Mendekap Peluh

Cerpen ini mengisahkan perjalanan hidup Anto, seorang anak SD yang tinggal di sebuah rumah petak bambu di pinggir sungai bersama ibunya, yang ...

Mentari pagi kembali menyapa awan, silap mata tak dapat kutatap keagungan Tuhan. Angin nan lembut menyentuh kulitku, begitu indahnya nikmat semesta bagai laron yang malang lahir menginjak bumi sayap jatuh dan mati. Rasanya sebentar saja tak bisa bersantai ria bersama canda tawa sebaya, pagiku redup membawa botol-botol minuman dan kardus bekas pakai.

Aku lahir di rumah petak bambu di ujung sungai, jalannya yang berkelok tanpa polesan aspal apalagi penerang jalan. Meski jauh dari hingar bingar ibuku berkata seraya memeluk “tak mengapa miskin materi asal jangan miskin hati, tak mengapa tak lahir dari keluarga tinggi asalkan sekolahmu jangan berhenti, ibu sanggup nak menyekolahkanmu” air mata pun jatuh berderai membasahi pipi sang malaikatku. Mendengar ucapannya aku selalu bungkam, hatiku sakit karena ibu harus memikul pilu seorang diri.

Mendekap Peluh

Ayah bak semut ditelan bumi, hilangnya tak meninggalkan jejak atau kabar mungkin malu dengan keluarga lusuh ini. Kini aku duduk di bangku 5 SD untuk sampai di titik ini, sepulang sekolah, kudorong gerobak barang bekas, kupikul tas di pasar dan kusapu rumah tetangga demi uang untukku tabung.

Hingga malam gulita kususuri jalan kembali pulang, nampak seorang wanita terduduk lunglai di bawah pohon. “Ibuuuuuuu” teriakku kaget, “Ibu kenapa ada bu? Kenapa ibu lemes? Jawab bu” tanyaku panik.

“Ibu baik-baik aja nak” bisik ibu dengan nada yang lemah. Kubawa ibu ke puskesmas terdekat dengan gerobak.

“Ibumu sakit asam lambung yang sudah cukup parah, diusahakan makan yang teratur dan istirahat yang cukup, baik silahkan tebus obatnya ke bagian administrasi” jelas dokter.

200 ribu rupiah totalnya bergegas aku pulang, kupecahkan celengan ayam yang selama ini kutabung untuk membeli sepatu baru. “Nak kamu dapat uang dari mana untuk menebus obat ibu, istirahat saja sudah cukup tak perlu ke rumah sakit segala ibu kuat kok” tanya ibu.

“Rejeki dari Tuhan bu, jangan dipikirin sebaiknya ibu istrahat pasti cape” jawabku.

Tak mengerti apa rencana Ilahi untuk jalan berikutnya, kekeh tetap kujalani meski kopi tanpa gula. Sering aku mendengar “anak kumel, anak kolong” dari mulut teman sebayaku tak kuhiraukan meski rasanya tak bisa kujelaskan, memang begini adanya tak bisa kupungkiri.

Kala senja mulai tersenyum aku masih membawa gerobak “tolonggggg” dengarku ada yang teriak namun entah dari mana arahnya, setelah berjalan ke ujung pertigaan ternyata seorang pria paruh baya yang tergletak.

“Aku dimana, kamu yang menolongku?” tanya pria tersebut kebingungan.

“Iya tadi bapak sempat sadar lalu pingsan jadi saya bawa kemari dengan gerobak” jelasku.

“Bapak, bapak baik-baik aja aku khawatir makanya jangan pergi-pergi” teriak wanita yang baru saja datang.

“Bapak baik-baik saja untung ada adik ini yang menolong bapak hehe” jawab bapak sambil tersenyum.

“Kamu siapa terimakasih yah sudah menolong bapak saya”. Tanya wanita tersebut.

“Saya Anto tante sama-sama kalo begitu saya pamit ya pak, tante”.

“Ehhhhh tungguu” pinta wanita itu, “jangan pergi dulu Anto kamu rumahnya dimana kok masih pakai seragam kotor habis dari mana?” tanyanya penasaran.

“Eee... saya memang pulang sekolah tante, terus mencari barang-barang bekas untuk dijual ibu saya sedang sakit” jawabku sambil menahan air mata.

“Ya ampun jangan khawatir ya, saya biayain semua pengobatan ibu kamu dan sekolah kamu sampai sukses kebetulan saya pemilik sekolah di salah satu daerah sini” pinta wanita itu seraya memegang tanganku.

“Terima kasih tante bapak”

Ternyata itu rencana-Mu Sang Pembuat Skenario bagai hidup penuh nestapa kini baru saja ditimpa canda, rasanya seperti mimpi. Aku dan ibuku setidaknya kini hanya perlu mencari uang untuk bertahan hidup. Orang-orang baik itu titipan Tuhan sebagai perantara tak bisa kuucapkan meski seribu terima kasih saat ini hanya doa yang bisaku beri mungkin esok bisaku kembalikan titipan itu.

Hari demi hari ibu kian membaik, Mba Nani dan Pak Rino namanya seorang baik hati yang menolongku kemarin datang ke gubug kami untuk berkunjung. “Anto gimana kabarnya? Maksud kedatangan kami ke sini ingin mengajak Anto dan Ibu Anto tinggal bersama kami dan kalian bisa bekerja di rumah kami jadi kalian tidak perlu lagi memulung, kebetulan saya dan bapak saya hanya berdua di rumah besok kalo saya nikah bapak nggak ada yang jagain, bagaimana?” tanya Mba Nani.

“Mm... apa tidak merepotkan kalian” saut ibu lembut.

“Tentu saja tidak bu” jawab Mba Nani sembari tersenyum.

Akhirnya kami berkemas menaiki roda empat beratap bak orang kaya rasanya baru pertama kalinya saya dan ibu menaiki mobil mewah ini, menyusuri jalanan yang terapit gedung pencakar langit.

Kini aku tinggal di rumah tingkat depan taman No. 10 Gang Candi. Iya, aku tinggal di sana entah mimpi atau tidak. Aku pun bersekolah di SD favorit dengan sepatu baru berlogo, ibuku bekerja sebagai pengelola butik milik Mba Nani.

Saat itu malam pukul 20.30 aku berada di rumah makan bersama ibu dan Mba Nani, nampak kulihat pria paruh baya berbaju lusuh dengan camping berlubang membawa karung di pundaknya tengah mengais sampah. “Pak, bapak lapar?” tanyaku iba.

Pria tersebut tak kunjung menoleh apalagi menjawab ia terus mengais tempat sampah “kenapa nak?” saut ibu.

“Loh Mas Deri” tiba-tiba ibu di belakangku.

“Siapa dia bu?” tanyaku penasaran.

“Dia bapakmu nak”

“Jadi dia bapakku yang udah ninggalin kita bu?” memang kala itu usiaku belum genap satu tahun tutur ibu, bapak pergi meninggalkan kami tanpa memberi sepeser uang untuk makan ibu hingga usiaku 12 tahun.

Kutemukan kembali ayahku dengan keadaan sama sepertiku dulu saat belum bertemu Mba Nani. “Aku ditinggalin sama istriku, dia selingkuh dan aku yang hanya numpang hidup di rumahnya diusir” begitu ucap ayahku kepada kami.

Roda yang berputar ini memang tidak berjalan cepat namun pasti insan akan merasakan perputarannya entah sekarang, nanti atau esok. Sesuatu yang sengaja meninggalkan maka akan ditinggalkan pula, bukan manusia yang merencanakannya namun Tuhan mengerti isi hati manusia.

“Meski bertemu kembali tiada hati niat ibu untuk kembali” tutur ibu seraya memelukku.

Luka itu masih membekas di benak ibu, dari fajar hingga petang pontang-panting membanting kaki, mencari secercah cahaya untuk bertahan demi aku anaknya.

Kami memutuskan hidup tanpa ayah lagi meski bertemu karena menyakitkan jika bersama hanya akan mengingat kenangan masa lalu. “Yang lalu biarlah berlalu mas, kita hanya perlu menjalani hidup masing-masing” ucap ibu menahan air mata.

Kami kembali pulang tanpa senang, meski nampak kasihan melihatnya mengais sampah namun umurku masih segini aku tak memiliki daya apapun untuk menolong sekedar memberi doa dan berharap hidupnya jauh lebih baik lagi esok. Tidak ada yang bisa diharapkan dari manusia, mereka bisa ingkar kapan saja karna Tuhan maha membolak balikkan hati.

Anis Rahayu

Biodata Penulis:

Anis Rahayu lahir pada tanggal 19 Agustus 2003 di Banyumas. Anis anak pertama dari pasangan Suwardi dan Darwati.

Anis Rahayu mengawali pendidikan di PAUD Amanah Bobotsari, kemudian Pendidikan Dasar di SD Negeri 2 Bobotsari lalu Pendidikan Menengah di MTs Negeri 2 Purbalingga, kemudian melanjutkan di SMK Ma'arif NU Bobotsari.

Anis saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Prof. KH. Saifuddin Zuhri Purwokerto program studi Pendidikan Agama Islam.

© Sepenuhnya. All rights reserved.