Petualangan yang Belum Usai

Cerpen ini membawa pembaca menyelami dinamika persahabatan, petualangan, dan kesedihan mendalam saat salah satu sahabat pergi untuk selamanya.

Dini hari di bulan Juni 2023, udara dingin menusuk tubuh lima mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Malang yang tengah berkumpul di depan klinik kampus. Gina, Nadia, Ahmad, Ojan, dan Udin. Lima nama yang awalnya hanya saling kenal sebatas teman satu prodi, kini bersiap memulai petualangan pertama mereka bersama ke Gunung Bromo.

"Semua barang mulai diberesin ya. Terutama barang elektronik. Jaga-jaga baterainya. Setelah berangkat dari UIN, nggak tahu ketemu stop kontak atau nggak," pesan Ahmad sambil mengecek ranselnya.

"Akhirnya kita jadi berangkat juga!" seru Nadia dengan mata berbinar. Gadis berkerudung biru muda itu paling antusias di antara mereka.

Ahmad, si fotografer, sudah menyiapkan drone sejak subuh. "Kita harus buat konten nih. Momen kayak gini harus diabadikan."

Ojan dan Udin, dua sahabat yang sudah akrab sejak semester pertama, saling bercanda sambil mengecek perlengkapan. Sementara Gina, yang biasanya pendiam, tersenyum tipis melihat kehangatan persahabatan yang mulai tumbuh di antara mereka.

Cerpen Petualangan yang Belum Usai

Perjalanan menuju Bromo menghabiskan waktu hampir tiga jam. Di dalam jeep, mereka berbagi cerita, mimpi, dan tawa yang tak pernah putus. Nadia dengan semangat bercerita tentang cita-citanya menjadi dosen, Ahmad memamerkan hasil foto-fotonya, sementara Ojan dan Udin sibuk merencanakan perjalanan selanjutnya.

"Kalian tahu nggak," kata Gina tiba-tiba, memecah keheningan sejenak. "Aku baru pertama kali merasa sedekat ini sama teman kuliah."

"Sama, Gin. Rasanya kayak udah kenal kalian dari dulu," sahut Nadia sambil merangkul bahu Gina.

Ketika matahari terbit di ufuk timur Bromo, lima sahabat itu berdiri berdampingan, terpesona oleh keindahan ciptaan Tuhan. Mereka menjelajahi sudut-sudut Bromo sampai siang, tak lupa Ahmad mengabadikan momen itu dalam beberapa foto dan video.

"Ini baru permulaan, guys," bisik Ojan. "Kita harus jalan-jalan lagi ke tempat lain."

Dan mereka pun mengangguk sambil tersenyum.

***

Juli hingga Oktober 2023 menjadi bulan-bulan terindah dalam hidup mereka. Setiap ada waktu libur, lima sahabat itu selalu menemukan alasan untuk bertualang bersama. Grup chat mereka tidak pernah sepi.

"Ke sini yuk..." Nadia selalu mengirim video destinasi wisata baru.

"Cari yang ada air-airnya," timpal Ojan.

"Asal jangan yang terlalu jauh deh, besok ada latihan debat," sahut Udin.

"Ke mana aja aku ikut kok," kata Gina.

Nadia selalu menjadi nyawa dari setiap petualangan. Dia yang paling sering mengusulkan tempat baru, dia yang paling berani mencoba hal-hal ekstrem, dan dia yang selalu berhasil membuat yang lain tertawa bahkan di saat-saat melelahkan.

"Nadia itu kayak penyemangat buat kita semua," kata Ahmad suatu hari ketika mereka sedang istirahat di sebuah warung setelah mendaki.

"Iya, tanpa dia rasanya perjalanan kita kurang greget," sambung Udin.

"Tahajud sama doanya juga nggak pernah kelewat walaupun kita lagi main gini," seru Gina.

Mereka berbagi segalanya. Kebahagiaan, kesedihan, impian, bahkan ketakutan-ketakutan kecil yang tak pernah mereka ceritakan ke orang lain.

***

Pertengahan Oktober 2023, sesuatu mulai berubah.

"Nad, kok kamu pucat banget sih?" tanya Gina saat mereka duduk di kantin kampus.

Nadia mengusap wajahnya sendiri. "Iya ya? Mungkin cuma kurang tidur."

Tapi di minggu berikutnya, Nadia mulai sering absen kuliah. Pesan-pesannya di grup chat juga berkurang. Kalau pun ada, hanya sekadar jawaban singkat.

"Nad, kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Sakit?" tanya Ojan lewat chat.

"Cuma capek biasa kok. Lebay deh kalian," balas Nadia dengan emoji tertawa, tapi suaranya terdengar lemah.

***

Akhir Oktober, Ahmad, Ojan, dan Gina memutuskan untuk menjenguk Nadia yang ternyata dirawat di rumah sakit. Mereka membawa bolu dan buah-buahan.

"Kalian dateng!" Nadia tersenyum lebar, tetap ceria seperti biasanya.

Mereka mengobrol seperti biasa, Gina menyuapi Nadia, seolah tidak ada yang berubah. Seolah Nadia akan sembuh dan main lagi bersama mereka.

Tiga hari setelah itu, Nadia bisa pulang dan pengobatan dilakukan dengan berobat jalan. Kehidupan pun berjalan seperti biasanya, Nadia kembali masuk kuliah, walaupun sambil memakai masker. Hingga pada awal November, saat kontrol ke rumah sakit, jantung Nadia berdetak lebih cepat dari biasanya.

Dua minggu kemudian, malam setelah Isya, mereka dikabarkan teman pondok Nadia bahwa kondisinya kritis. Mereka yang kebetulan sedang berkumpul untuk rapat organisasi segera bergegas ke rumah sakit.

Ternyata tiga hari setelah kontrol terakhir, Nadia drop dan harus dirawat di rumah sakit yang lebih besar. Nadia menyuruh teman pondoknya untuk tidak memberi tahu mereka karena takut merepotkan.

Di rumah sakit, keluarga Nadia dari Banten sudah ada di sana.

"Sudah seminggu di rumah sakit. Hari ini dia sudah tidak sadar dan masuk ruang ICU," kata ibu Nadia dengan suara bergetar. "Nadia terkena gagal fungsi hati."

Mereka menangis, berdoa, dan menunggu kabar baik di ruang tunggu rumah sakit.

Hingga pada pukul sebelas malam, saat mereka mau pulang, ibu Nadia menelepon. Nadia sudah tiada.

Mereka bergegas masuk ke dalam ruangan dengan perasaan campur aduk, tidak percaya. Rumah sakit seketika penuh dengan sahabat-sahabat Nadia yang lain.

Gina memeluk ibu Nadia yang menangis tersedu-sedu di samping jenazah putrinya.

"Kami harus membawa Nadia pulang ke Banten," kata ayah Nadia dengan suara serak. "Perjalanannya jauh sekali. Hampir lima belas jam. Kalian masih ada kuliah. Nadia pasti tidak mau kalian korbankan kuliah untuk ini."

"Tapi Pak..." Gina tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

"Datanglah kapan kalian sempat. Nadia akan selalu menunggu di sana," kata ibu Nadia sambil memeluk mereka satu per satu.

"Kami janji akan ke Banten, Bu," sahut Gina.

Mereka hanya bisa berdiri di halaman rumah sakit, menyaksikan ambulans yang membawa Nadia perlahan menjauh, hingga menghilang di tikungan jalan.

"Selamat jalan, Nad," bisik Ojan. "Maafin kami nggak bisa anter sampai akhir."

Ahmad, yang rumahnya di Jakarta, menghapus air matanya. "Aku akan ke sana. Aku janji. Setiap liburan semester, aku akan ke sana."

Hari-hari setelahnya terasa hampa. Suasana duka seakan tidak ada habisnya. Grup chat mereka yang dulu ramai kini sepi. Kalau pun ada pesan, hanya sekadar koordinasi kuliah atau tugas kelompok. Tidak ada lagi rencana-rencana petualangan. Tidak ada lagi emoji tertawa Nadia yang selalu muncul setiap malam.

Ahmad menepati janjinya. Setiap liburan semester, dia menyempatkan diri ke Banten untuk mengunjungi makam Nadia. Dia mengirim foto makam yang sudah ditata rapi dengan bunga-bunga segar ke grup chat mereka.

"Aku tadi ke makam Nadia. Aku ceritain tentang kalian semua."

"Makasih ya, Mad. Sampaikan salam kami juga..."

"Kapan ya kita bisa ke sana bareng?"

"Liburan semester nanti yuk, kita ke sana berempat."

***

Setahun berlalu dengan cepat. Mereka sudah memasuki semester lima ketika akhirnya, di akhir November 2024, mereka berempat sepakat untuk pergi ke Banten. Sudah setahun penuh sejak Nadia pergi, dan kerinduan itu semakin tak tertahankan.

"Ini waktunya," kata Gina di grup chat. "Kita harus ke sana."

Perjalanan dari Malang ke Banten menghabiskan hampir enam belas jam. Mereka naik kereta api, duduk dalam keheningan sebagian besar perjalanan.

Ketika sampai di Banten pagi hari, mereka disambut hangat oleh keluarga Nadia. Setelah sarapan, mereka melanjutkan perjalanan ke pemakaman.

Makam Nadia terletak di pemakaman kompleks, terlihat terawat dengan baik.

"Assalamu'alaikum, Nad," bisik Gina sambil berjongkok di samping makam. "Kami datang. Maaf lama."

Mereka duduk melingkar di sekitar makam, membaca tahlil dan berdoa dipimpin oleh Aqil, adik laki-laki Nadia. Kemudian mereka bercerita seperti dulu. Tentang kuliah, tentang tempat-tempat baru yang mereka kunjungi, tentang betapa mereka merindukannya setiap hari.

"Kamu pasti sudah foto-foto banyak di sana ya, Nad," kata Ahmad sambil tersenyum, meskipun air matanya mengalir. "Surga pasti lebih indah dari semua tempat yang pernah kita kunjungi."

"Dan kamu pasti udah planning perjalanan buat kita semua nanti," tambah Ojan. "Tunggu kami ya, Nad. Suatu saat nanti, kita akan bertualang lagi. Bareng-bareng."

Gina tidak bisa bicara. Dia hanya memegang nisan itu erat-erat, membiarkan air matanya mengalir. Setahun penuh dia menahan rindu ini.

"Sampai ketemu lagi, Nad," bisik Gina akhirnya. "Tunggu kami di sana ya. Petualangan kita belum usai."

Mereka duduk di sana sampai zuhur, tidak ingin beranjak. Setahun penuh mereka menahan kerinduan ini. Setahun penuh mereka hanya bisa melihat makam Nadia lewat foto-foto yang dikirim Ahmad.

***

Setelah pulang dari makam, mereka diajak ke pantai, berkuliner, dan mengelilingi kota Banten sampai malam. Pagi harinya, mereka jalan-jalan pagi bersama kedua adik Nadia sambil bercerita. Setelah itu, mereka sarapan bersama keluarga Nadia.

Ayahnya bercerita, "Pas Nadia sampai Banten, banyak sekali orang yang melayat. Saat dimakamkan, hujan deras turun selama tiga hari berturut-turut." kemudian juga membaca tulisan di tas Nadia: Jika aku pergi, apakah alam akan menangisi kepergianku?

Seolah hujan itu pertanda bahwa alam menangisi kepergiannya.

Karena sedang UAS, mereka tidak lama di Banten, hanya dua hari satu malam. Setelah zuhur, mereka diantar ke stasiun. Sambil menunggu kereta, mereka diajak makan pecel bandeng di dekat stasiun.

Mereka pulang membawa kenangan yang sangat berkesan. Tentang kebaikan Nadia, tentang keluarga yang sangat mencintainya, tentang petualangan yang belum usai.

Karena persahabatan sejati tidak pernah berakhir. Ia hanya berpindah tempat dari dunia yang fana, ke taman yang kekal.

Aas Siti Aisah

Biodata Penulis:

Aas Siti Aisah lahir di Majalengka Jawa Barat, saat ini aktif sebagai mahasiswa, program studi Bahasa dan Sastra Arab, di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

© Sepenuhnya. All rights reserved.