Oleh Ema Ramadhani
Hujan rintik-rintik menggantung di langit Kota Laverra, kota yang selalu padat oleh mahasiswa perantauan. Di sinilah Aruna memulai hidup barunya, seorang gadis berusia sembilan belas tahun, bermata tajam, berwajah datar, dan terkenal judes pada pandangan pertama. Tapi anehnya, entah bagaimana caranya, ia selalu saja mudah akrab dengan orang lain. Kesan pertama boleh dingin, tapi sepuluh menit kemudian orang-orang sudah memanggilnya “Nuna”.
Pagi itu, Aruna berdiri di depan jendela kamar kos mungilnya, menyeruput teh hangat sambil memikirkan jadwal kuliah yang menumpuk. Ia mengikat rambutnya asal, tidak rapi, tapi tetap cantik dengan caranya sendiri.
“Laverra pagi-pagi tuh selalu begini, ya? Dingin, tapi bukan yang nyaman,” gumamnya sambil menutup jendela.
Ia meraih tas, mematikan lampu, dan keluar dari kamar kos. Lorongnya sempit, tapi suara-suara familiar membuatnya merasa tidak terlalu asing. Ada Nala yang sedang menjemur handuk, ada Kak Mira yang sibuk menata sepatu di rak. Semuanya menyapa Aruna, entah kenapa, meskipun ia selalu membalas dengan jawaban seperlunya.
“Pagi, Aruna.”
“Ya.”
“Udah sarapan?”
“Belum.”
Nada datarnya sudah biasa. Mereka tahu, itulah Aruna. Judes, tapi hangat di sisi lain.
Di kampus, Aruna punya sebuah pertemanan kecil:
Rena cewek cerewet tiada tanding.
Dito cowok yang sok dewasa, padahal manja.
Lio cowok paling pendiam, tapi paling bisa diandalkan.
Mereka bertemu bukan karena cerita dramatis, bukan karena konflik. Mereka hanya duduk berdekatan di kelas orientasi, ngobrol soal tugas, lalu tiba-tiba saja sudah menjadi teman dekat.
Aruna sering membawakan catatan untuk mereka, membagi waktunya, meminjamkan uang kecil untuk jajan, bahkan membantu membuat presentasi. Ia tidak merasa terpaksa, begitulah ia dibesarkan: kalau bisa bantu, ya bantu.
Hidup berjalan biasa saja. Kuliah, nongkrong, makan di kantin, pulang. Aruna menikmati hal itu. Sampai suatu hari, sesudah kelas selesai, Rena mendekat sambil memegang ponsel.
“Nu, bisa bantu aku ngerjain laporan statistik nggak? Aku lembur kerja kelompok malam ini.”
Aruna mengangguk. “Kirim sini.”
Dua jam kemudian, Dito juga kirim pesan.
“Nu, laptop aku error. Pinjem punyamu ya buat ngerjain tugas siang nanti.”
Aruna mengiyakan. “Oke. Ambil di kos aja.”
Lalu malamnya, Lio mengirim catatan terburu-buru.
“Aruna… kamu bisa gantiin aku presentasi besok? Aku masih belom siap.”
Aruna tertawa kecil, membalas, “Sini materinya. Aku baca.”
Tak ada drama. Tak ada kecurigaan. Tak ada tanda apa pun.
Ia hanya menjalani hari-harinya seperti biasa, dan seperti biasa, ia membantu.
Pada mulanya, semuanya terasa wajar.
Hari berikutnya juga begitu.
Namun lama-lama, Aruna mulai sadar ia tak pernah benar-benar punya waktu untuk dirinya sendiri. Ia sering pulang paling malam dari perpustakaan karena mengerjakan tugas orang lain. Ia sering menahan lapar karena uang jajan dipinjam dan “lupa dikembalikan”. Ia sering ditelepon mendadak untuk mengganti presentasi atau membuat proposal karena “yang lain lagi repot”.
Rena bilang, “Nu, kamu kan cepet ngerjainnya.”
Dito bilang, “Nu, kamu paling ngerti struktur laporan.”
Lio bilang, “Nu, cuma kamu yang aku percaya.”
Semua alasan terdengar manis. Nyatanya, manis itu pelan-pelan mengikis.
Aruna tidak protes. Ia hanya merasa sedikit… lelah.
Tapi hidupnya tetap berjalan normal. Tak ada puncak drama yang membuat semuanya berubah dalam satu hari. Tidak pernah begitu. Semuanya berlangsung perlahan. Suatu sore, hujan turun deras. Aruna duduk di kantin sambil mengaduk es cokelat, menunggu Rena dan Dito yang katanya ingin mengerjakan tugas bersama di situ.
Jam lima sore. Kemudian setengah enam. Lalu jam tujuh.
Tidak ada kabar.
Saat Aruna mengetik pesan, balasan Rena muncul:
“Nu, jadi ngerjain tugasnya ditunda ya. Kita udah di luar kota nih. Dadakan banget!”
Dito menambahkan:
“Sori ya! Kamu bisa kerjain bagian kamu dulu, kan? Kamu jago nulis soalnya hehe.”
Aruna menatap layar ponsel dengan wajah datarnya yang khas.
“Tapi tadi katanya jam lima di kantin,” gumamnya pelan.
Ia menunggu lagi beberapa menit, berharap mereka bercanda. Tapi tak ada yang muncul. Ia akhirnya pulang sendiri, menembus hujan lebat tanpa payung karena payungnya dipinjamkan pagi tadi dan belum dikembalikan.
Keesokan paginya, ada kejadian kecil lain. Aruna membuka loker kelasnya, hanya untuk menemukan laptopnya sudah Kembali namun dengan layar retak di sudut kanan.
Dito mengirim pesan panjang:
“Nu maaf banget yaaaa aku nggak sengaja kejedot meja. Tapi masih bisa nyala kok!!”
Aruna menatap retakan itu dengan bingung, bukan marah.
“Kenapa ya… orang-orang itu gampang banget menganggap ringan hal yang berat bagiku?” katanya lirih.
Ia menarik napas panjang. Tidak ada air mata, tidak ada teriakan. Hanya rasa sesak yang menggantung tanpa arah.
Hari-hari berikutnya, Aruna mulai menjaga jarak, tapi tidak dengan cara dramatis. Ia hanya lebih jarang nimbrung, lebih banyak sibuk dengan tugas sendiri. Ia masih membantu kalau diminta, tapi tidak berlebihan. Ia mengurangi memberi. Namun karena sifatnya yang judes tapi mudah akrab, ia tidak benar-benar kesepian. Ia tetap punya teman, tetap punya ruang, tetap punya senyum kecil yang muncul tanpa disadari.
Suatu sore, ia duduk di tangga gedung F kampus, menatap langit Laverra yang mulai ungu. Angin sore menyapu rambutnya, membuatnya terlihat tenang, meski hatinya rumit.
Lio datang menghampiri, membawa dua gelas minuman dingin.
“Ini buat kamu,” katanya singkat.
Aruna menerimanya. “Makasih.”
Ada jeda panjang. Lio akhirnya bicara lagi.
“Kamu… akhir-akhir ini berubah ya.”
“Berubah bagaimana?”
“Lebih diem. Lebih jauh.”
Aruna tersenyum tipis. “Aku cuma belajar sesuatu.”
“Hm?”
Aruna menatap minuman di tangannya, melihat embun di plastik yang perlahan turun.
“Aku baru sadar,” katanya pelan, “nggak semua orang yang kamu bantu, bakal ngehargain kamu.”
Lio terdiam.
“Aku juga sadar,” lanjut Aruna, “kalau aku terlalu sering ngorbanin waktuku buat orang lain. Padahal… aku juga butuh bantu diri sendiri.”
“Aruna…”
“Tenang, aku nggak marah sama siapa pun. Cuma mulai ngerti aja.” Ia menoleh, menatap Lio dengan tatapan jujur. “Kayaknya… orang-orang itu bukan jahat. Mereka cuma terbiasa ngerasa aku selalu ada.”
Lio menunduk. “Maaf kalau aku pernah begitu.”
Aruna menggeleng tenang. “Nggak apa-apa. Kita sama-sama belajar.”
Mereka terdiam lagi, tapi kini lebih nyaman.
Malamnya, Aruna pulang ke kos. Ia membuka jendela, membiarkan angin malam masuk. Rasanya damai, entah kenapa. Hatinya tidak lagi sesak seperti sebelumnya. Ia duduk di meja belajarnya dan mulai menulis di buku catatan kecil yang biasa ia simpan. Bukan untuk curhat, hanya kebiasaan lama untuk merapikan pikiran.
Tulisan pertama malam itu:
“Kalau terus bergantung sama orang lain, aku cuma akan kecewa.Kalau bergantung pada diri sendiri, setidaknya aku tau pasti: aku nggak akan ditinggal.”
Aruna menutup bukunya dan tersenyum kecil.
Tidak pahit. Tidak getir.
Lebih seperti penerimaan.
Pelan-pelan, ia mulai mengerti. Ada beberapa hal di hidup ini yang cuma bisa ia tanggung sendiri, dan ada beberapa hal yang cuma bisa ia betulkan sendiri. Bukan karena ia sendirian. Tapi karena tidak semua orang bisa jadi tempat pulang. Ia merebahkan badan dan menatap langit-langit kamar kosnya.
“Hm… ternyata,” bisiknya, “nggak apa-apa juga ya… kalau tempat pulang terbaik itu diri sendiri.”
Hening menyelimuti kamarnya, tapi hening itu tidak kosong. Ada damai kecil yang menggantung, seperti tanda bahwa Aruna akhirnya berdamai dengan dirinya sendiri. Di luar, hujan turun tipis-tipis lagi. Dan untuk pertama kalinya sejak datang ke Laverra, Aruna merasa tidak takut menghadapi besok. Sebab ia tahu, bahwa apapun yang akan terjadi nanti, ia selalu punya satu tempat yang tidak akan meninggalkannya:
dirinya sendiri.
Biodata Penulis:
Ema Ramadhani adalah seorang mahasiswi yang senang mengeksplorasi hal baru, terutama di bidang pariwisata, bahasa, dan sastra. Lahir dan besar di Lumajang. Ia dikenal sebagai pribadi yang teliti, cepat belajar, dan selalu ingin memahami sesuatu sampai tuntas. Dalam kesehariannya, Ema aktif berorganisasi, membaca, serta membuat berbagai tugas kreatif yang menuntut ketelitian dan rasa ingin tahu. Ia punya semangat untuk berkembang, memperluas pengalaman, dan membangun masa depan yang lebih terarah melalui pendidikan dan kerja keras. Ema percaya bahwa setiap proses adalah peluang untuk belajar dan menjadi versi terbaik dari diri sendiri.