa bahwa hal baik akan datang menghampiri. Bagiku, tidak ada perasaan yang paling membahagiakan selain menyambut dan melihat pelanggan menikmati kopi dengan caranya masing-masing.

Mero muncul dari belakang dengan membawa sekotak besar gelas dan piring bersih. Aku bergeser, memberinya celah untuk menata barang-barang tersebut. Bertepatan dengan itu, Air dan Rene kembali setelah selesai mengecek stok biji kopi.

“Pagi-pagi udah rajin banget, Bos,” kata Mero sembari meletakkan kotak itu di atas meja bar.

Aku tersenyum lebar tanpa menoleh. “Gak boleh emang? Ntar siang-siang rezekinya dipatok ayam.”

“Oh, kirain lagi jatuh cinta,” goda Air.

“Iya, jatuh cinta sama kopi.”

“Wes mbuh, Na. Karepmu.” 

Kami tertawa, meromantisasi ketenangan pagi. Tawa kami diiringi denting peralatan kafe yang Mero rapikan satu demi satu. Aku menyiapkan sirup karamel dan merapikan susu kotak sambil bersenandung kecil mengikuti irama lagu dari pengeras suara. Sesekali Air yang sedang memeriksa ulang mesin espresso cekcok dengan Rene yang sibuk merapikan meja dan kursi. Sedangkan dari luar kaca besar, sinar matahari mulai menembus tirai, menciptakan pantulan di permukaan meja kayu.

Udara di kafe pagi itu terasa sejuk. Suasananya hangat, bahkan sebelum kopi pertama diseduh. Semua terasa menenangkan. Seolah kafe ini, dengan segala bunyi dan aromanya, memiliki denyut nadi tersendiri di tengah jantung kota. 

Beberapa menit kemudian, setelah kami selesai bersiap, lonceng kecil di atas pintu berdenting. Seorang pria dengan setelan jas masuk dengan santai. Matanya menyapu dan menelisik seluruh interior kafe.

“Selamat pagi. Selamat datang di Kafe Santa Rasa. Silakan, mau pesan apa?”

Jasnya rapi, tapi dasinya miring. Rambutnya tidak berantakan tapi aku tahu itu disisir seadanya menggunakan jari. Meskipun pembawaannya tenang, kantung mata tidak bisa berbohong. Kasihan sekali. Usianya sepertinya masih di penghujung 20 tahun, tapi sudah terlihat memikul beban seberat dua ton.

Aku tersenyum kecil. “Ice americano peach?” Tawarku setelah lama menunggunya melihat daftar menu.

Pria tersebut sedikit terkejut. Ia menatapku dengan heran, kemudian mengangguk. “Boleh.”

Single shot or double shot? Dine in or take—

Double shot, take away,” jawab pria itu.

Mero, yang juga berada di balik meja bar, langsung cekatan menyiapkan pesanan begitu mendengar ucapan pria tersebut.

Ice americano peach hanya membutuhkan segelas es batu, air putih, sirup buah peach, dan espresso. Perpaduan antara pahitnya espresso dan manis sirup buah peach di akhir memberikan kesan bahwa banyak hal memang tidak sesuai dan menyulitkan, tapi rasa manisnya seolah memberitahu bahwa di balik itu semua pasti ada hal baik yang menanti.

“Baik, totalnya dua puluh ribu. Bisa diambil di sebelah sana ya, Kak,” ucapku sambil menunjuk sebelah kananku menggunakan jempol. Tepat saat itu, Mero juga telah selesai menyiapkan pesanan.

“Terima kasih.”

“Terima kasih kembali, semoga urusannya dimudahkan dan lekas selesai,” ucapku ramah sebelum pria tersebut meninggalkan kafe.

Pria itu menatapku heran, lalu tertawa kecil. Suaranya pelan, tapi cukup membuat udara di sekeliling terasa lebih ringan. Ia hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian keluar kafe tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Itu masihlah pelanggan pertama.

Pelanggan lain mulai berdatangan. Jam menunjukkan pukul delapan pagi lewat sedikit. Kebanyakan yang datang mahasiswa dengan laptop terbuka di depannya. Lalu beberapa ada pemuda-pemudi selesai jogging, seorang ibu muda yang kebetulan jalan-jalan, atau segerombolan laki-laki muda yang ngopag atau ngopi pagi. Semua silih berganti, berlalu dengan ritmenya masing-masing.

Menjelang siang, kafe mulai padat. Para pekerja kantoran berdatangan. Entah untuk makan siang atau sekadar coffee break. Tidak sedikit juga yang sedang work from cafe. Ada yang mengembuskan napas panjang, sementara di sudut lain tawa ringan pecah tanpa alasan.

Ada yang menatap layar dengan wajah lelah, jari-jarinya menggenggam rambut karena frustrasi, di sisi lain, seseorang tersenyum lega seolah akhirnya berhasil menaruh bebannya di meja bersama secangkir kopi. Masing-masing membawa kisahnya sendiri dan entah kenapa aku selalu bisa merasakannya. 

Jam menunjukkan pukul dua siang. Waktunya aku dan Mero berganti shift.

“Amer! Switch posisi.”

Alis Mero berkerut, tak terima. “Kampret. Lo kira gue miras.” 

“Sama aja, Amero,” aku cekikikan mendengar ucapannya.

Belum sempat Mero melayangkan protesnya, Rene datang menghampiriku, memotong obrolan kami. “Mbak, ada Pak Dean.”

Tepat setelah Rene mengatakan itu, lonceng pintu berbunyi. Seorang pria tua melangkah masuk dengan langkah tenang. Kemejanya rapi dipadukan dengan celana jeans, rambutnya sebagian sudah memutih, dan matanya teduh seolah menyimpan ketenangan yang hanya dimiliki seseorang yang telah berdamai dengan waktu.

“Selamat siang, Pak Dean,” sapaku tersenyum akrab.

“Siang, Mbak Nana, Mas Mero.” Keriputnya tampak ketika ia tersenyum.

Long time no see, Pak Deaann,” sapa Air dan Rene disela-sela pekerjaan yang mereka lakukan.

Long time no see you too, guys,” jawab Pak Dean ramah.

Almond black?” tawarku.

No, give me another menu.”

Alright! Satu kopi spesial dan oldies dough untuk Pak Dean segera datang,” ucapku mantap.

Aku dan Mero bertukar posisi, giliran Mero yang menangani kasir dan aku yang berkutat dari balik mesin espresso dan coffee grinder.

Pak Dean pelanggan tetap kafe ini. Usianya hampir tiga perempat abad dan masih terlihat bugar tak termakan usia. Ia biasa datang seminggu dua sampai tiga kali, setiap siang menjelang sore, dan selalu duduk di meja dekat jendela yang menghadap ke jalan. Kadang ia membawa koran, kadang hanya buku lawas dengan judul yang berbeda-beda—buku favorit istri tercintanya yang telah meninggalkannya 15 tahun yang lalu.

Aku tak perlu menanyakan pesanannya. Sejak awal ia hanya memesan menu yang sama, kopi hitam dengan sirup almond dan donat gula favorit istrinya. Mungkin hari ini Pak Dean ingin berganti rasa, berganti suasana, dan beranjak dari masa lalu yang membelenggunya. Namun, tetap tak melupakan kenangannya. 

Tanganku otomatis menyiapkan menu baru untuk Pak Dean, kopi hitam dengan sedikit sirup hazelnut, racikan yang jarang kubuat. Aromanya kacang, ada hint manis samar, rasa pahitnya lebih ringan dari sebelumnya tapi tetap dominan.

Sementara espresso menetes perlahan ke dalam gelas, aku sempat melirik Pak Dean dari balik bar. Di luar, daun-daun pohon bergoyang pelan tertiup angin dan bayangannya jatuh tepat di wajahnya yang berkerut lembut. Pak Dean menatap jendela, matanya menerawang jauh. Sudah lebih dari setahun Pak Dean tidak kemari, entah apa sebabnya. Begitu kembali, meminta kopi yang berbeda dari yang ia selalu minum lima tahun belakangan ini. 

Aku meletakkan pesanan Pak Dean pelan-pelan di atas meja. “Silakan, hazelnut black reminisce dan oldies dough-nya”

Pak Dean tersenyum dan menyeruput kopinya. Aku berdiam menanti reaksinya, takut-takut kalau tidak cocok karena aku jarang menyajikan menu ini ke pelanggan lain.

“Ada aroma kacang seperti sebelumnya, tapi waktu diminum ternyata ada hint manisnya, lebih kental dan rasanya lebih ringan dari almond black.”

“Saya sengaja memakai kopi yang berbeda dari sebelumnya dan menggunakan ekstra hazelnut. Tidak banyak berbeda karena sama-sama dari kacang,” terangku panjang lebar ke Pak Dean.

Perfect! Good job!” Pak Dean tersenyum menatap cangkirnya.

Aku tersenyum lebar, kepalang gembira. “My Pleasure, sir.” Lalu aku berpamitan untuk kembali bekerja.

Suara mesin espresso dan denting cangkir seolah jadi musik latar sepanjang hari. Aku dan Mero hampir tak sempat berhenti. Suara tawa, panggilan, dan denting sendok berbaur menjadi satu. Di setiap sudut kafe, orang-orang datang dan pergi membawa cerita mereka sendiri.

“Satu hazelnut calm latte, satu ice dark serenity, satu affogato vanilla! Dine in semua,” seru Mero sambil berkutat pada monitor. “Satu comfort au chocolate, dua butter bread take away,” lanjutnya.

“Kamu yang memesan affogato?” Tanyaku kepada pelanggan, seorang gadis dengan hoodie abu dan headphone besar di lehernya. Ia hanya menatapku tanpa fokus, matanya tampak seperti habis menangis tapi berpura-pura baik-baik saja. Aku tahu. Itu sepi yang disembunyikan di antara keramaian.

“Mau tambahan rum?” tawarku padanya. Raut muka gadis tersebut bimbang namun akhirnya mengangguk.

Affogato vanilla extra rum-nya satu, ya, Kak, berarti,” ucap Mero.

Tanganku bergerak otomatis menyentuh gelas, menakar bubuk, menekan tuas. Aroma kopi berubah-ubah, bergantung pada siapa yang memesan dan apa yang mereka rasakan hari itu.

Aku menuang espresso panas di atas dua scoop es krim vanila. Aroma kopi panas langsung bercampur dengan wangi lembut rum, menguar pelan sebelum akhirnya menyatu menjadi satu kesatuan rasa yang manis sekaligus getir. Rasanya seperti kenangan yang menolak benar-benar pergi. Manis di awal, panas di tengah, lalu meninggalkan jejak getir yang membuatmu ingin lagi dan lagi. Kopi ini ada untuk mereka yang sedang berusaha berdamai, tapi belum tahu harus melangkah ke mana.

Di sisi lain, Air dan Rene tak kalah heboh menyiapkan beberapa tempat yang sudah direservasi. Air mondar-mandir dari meja satu ke meja lain, menyemprot meja dengan pembersih, dan mengganti vas bunga. Sedangkan Rene menata lilin-lilin kecil di setiap meja. Kafe kami memang sering direservasi untuk kencan kecil, pertemuan, perayaan kelulusan, atau acara ulang tahun. Mungkin karena lokasi yang strategis, tempatnya yang nyaman, dan harganya terjangkau.

“Bos, room one ready, ya!” Lapor Rene padaku. Kebetulan ruang satu direservasi untuk rapat para budak korporat.

“Meja 3, 4, 7, sama 14?” Tanyaku.

“Meja 7 aman,” jawab Rene.

“Udah ready semua, Bos. Gila aja banyak yang kencan, perasaan bukan malming dah,” sahut Air yang muncul tiba-tiba.

Makane golek pacar,” Mero melempar kain lap yang tepat sasaran ke muka Air.

“Dikira segampang beli cilok. Sorry ye, gue mah date for marry. Bukan playboy kelas kakap,” ucap Air setengah mengejek.

“Kampreett,” belum sempat Mero melayangkan protesnya lebih lanjut, obrolan kami terhenti karena ada mahasiswa yang hendak meminjam kabel olor. 

Wes-wes ayo tempur lagi. Tolong lampunya nyalain semua, udah sore,” ucapku sambil meninju pelan bahu mereka satu per satu.

Tidak ada kata yang bisa mendefinisikan perasaanku saat ini. Tidak hanya saat ini. Setiap hari. Kata bahagia saja tak cukup. Di setiap sudut kafe, orang datang dan pergi membawa ceritanya masing-masing. Ada sekelompok mahasiswa menatap laptop dan sesekali tertawa di tengah stres tugas akhir, sepasang kekasih yang sedang kasmaran, atau pekerja kantoran yang tenggelam dalam layar laptop seolah dunia di luar tak lagi penting. Bahkan seorang anak kecil menatap rak pastry dengan mata berbinar tak luput dari pandanganku.

Aku selalu merasa kafe ini bukan sekadar tempat untuk minum kopi, tapi tempat di mana orang-orang datang untuk menemukan ketenangan, tak ada penghakiman, dan tempat untuk menemukan bagian kecil dari diri yang pernah hilang. Datanglah kemari jika butuh pelukan karena kopi Santa Rasa mampu memberimu ketenangan.

Biodata Penulis:

Atina Zahira Al ‘Ulya, biasa disapa Atina atau Nana. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab tapi bodong banget disuruh ngomong Arab. Coffeeholic alias 24/7. Kucingholic juga, punya selusin. Anaknya pelor abis alias nempel molor. Suka nulis asal lagi mood aja, doain ya bisa nulis sambil jalan-jalan di Spanyol.

© Sepenuhnya. All rights reserved.