Oleh Nazira Rashiqa Zahra
Miaw, namaku Cimol. He/His. Libra. Selective.
Aku adalah kucing Scottish Fold. Ibuku sih, ayahku kucing kampung yang tidak bertanggung jawab tetapi itu privasi keluargaku yang tidak ingin aku umbar.
Aku lahir tiga bersaudara. Dua saudaraku yang berwarna abu-abu dan cokelat sudah diadopsi terlebih dahulu. Awalnya aku tidak ingin berpisah dengan ibu, tetapi tampaknya Shasa, majikanku saat ini, kewalahan karena sudah mempunyai 4 kucing lain yang hobinya dihamili kucing kampung seperti kasus ibu. Para kucing kampung ini memang harus diedukasi tentang program keluarga berencana untuk meminimalisasi anak yang tidak diinginkan sepertiku.
Umurku hanya tiga bulan ketika seorang lelaki datang dan ingin mengadopsiku. Sorot mata tajamnya membuatku sempat ingin pura-pura rabies supaya lelaki itu tidak jadi membawaku pergi. Dia tampak bengis dan tidak memiliki rasa keprikucingan. Menurutku sih dia tipikal majikan yang akan memberikan ikan tongkol dan nasi bekas saja.
Oh? Tapi tangannya tidak seburuk itu, sih? Pikirku saat dia menggendongku untuk pertama kali, menatapku penuh selidik.
Hangat, besar, dan berhati-hati.
“Sha, kucing bisa muntah gak sih?” Dia bertanya sambil memandangiku lekat. “Gak akan mabok darat kan kalo gue bawa pake mobil? Kucing kalo muntah ada kangkungnya gak?”
“Gak lah. Cuma ini kitten, masih kecil, jadi dipangku aja ya? Takut lo ngerem terus dia kejedot.” Shasa menyerahkan beberapa bekal bawaan untukku. “Makasih ya Jaki, udah mau adopt. Nanti kalo ada yang mau lo tanyain bisa chat gue.”
Oh, majikan baruku namanya Jaki.
Setelah mengucap miaw terakhir sebagai salam perpisahan, aku pasrah dibawa lelaki bertangan kekar. Nasib kami para kucing yang tidak bisa memilih majikan. Awalnya aku ingin berontak, namun tangan hangatnya berhasil mengelabuiku agar tetap diam.
Sepanjang perjalanan pulang, aku duduk di atas pangkuannya. Setiap mobil berhenti sebentar, si Jaki ini menatapku lama sebelum mendengus keras. Jelas aku tersinggung! Kenapa tatapannya seperti tidak yakin begitu? Membuatku membalas tatapannya lebih tajam supaya dia tidak meremehkanku. Walaupun cakarku masih lembek, geramanku terdengar seperti dengkuran kecil, aku bukan kucing lemah!
Berkali-kali aku sengaja menginjak pahanya sebagai bentuk protes. Tapi tampaknya tubuhku masih terlalu kecil sehingga serangan kakiku malah menggelitiknya.
“Denger ya, Cing.” Jaki bicara padaku setelah menepikan mobil. Ia menarik napas seraya mengelus tubuhku, membuatku memasang telinga lebar-lebar karena sepertinya ini masalah serius. “Diliat-liat lo lucu juga sih.”
Lelaki tidak jelas. Padahal, sungguh aku sudah memasang tampak serius saat mendengarkannya. “Gue rekrut lo untuk bikin dia bahagia. Jadi, jangan ngerepotin apalagi bikin dia tambah stres. Kalo pipis lo cebok sendiri, kalo makan gak usah manja minta disuapin. Paham, Cing?”
Dia itu siapa? Pacarnya kah?
“Gue gak bisa nemenin dia terus-terusan. Tapi kalo dia nangis, lo harus pinjemin badan lo buat dia peluk. Lo temenin dia, oke?” perintahnya lagi. Berat juga ya bebanku di cerita ini. “Namanya Lea, sahabat gue. Baik-baik sama dia.”
Oh, ternyata cuma sahabatnya. Miaw miaw (ketawa ala kucing). Kasian.
Majikanku namanya Lea. Dia memujaku habis-habisan, setiap hari memeluk tubuhku sampai sesak, juga memainkan paws-ku sambil mengerjakan tugas. Dia merawatku dengan sangat baik!
Yang paling penting, dia tidak pelit soal makanan. Makanya aku tidak protes kalau Lea membeli banyak baju yang terlalu sesak untuk tubuhku yang kian gemuk atau topi rajut kembar untuk berswafoto dengannya. Aku bisa saja menjadi kucing galak tidak tahu malu yang mencakarnya setiap dia menjadikanku konten instagram.
Tapi melihat bahagianya sesederhana aku mengibaskan ekor, aku jadi tidak tega.
Ya sudah, aku maafkan.
Tapi besok lagi makanan basahnya empat kali seminggu ya, Lea.
Manusia itu aneh, ya? Hal-hal kecil bisa membuat mereka senang. Tapi hal-hal kecil juga bisa ditafsirkan menjadi sesuatu hal yang besar.
“Mol, aku cantik gak?” Lea membangunkanku untuk bertanya demikian. Menunjukkan layar ponsel dengan sebuah mirror selfie yang bahkan tidak memperlihatkan seluruh wajahnya. “Cantik, gak? Cantik, kan? Mau aku post, ah.”
“Miaw.” Jawabku. Artinya, “terserah lu aja gua ngantuk.”
Lagi, manusia itu aneh ya? Sebegitu haus akan validasi sampai bertanya pada makhluk yang tidak bisa bicara. Padahal pendapatku juga tidak merubah apapun.
“Gak jadi di post deh,” kata Lea. “Mata aku kayak gede sebelah ya?”
Aku bersyukur Tuhan tidak menganugerahiku akal untuk berpikir. Sehingga aku tidak harus overthinking sampai pukul dua pagi seperti ini. Tenang sekali. Hanya memikirkan ingin pup dimana, dan keributan apa yang harus aku perbuat.
Masih tentang Lea, omongan Jaki ternyata benar. Lea sering sekali menangis dan selalu merengkuh tubuhku erat. Entah apa yang dia harapkan dari seonggok kucing sepertiku, tapi aku harap aku bisa meminjamkan sedikit kehangatan untuknya.
“Mol, hari ini aku sedih banget, masa?” Kalau sudah begini aku hanya bisa mendengarkan sambil kibas-kibas ekor. “Kemarin waktu aku sakit ternyata ada pembagian kelompok, tapi gak ada yang ngasih tau, jadi nilaiku kosong. Kok orang-orang pada tega ya, Mol?”
Aku menepuk tangannya.
Tidak apa, Lea. Hidup memang kejam. Aku juga anak haram dari hubungan terlarang yang tidak tahu siapa ayahku kok.
Kadang dia menangisi hal penting seperti tugas kuliah seperti saat ini. Seringnya dia menangisi video prank kebaikan di TikTok yang bagi-bagi rezeki ke tukang ojek, tetapi sesekali dia akan meracau sambil terus meminta maaf.
Aku tidak bisa melakukan apapun selain meminjamkan tubuhku untuk dipeluk, mengelus tangannya dengan paws-ku yang lembut.
Terakhir, manusia itu aneh, ya? Bahkan di hadapanku yang tidak bisa bicara ini, Lea masih saja berusaha menahan tangisnya. Padahal aku juga tidak bisa mengadukan ini pada siapapun meski aku ingin. Berharap si Jaki menangkap sinyal yang aku kirimkan untuk segera datang dan menghibur Lea dengan seplastik tahu gejrot.
Siapa sih yang membuat Lea menangis? agar aku cakar wajahnya!
Tapi di bagian hajar menghajar itu tampaknya ranah si Jaki, tugasku hanya diam dan bertingkah tidak tahu malu seperti kencing di atas ranjang Lea. Aku harap Lea dan manusia lainnya juga bisa sepertiku. Berhenti terlalu banyak berpikir tentang pandangan orang lain dan menjadi sedikit egois.
Oh, tentang Jaki, dia sering sekali mampir ke sini. Lelaki serampangan itu selalu membawa Whiskas sehingga aku mengurungkan niat untuk loncat ke atas perutnya meski sangat ingin. Habisnya, Jaki ini selalu seenaknya. Dia pasti merebahkan diri pada sofa sambil menunggu Lea bersiap, dia merebut singgasanaku!
“Cimol kayaknya gak suka deh sama gue.” Kata Jaki yang kini berbaring dengan menaruh kedua tangan di belakang kepalanya. “Ngeliatinnya sewot banget.”
“Miaw!” jeritku. Artinya ”memang!”
“Gak ah, dia kucing berpendidikan kok.” Bela Lea yang sedang berkaca di sebelahnya. Jaki tampak dongkol karena Lea berpihak padaku. Bagus! Supaya dia tahu siapa yang akan Lea selamatkan kalau salah satu di antara kita tenggelam.
Jaki menarik ekorku sebelum menggendongku dan melakukan interogasi. “Mol, ayo ngaku, lo tutup mata gak kalo Lea ganti baju?” Pertanyaan Jaki membuat kumisku bergetar. “Harus tutup mata ya, Mol. Lo kan cowok, harus gentle.”
Cih.
Bagaimana ya reaksi Jaki kalau tahu aku sering menemani Lea mandi?
“Lo jangan galak-galak sama gue.” ancam Jaki padaku. “Lo gak tau aja bude gue suka bikin kue lidah kucing.”
Aku memberontak dari gendongan Jaki, segera mendekati Lea untuk mencari pembelaan. Gawat. Rupanya kita bukan lawan yang sepadan, Jaki terlalu berbahaya. Aku tidak boleh lengah supaya lidahku tidak dijadikan kue.
“Miaw…” ucapku. Artinya “ampun bos.”
Tampaknya Tuhan memang mengutusku dengan banyak beban di cerita ini. Tidak berhenti sampai di Jaki, ada satu manusia lagi yang mengancam singgasanaku di hati Lea.
Ada lagi, namanya Reihan, Reyhan, Raihan? gak tahu, ribet.
Mulanya aku tidak menyukai si Reihan ini. Parfumnya tidak cat friendly, menyengat dan terlalu menusuk hidung mungilku. Tidak seperti Jaki yang suka menggelitik perutku setiap mampir, Reihan hanya menatapku tajam dari kejauhan. Aku tahu itu tatapan iri karena dia tidak bisa memeluk Lea sampai terlelap seperti yang aku lakukan setiap malam.
Dia duduk di karpet, aku di atas sofa. Sengaja supaya dia tahu kalau aku masih memegang tahta tertinggi di kehidupan Lea.
“Licik.” Gumamnya pelan tapi masih tertangkap radar telingaku. Darah kucing kampung yang mengalir membuatku menjadi kucing tempramen. Sehingga aku menghampirinya, lalu mencakar tangan yang dipenuhi tinta tato.
Tidak seperti Jaki yang bereaksi berlebihan, Reihan hanya menarik tangannya lalu meringis pelan.
Hooo, spek lelaki keren rupanya.
Coba kita lihat nanti ketika aku cakar-cakar jok mobil kamu ya, Reihan.
“Eh, lo dicakar ya, kak?” Lea baru saja keluar kamar mandi, ia menghampiri kami dengan gurat khawatir. “Cimoool, gak boleh gitu. Ayo minta maaf sama Kak Reihan.”
Tidak mau, aku #TeamJaki! Aku tidak mau lidahku dijadikan kue!
Sampai keesokan harinya, Reihan datang lagi membawa sekarung Royal Canin.
Sejak saat itu aku #TeamReihan.
Kesimpulannya Reihan banyak uang. Hohoho. Aku bisa manfaatkan dia demi sepotong salmon setiap harinya.
Oke Reihan, aku maafkan.
Sudah dulu ya, suara hati Cimol hari ini.
Miaw.
Biodata Penulis:
Nazira Rashiqa Zahra, atau biasa dipanggil Jira. Mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab yang entah kenapa malah kurang suka bahasa Arab. Sering nulis sambil dengerin lagu galau padahal hati lagi fine-fine aja. Pecinta makanan manis, dan spesialis tukang ketiduran di jam-jam penting. Suka berimajinasi sampai lupa realita, suka nyanyi juga meski suara pas-pasan (tapi pede adalah segalanya). Menulis itu tempat curhat paling aman karena kertas gak pernah nge-judge.
(Juga masih bermimpi bisa nulis di taman Edinburgh sambil makan cookies)