Oleh Ibnatia Hasna Fawwaz
Di sebuah desa yang tenang, di tepi sungai kecil dan diapit kebun bambu, berdirilah rumah kayu tua milik Nenek Siti. Rumah itu selalu tampak hidup meskipun penghuninya hanya satu orang. Hal itu karena setiap sudutnya menyimpan kenangan, aroma masakan, dan suara tawa dua cucu kesayangannya Raja dan Ratu yang kerap datang berlibur ke sana.
Raja dan Ratu bukan anak bangsawan seperti namanya. Mereka hanyalah dua kakak beradik yang unik dan berbeda, baik cara berpikir maupun cara mereka menikmati dunia, seperti siang dan malam.
Raja, si sulung berumur sembilan tahun, pendiam, tekun, dan selalu ingin tahu. Dunia baginya adalah tempat yang penuh misteri untuk ditemukan rahasianya. Ia suka membaca buku ensiklopedia, mengamati hewan, dan berimajinasi menjadi penjelajah dunia. Sementara Ratu, adiknya yang berusia tujuh tahun, seolah tak pernah kehabisan energi. Ia gemar bercerita, bernyanyi, menari, dan kadang... bertanya tanpa henti. Kalau Raja hidup di "kerajaan" imajinasi, maka Ratu adalah "ratu" di istana tawa dan celoteh.
Suatu liburan sekolah, kedua anak itu dititipkan di rumah Nenek Siti karena orang tua mereka harus bekerja di luar kota. Sejak pagi, rumah nenek sudah dipenuhi suara Ratu yang tidak berhenti bicara.
"Nenek! Nenek! Raja kenapa diam saja? Dari tadi dia cuma lihat buku bergambar ikan!"
Nenek Siti yang sedang menyiangi kangkung di dapur tersenyum. "Biarkan saja, Nak. Mungkin Raja sedang berpetualang di lautan lewat bukunya," katanya lembut.
Ratu mendengus. "Tapi dia tidak mau main sama Ratu. Bosan kalau sendirian."
"Kalau begitu, cobalah ikut berpetualang juga. Siapa tahu kamu menemukan sesuatu yang menarik," saran Nenek, menatap cucunya yang matanya berbinar.
Setelah beberapa saat, Ratu berlari ke belakang rumah, ke arah kebun Nenek yang penuh bunga, pepaya, dan kolam kecil berisi ikan koi berwarna jingga keemasan. Di sana, ia melihat kakaknya sedang berjongkok di tepi kolam, menatap air dengan serius seolah sedang memecahkan misteri besar.
"Kak Raja, sedang apa?" tanya Ratu pelan.
"Sssst..." Raja menaruh jari di bibir. "Jangan berisik. Aku sedang mencari Raja Koi."
Ratu memiringkan kepala. "Raja Koi? Memangnya ada?" katanya sambil tertawa geli."Sssst..." Raja menaruh jari di bibir. "Jangan berisik. Aku sedang mencari Raja Koi."
"Tentu saja ada! Menurut buku yang kubaca, di setiap kolam koi ada satu ikan paling besar, paling bijak, dan paling cantik. Itu pasti Raja Koi. Katanya, sisiknya berkilau seperti mahkota."
Nada suara Raja terdengar begitu meyakinkan sampai Ratu pun ikut menatap kolam itu dengan mata membesar. "Waaah... kalau Ratu Koi ada juga nggak, Kak?"
Raja mengangkat bahu. "Mungkin ada di kolam sebelah."
Dua kepala kecil itu kini sama-sama menunduk, mengamati air yang beriak pelan diterpa angin. Sesekali, ikan-ikan koi muncul ke permukaan, menciptakan kilau warna yang indah. Di belakang mereka, Nenek Siti mengintip dari jendela dapur sambil tersenyum. Ia senang melihat cucu-cucunya akur, meski ia tahu, kedamaian itu mungkin tak akan bertahan lama.
Hari-hari di rumah Nenek berjalan hangat dan penuh kejutan. Pagi hari, Nenek mengajak mereka menyapu halaman dan memberi makan ayam. Siangnya, mereka makan siang bersama di beranda sambil menikmati semilir angin sawah. Sore hari, Raja biasanya membaca buku di bawah pohon mangga, sementara Ratu membuat karangan bunga dari daun-daun kering. Namun, sebagaimana anak-anak pada umumnya, keduanya kadang berselisih paham.
Suatu sore yang cerah, suasana tenang berubah menjadi riuh. Dari teras terdengar suara Ratu meninggi, "Kak Raja curang! Kakak sembunyikan boneka Ratu!"
Raja berdiri di depan kursi bambu, wajahnya datar tapi matanya sedikit gelisah. "Aku tidak sembunyikan! Aku simpan supaya tidak hilang!" katanya dengan nada membela diri.
Ratu cemberut, "Tapi Kakak tidak bilang-bilang! Ratu sudah cari dari tadi!"
Nenek Siti yang sedang menyiram bunga segera menghampiri mereka. Ia duduk di antara dua cucunya yang sama-sama berkacak pinggang.
"Eh, ada apa ini? Kok dua cucu ini raja dan ratu dari kerajaan Nenek berperang?" katanya dengan nada bercanda.
Ratu langsung mengadu, "Raja ambil boneka Ratu tanpa izin, Nek!"
Raja menunduk sedikit, lalu berkata pelan, "Ratu mainnya berantakan, Nek. Boneka itu hampir jatuh ke kolam. Aku cuma mau menjaganya."
Nenek menatap keduanya bergantian. Senyumnya lembut, tapi suaranya tegas. "Raja, niatmu bagus. Kamu ingin melindungi barang Ratu. Tapi caramu kurang tepat. Kamu tidak boleh mengambil tanpa izin."
Lalu ia menoleh pada Ratu. "Dan kamu, Ratu, harus belajar rapi. Kalau barangmu berserakan terus, orang lain bisa salah paham saat ingin membantu."
Dua cucu itu menunduk. Udara sore terasa hangat dan sunyi sejenak, sampai akhirnya Ratu pelan-pelan memeluk kakaknya.
"Maaf, Kak. Ratu tadi marah-marah."
Raja mengusap kepala adiknya yang lembut. "Aku juga minta maaf. Aku seharusnya bilang dulu."
Nenek tersenyum lega. Ia tahu, setiap pertengkaran kecil adalah cara mereka belajar memahami satu sama lain.
Malamnya, sebelum tidur, Nenek duduk di tepi ranjang sambil membacakan cerita. Di kamar yang diterangi lampu tidur, Raja bersandar di bantal sambil mendengarkan dengan serius, sedangkan Ratu menggenggam bonekanya erat. Ketika cerita selesai, Ratu berbisik, "Nenek, Raja Koi itu beneran ada nggak?"
Nenek terkekeh. "Siapa tahu. Kadang yang membuat sesuatu nyata bukan karena kita melihatnya, tapi karena kita percaya."
Raja menatap Nenek dengan mata berbinar. "Kalau begitu, besok aku mau terus mencari."
"Dan Ratu mau bantu!" seru adiknya cepat.
Nenek mengusap kepala keduanya, lalu berkata pelan, "Kalian ini seperti dua sisi koin. Berbeda, tapi tak bisa dipisahkan. Raja dengan pikirannya, Ratu dengan hatinya. Kalau bersama, kalian akan menemukan keajaiban."
Keesokan paginya, kolam koi kembali jadi tempat petualangan mereka. Raja membawa kaca pembesar, Ratu membawa remah roti untuk memberi makan ikan. Mereka menunggu lama, berharap bisa melihat ikan terbesar muncul. Tapi meski tak ada ikan bermahkota, mereka berdua tertawa puas karena "berburu" bersama lebih menyenangkan.
Menjelang sore, Nenek duduk di teras sambil menatap dua cucunya yang bermain di bawah cahaya matahari. Ia tersenyum haru..
"Ah, dunia ini memang lucu," gumamnya. "Yang satu belajar diam dari buku, yang satu belajar bicara dari tawa. Tapi keduanya belajar cinta dari hati."
Bagi Nenek Siti, perbedaan bukanlah alasan untuk bertengkar. Justru di sanalah letak keindahan keluarga ketika yang pendiam melindungi yang ramai, dan yang ramai menghidupkan dunia yang sunyi. Dan setiap kali angin sore berhembus membawa tawa mereka, Nenek tahu bahwa kasih sayang antara Raja dan Ratu akan terus tumbuh, seperti ikan-ikan koi di kolam belakang rumahnya berenang berdampingan, tak pernah saling mendahului, tapi selalu bersama.
Biodata Penulis:
Ibnatia Hasna Fawwaz saat ini aktif sebagai mahasiswa, Bahasa dan Sastra Arab, di Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang. Penulis bisa disapa di Instagram @ib_natia