Oleh Noor Alifah
Siapa yang menyangka senyuman merekah kemarin bertukar dengan tangisan pilu akibat sebuah peristiwa yang paling sakit seumur hidup Bainar. Bagaimana tidak, suaminya yang sangat ia cintai dan banggakan itu tertangkap oleh serombongan warga yang sedang bekerja di sawah milik Samidun. Parudin benar-benar membuat keluarganya tak punya muka lagi di kampung itu. Semua orang membicarakan kelakuannya yang sangat melanggar norma. Parudin tertangkap basah sedang berzina dengan Elidar, wanita yang terkenal gatal dan menjadi sering menjadi selingkuhan suami orang.
Sebelumnya memang sudah beberapa kali jalang itu tertangkap basah. Namun sekarang yang paling membuat geger ialah karena dia bermain api dengan Parudin. Parudin yang terkenal sebagai sosok yang alim dan taat serta sayang pada keluarganya. Semua orang sepakat menyebut bahwa Parudin telah diberi guna-guna. Tidak mungkin anak seorang Buya dan guru agama di sekolah dasar itu berbuat asusila seperti yang mereka dapati. Terlebih lagi istrinya Bainar baru saja melahirkan kemarin siang walau tidak Parudin temani proses persalinannya. Malang benar anak itu, baru saja sehari melihat dunia ia sudah dihadapkan dengan kekacauan.
Bainar tak berhenti menangis dari sore. Ia tak mau memberi anaknya asi. Zulaikha yang baru berusia satu hari pun menangis sejadi-jadinya. Datuk Rangkayo, ayah Bainar tak tahu mau berkata apa lagi. Parudin tak juga buka suara sedikitpun. Dan itulah yang paling membuat Bainar kecewa, suaminya tak mengatakan apapun barangkali sepatah kata pembelaan.
Malu, dibandingkan rasa sakit mungkin ini yang lebih banyak dirasakan keluarga Parudin maupun Bainar. Sedangkan Elidar? Tak usah ditanya, jalang itu sudah kehilangan malunya sejak dahulu. Buya Paruki ayah Parudin bahkan sudah menampar Parudin berulang kali. Malam ini semua anggota keluarga dikumpulkan di rumah Buya.
“Sudah berkumpul semua ini?” tanya Buya Paruki pada anak tertuanya Syamsul.
“Belum, Yah! Malik belum tiba,” jawab Syamsul.
“Baik kita tunggu Malik dulu,”.
Tak lama Malik datang dengan Siti Awaroh. Waro adalah kakak Parudin. Mereka kawin silang. Malik bersaudara dengan Bainar, sedang Waro bersaudara dengan Parudin.
Bainar meminta waktu untuk berbicara dengan Parudin, berdua saja. Mereka segera menuju bilik.
“Uda, apa yang kurang dariku?” tanya Bainar dengan suara gemetar. Ia bersusah payah agar air matanya tak jatuh lagi, sebab matanya sudah terlalu sembab.
“Kau tak kurang, Nar. Hanya aku yang kurang ajar,” jawab Parudin sambil melihat ke langit-langit rumah.
“Aku benci, Uda! Aku mau mati saja,” tutur Bainar sambil menangis.
“Aku tak mencintaimu lagi, Nar! Begitupun anak ini!” ujar Parudin sambil menunjuk bayi kecil itu.
Parudin memang banyak berubah dalam waktu dua bulan ke belakang. Bahkan kemarin istrinya melahirkan ia entah ke mana. Anaknya belum ia iqamahkan. Bainar berbaik sangka saja selama ini, mungkin perhatian yang tak seperti biasa adalah ujian untuknya. Namun ternyata suaminya telah dipakai orang. Jika tidak ditahan oleh saudara-saudaranya mungkin Bainar sudah menghabisi nyawa Elidar wanita jalang itu.
Seharusnya Bainar sedang mengasihi anaknya, seharusnya mereka tengah bahagia karena hadirnya seorang bayi, seharusnya kerabat datang untuk melihat anaknya, bukan untuk membereskan malu yang telah dibuat suaminya. Lidah Bainar seketika kelu, tak bisa lagi mulutnya berkata-kata. Suami yang sangat ia cintai dan hormati mengatakan sudah tak mencintainya lagi. Tubuhnya terasa lemah sekali, tak berdaya.
Brukkk, bunyi badan Bainar yang terhempas ke lantai papan rumah ini. Suara itu terdengar hingga keluar.
Waro dan Malik segera berlari ke bilik arah suara itu terdengar. Mereka terkejut melihat Bainar yang sudah pingsan serta darah yang sudah tergenang dan berlumuran dikakinya.
Plak, tangan Malik mendarat tepat di pipi Parudin yang diam tak berkutik melihat istrinya pendarahan.
Parudin tak bereaksi apapun, ia hanya terdiam bak patung. Tanpa mengucapkan sepatah katapun Malik mengangkat tubuh yang bersimbah darah itu. Semua kerabat di ruangan rumah gadang milik suku Bendang itu memekik ketakutan. Mamak-mamak Bainar bermuka masam dan merah padam, seperti hendak menerkam Parudin hidup-hidup. Kemenakan perempuan satu-satunya telah dibuat hampir mati oleh laki-laki suku Bendang itu.
Waro tak kalah paniknya. Ia letakkan anak kembarnya, Saruna dan Seruni, dalam bilik. Segera dia ambil kasur kapuk dan membentangkannya di tengah ruangan. Datuk Rangkayo, ayah Bainar sedang memanggil Etek Midar dan Pak Tarmin dukun kampung. Etek Midar adalah dukun beranak yang menolong Bainar melahirkan Zulaikha.
Semua orang ribut dan sibuk menyalahkan Parudin. Lelaki itu diam saja, seakan tak terjadi sesuatu. Mungkin benar kata orang-orang, si Parudin ini telah kena gangguan jiwa sebab diguna-guna si Elidar.
Etek Midar dan Pak Tarmin tiba di halaman rumah Buya Paruki. Mereka terkejut melihat kondisi Bainar. Orang tua serta kakak satu-satunya, Uda Malik tampak lesu di sebelah tubuh Bainar yang kaku. Kerabat jauh maupun dekat yang datang ke rumah gadang suku Bendang pun sedih melihat Zulaikha yang baru berusia dua hari yang tak berhenti menangis, seakan ia tahu bahwa keadaan tidak baik-baik saja.
Bermacam mantra dan obat-obatan telah diusahakan oleh pasangan dukun kampung itu. Perlahan darah mulai berhenti mengalir dan Bainar membuka mata pelan-pelan. Semua orang tampak sedikit lega, tak terbayang bila Bainar tak bangun lagi. Bainar sadar dan memberi asi pada anaknya. Barulah bayi itu berhenti menangis.
Waro dan Tek Midar menemani Bainar di bilik. Para niniak mamak mulai berunding dan mengintrogasi Parudin. Buya Paruki malu sejadi-jadinya, anak laki-laki kesayangan dan kebanggan telah merusak nama baik keluarga. Terlebih Parudin seorang guru di sekolah dasar. Hasil perundingan belum juga putus, apakah mereka akan berpisah atau bagaimana. Tetapi para mamak Bainar sangat terluka harga dirinya sebab kemenakan perempuan satu-satunya, limpapeh rumah nan gadang, telah disakiti oleh laki-laki kaum suku Bendang.
Dua hari lagi mereka membuat perjanjian untuk bertemu lagi. Dalam waktu dua hari akan ditanyakan betul-betul kepada Bainar. Sedang Parudin seperti cacing kepanasan sebab teramat sangat bertemu dengan Elidar selingkuhannya itu.
Parudin di ruqyah oleh Ustad Syam dari kampung sebelah. Selain itu juga dimintakan obat kepada dukun agar dia melupakan Elidar. Begitulah orang kampung ini, mereka percaya akan tuhan. Islamisme, tertapi mereka juga tak meninggalkan hal-hal syirik seperti perdukunan dan ilmu hitam. Selama dua hari Parudin dimandikan kembang tujuh rupa dari tujuh rumah berbeda. Diasapi dengan kemenyan, berharap Parudin terlepas dari guna-guna jalang itu.
Sedang itu Bainar tinggal terpisah untuk sementara dengan suami tersayangnya itu. Kembali ke rumah Apak dan Amak. Uda Malik pun begitu, berjauhan sementara dari putri-putri kesayangan dan Siti Awaroh. Bainar tak seperti biasanya, sekarang ia mirip seperti orang gila. Tak mau mandi, gosok gigi, dan menyikat rambut. Anaknya tak mau lagi ia sentuh. Malang benar anak itu, hanya diurus neneknya yang sudah renta pula. Terpaksalah ia menyusu pada istri Samidun yang memiliki bayi juga.
Malam ini ialah pertemuan yang kedua. Tujuh orang mamak suku Piliang berjalan berbondong-bondong ke rumah gadang kaum Bendang. Mereka ialah kakak, adik, kakak sepupu, serta adik sepupu dari Amaknya Bainar. Suasana semakin panas sebab Bainar muncul di depan pintu menangis meraung-raung.
“Saya ditampar Uda Parudin,” ucapnya lirih dengan air mata yang bercucuran.
Memang benar ada bekas tangan yang begitu jelas, seakan ditampar dengan kekuatan penuh.
“Di mana Parudin?” tanya Buya dengan muka merah penuh amarah dan tangan yang sudah dikepalkan.
“Sudah pergi ke rumah Elidar. Katanya mau kawin lari.” jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Bainar menjadi tak terkendali, ia berteriak, tertawa, dan menarik-narik rambutnya sendiri. Melihat itu emosi Malik ta terkendali lagi. Ia berdiri di tengah-tengah niniak mamak semua.
“Saya benar-benar tidak tahan lagi, Buya. Mak, saya harus mengurus kemenakan saya yang malang itu. Saya terpaksa akan meninggalkan Waro dan anak-anak saya. Dengan begini kita impas, bukan? Adiknya meninggalkan adik saya, saya juga harus meninggalkan istri saya,” ucap Malik dengan lantang.
Bagai disambar petir di siang yang terang benderang, hancur sudah hati Waro mendengar perkataan suaminya.
“Apa-apaan, Uda. Lalu kau mau aku bernasib sama dengan Bainar? Dan anak-anak kita bernasib sama dengan kemenakan Uda?” ucap Waro dengan suara lantang penuh emosi. Semua orang hanya terdiam menyaksikan perdebatan itu.
“Memang benar, kan? Kemenakan adalah tanggung jawab mamaknya. Aku bertanggung jawab atas anak Bainar. Kalau bukan aku, siapa yang akan menghidupi dan mengurusnya? Sedang Amak dan Apak kami sudah tua,” kata Malik dengan tatapan yang begitu tajam.
“Kita tidak pernah punya masalah sebelumnya, Uda. Mengapa Uda jadi seperti ini,” ujar Waro lirih. Perlahan mentes air mata di pipinya.
“Harga diriku begitu terluka di rumah ini. Memang aku hanya seorang sumando di sini, tetapi bisakah hargai aku sedikit saja. Bisa-bisanya keparat itu menampar adikku setelah ia khianati begitu saja. Biarlah hubungan saya berakhir begitu saja. Biarlah Parudin tahu rasa membesarkan anak saya,” sambung Malik lagi.
Malam itu juga Malik mengemasi baju-bajunya. Ia berpamitan pada sikembar yang berusia tiga tahun itu. Pedih memang, tapi mau bagaimana lagi? Siapa yang akan mengurusi adik satu-satunya yang hampir gila itu. Siapa yang akan memberi makan dan kebutuhan kemenakannya yang malang itu. Ia tinggalkan istri yang masih dicintainya itu dengan kecupan perpisahan di keningnya. Dalam pikirannya ia harus membalas dendam pada kaum itu. Besok Malik akan mengurus perceraian dirinya dan Waro, sekalian perceraian Parudin dengan Bainar.
Sekali melangkah, pantang akan surut kembali. Tidak akan baik hubungan dua kaum itu seterusnya. Bagi Malik biarlah kemenakannya tidak pernah tahu siapa ayah dan bakonya. Beberapa bulan kemudian terdengar kabar bahwa Parudin dan Elidar telah menikah di Pulau Bintan. Terdengar kabar bahwa Siti Awaroh sudah gila pula. Anak yang kembar itu diurus oleh istri kedua Buya Paruki. Sudah gila dua orang kembang desa yang disebut-sebut dahulu. Bainar yang tertawa dan berbicara sendiri, begitupun Waro. Sebab itulah menjadi takut para gadis di kampung itu untuk menikah.
“Aku tidak mau gila seperti Uni Waro dan Uni Bainar. Lagipun kata emak, laki-laki itu akan menyakiti dengan cara yang berbeda-beda,” begitulah jawaban para gadis ketika ditanya kapan hendak bersuami.
Biodata Penulis:
Noor Alifah saat ini aktif sebagai mahasiswa, Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas.