Oleh Nabila Sabrina
Aku berjalan dengan perlahan di atas trotoar. Menyusuri jalanan kota yang padat-ramai dijejali puluhan kendaraan melintas. Suara ribut klakson bersahutan tanpa henti dengan asap dan debu kendaraan yang semakin tebal menutupi langit biru di siang hari.
Sepatu ketsku berdecit pelan setiap kali aku melangkah demi langkah. Melewati hiruk-pikuk kota yang tak pernah berhenti lengang. Kegiatan sekolah hari ini selesai lebih cepat dari biasanya sehingga aku bisa segera pulang untuk mengistirahatkan badan untuk waktu yang lebih lama.
Langkahku terhenti ketika menatap sebuah gang sempit yang berhimpitan dengan toko bunga dan rumah makan. Entah kenapa saat aku melihatnya, timbul rasa ingin masuk ke dalam gang itu. Kakiku bergerak masuk dan mulai berjalan menyusuri lorong panjang yang sunyi dan gelap itu.
Tidak lama kemudian langkahku terhenti seketika. Di hadapanku berdiri sebuah bangunan tua yang terbengkalai dengan cat dinding berwarna biru yang sudah mulai pudar. Lumut hijau menempel di tiap dinding membentuk corak tak beraturan.
Seketika aku merasa terlempar ke masa lalu. Kenangan demi kenangan melintas di kepalaku membentuk beberapa kepingan puzzle. Berusaha menyatukan tiap kepingan yang muncul satu demi satu. Benar, aku ingat tempat ini. Tempat ini adalah tempat di mana aku mengerti apa arti ‘keluarga’ di hidupku.
Tujuh tahun yang lalu.
Aku berlari secepat mungkin menerobos hujan deras yang semakin kencang. Seragam putih merahku basah kuyup dengan air hujan. Malang rasanya nasibku hari ini. Akibat lupa bawa payung berujung hujan-hujanan. Menunggu di sekolah hanya memakan waktu saja. Ketika sibuk melawan air hujan, aku menengok ke arah gang kecil di seberang jalan, dan memutuskan untuk masuk ke dalam gang untuk memotong jalan agar sampai di rumah lebih cepat.
Lariku terhenti seketika ketika melihat bangunan dengan tulisan ‘Kios nenek Nur’ dengan dilengkapi beberapa lampu kecil mengitari ujung papan tulisan. Catnya berwarna biru cerah sehingga bangunan ini cukup menonjol untuk berada di gang sempit ini.
Sesaat aku menyadari bahwa gang ini ternyata buntu. Kenapa ada yang mendirikan toko di dalam gang? Bukankah harusnya toko-toko dibangun di tepi jalan raya? Beberapa pertanyaan melintas di kepalaku sampai hujan semakin deras sehingga aku memutuskan berteduh di dalam.
Aku mendorong pintu toko dengan pelan bersamaan di atas terdengar bunyi lonceng yang menempel di atas pintu.
“Selamat datang.”
Yang menyapaku adalah seorang wanita tua berdiri di depan meja kasir. Beberapa keriput di wajahnya terlihat jelas ketika ia tersenyum. Rambutnya yang berwarna putih disanggul rapih. Kulitnya putih pucat. Tubuh wanita tua itu terlihat kecil dan renta yang menandakan bahwa umurnya sudah tidak lagi muda.
“Ah, selamat siang nek, di luar hujan deras. Boleh saya meneduh sebentar sampai hujannya berhenti?” Aku bertanya dengan suara gemetar melawan hawa dingin yang menusuk kulitku.
“Tentu saja boleh nak, tubuhmu basah kuyup. Biar nenek ambilkan handuk. Tunggu sebentar ya.”
“Terima kasih banyak nek, maaf merepotkan.”
Nenek itu tersenyum dan berdiri mengambil handuk. Aku menatap sekeliling. Ternyata toko ini terhubung dengan ruang tamu yang terletak di sebelah kiri. Rak-raknya berisi macam-macam barang dari makanan ringan maupun bahan kebutuhan lainnya yang terletak tepat di depan pintu. Tak lama kemudian nenek itu kembali datang membawa handuk dan baju ganti.
“Keringkan badanmu lalu ganti baju ini ya, kamu bisa ganti ini di kamar itu.” Ia menunjuk sebuah kamar di dekat ruang tamu.
Aku dengan tak enak hati menerima handuk dan baju pemberian nenek itu kemudian masuk ke dalam kamar untuk mengganti baju.
Tak beberapa lama aku keluar kamar dan melihat secangkir teh hangat di atas meja. Asap mengepul di atas cangkir tersebut.
“Minumlah, nak. Agar badanmu hangat.”
Aku pun berterima kasih kembali dan mulai meminum teh tersebut. Ada perasaan lega dan hangat ketika aku meneguknya. Sungguh, aku tidak kenal nenek ini tapi entah kenapa ia baik sekali. Padahal aku hanya orang asing yang berniat meneduh di tokonya.
“Kalau boleh tahu, siapa namamu, Nak?” Nenek itu bertanya dengan lembut. Terlihat wajahnya yang keriput menunggu jawabanku dengan sumringah.
“Nama saya Tania, Nek.” jawabku pelan dengan tersenyum.
“Di mana kamu tinggal, Nak Tania?”
“Saya tinggal di Jalan Mawar, Nek. Saya sehabis pulang sekolah dan hujan semakin deras. Saya melihat gang di depan sana. Sebelumnya saya tidak tahu ada gang dan memutuskan untuk masuk. Saya kira gang ini akan tembus ke jalan raya tapi ternyata buntu.” Aku menjelaskan kepada nenek. Nenek itu mendengarkannya sambil tersenyum.
“Banyak yang tidak tahu bahwa ada kios di ujung gang ini. Saat kamu berjalan tadi pasti kamu bingung mengapa ada toko yang dibangun di ujung gang, bukan?”
Nenek itu menjelaskan seakan bisa menebak rasa penasaranku saat pertama kali melihat toko ini. Aku mengangguk mengiyakan.
Nenek itu melanjutkan pembicaraannya. Aku duduk dengan tegap sambil memegang cangkir teh yang sudah mulai dingin. Hujan di luar semakin deras.
“Sejak Nenek pindah ke lingkungan ini beberapa tahun yang lalu, Nenek pun awalnya punya kios di Jalan Mawar, di dekat rumahmu. Pada saat itu di sebelah toko Nenek juga ada kios. Sayangnya Nenek kalah saing. Banyak pengunjung yang lebih suka toko di sebelah karena barangnya yang lebih lengkap. Sampai akhirnya Nenek terpaksa menutup toko karena kekurangan pembeli. Jadi Nenek membuka di kios di dalam rumah Nenek.”
Aku diam tak berkutik mendengar penjelasan nenek. Ternyata itu alasan nenek buka toko di gang sempit ini. Kasihan sekali nenek. Wajah nenek terlihat sedikit murung.
“Nek, bukankah semakin sepi kalau buka di tempat seperti ini?” tanyaku bingung.
“Tentu saja Nak, Nenek sudah mencoba mencari tempat yang lumayan jauh dari kios saingan Nenek dulu, tetapi harga sewanya cukup mahal. Tidak sanggup Nenek membayarnya. Tapi, orang-orang yang tinggal di dalam gang ini lebih banyak belanja di kios Nenek karena tidak perlu keluar ke jalan. Jadi Nenek punya pelanggan tetap.”
Mendengarnya, aku pun tersenyum lega. “Untunglah, Nek.”
Syukurlah orang-orang yang tinggal di sini mengerti perasaan Nenek. Setidaknya usahanya tidak benar-benar bangkrut.
Tak terasa kami berbincang cukup lama. Sampai akhirnya aku melihat jam dinding. Sudah pukul setengah enam sore. Waktu cepat sekali berlalu. Padahal aku masih ingin mengobrol banyak dengan Nenek.
“Nek, hari sudah sore. Aku izin pamit pulang dulu ya, Nek.” Aku beranjak diri dan memakai kembali tas sekolahku.
“Wah, benar. Langit sudah mulai gelap. Maafkan Nenek ya, Nak, gara-gara Nenek kamu jadi telat pulang. Pasti orang tuamu khawatir sekarang.” Nenek menjawabnya dengan perasaan sesal. Padahal Nenek tidak perlu seperti itu. Aku senang saat berbincang bersamanya.
“Tidak apa apa, Nek, tidak perlu cemas.”
“Baiklah, sering-sering main ke sini lagi ya, Nak Tania, hati-hati di luar licin. Sampaikan salam dan permintaan maaf Nenek kepada mamamu ya.”
“Baik Nek, nanti Tania main ke sini lagi nek. Terima kasih banyak, Nek.”
Hujan sudah reda ketika aku keluar dari toko. Nenek berdiri di depan pintu menungguku keluar. Aku melambaikan tanganku kepada Nenek. Berjalan menyusuri gang sembari menoleh ke belakang. Nenek sudah masuk ke dalam.
Malamnya aku menceritakan semuanya kepada ibuku hari ini. Ibuku cemas saat aku baru pulang. Untungnya keresahan ibu mereda ketika aku bertemu dengan Nenek.
“Syukurlah ada orang yang baik hati. Untung kamu baik-baik saja Tania. Tapi, ibu baru tahu kalau ada kios di gang itu. Selama ini kita selalu beli kebutuhan di Ibu Nita, kan.” Ibu berbicara ketika aku selesai menceritakan. Ibu Nita adalah pemilik kios yang dulunya jadi saingan kios Nenek. Wajar ketika aku melihat reaksi ibu yang tak enak hati.
“Kita harus sering-sering mengunjungi kios nenek itu, Bu, walaupun kios Ibu Nita lengkap tapi tidak ada salahnya kalau kita membantu usaha Nenek juga dengan melariskan dagangannya. Selama ini kan hanya orang-orang yang tinggal di gang itu saja yang belanja.” Aku menjelaskan dengan sungguh-sungguh. Aku jadi mengingat kebaikan nenek di sore tadi, dan juga merasa bersalah karena tidak sempat membelanjakan uangku di kios nenek.
“Benar katamu Tania, mulai sekarang kita belanja di Nenek saja ya.”
“Iya Bu, aku juga ingin mengunjungi Nenek itu lagi.”
Keesokan harinya, Aku mengunjungi kembali kios Nenek itu. Hendak mengembalikan baju yang kupakai kemarin. Aku melewati kios Ibu Nita dan melihatnya. Kios itu memang cukup besar dan lengkap. Banyak pembeli yang mengantri di sana. Aku tetap berjalan. Hari ini langit cukup cerah. Jalanan basah bekas hujan kemarin sehingga aku harus berhati-hati jalan karena saat ini aku memakai sendal yang cukup licin. Kan tidak lucu kalau aku jatuh di jalan. Akhirnya aku sampai dan membuka pintu toko. Ternyata banyak pembeli saat ini. Terlihat Nenek sedang melayani pembeli. Aku memutuskan menunggu di dekat pintu.
“Selamat siang, Nek.” Aku menyapa nenek ketika pembeli sudah keluar dari kios.
“Wah, Tania kamu benar datang lagi mengunjungi Nenek, ya.” Wajah nenek terlihat letih.
“Syukurlah Nek, hari ini banyak pengunjung, ya.”
“Benar, Tania. Nenek mencoba menurunkan sedikit harga-harga barang untuk menarik sedikit pengunjung lain.” Raut senang terpampang jelas di wajahnya yang berkeriput sambil menata kembali barang-barang yang berantakan di rak.
“Dari mana mereka tahu kalau Nenek menurunkan harga jual?” tanyaku penasaran.
“Ada tetangga sebelah yang memberi tahu tentang kios Nenek kepada orang di luar gang. Banyak orang orang yang datang setelah itu.”
Senang mendengarnya bahwa Nenek ceria seperti ini. Aku pun memulangkan baju yang kupakai kemarin kemudian bercerita dengan Nenek Nur tentang hal-hal yang kulalui saat di sekolah tadi. Aku juga bercerita soal Ibu yang ingin mengunjungi langsung ke kios Nenek ketika ada waktu.
“Ibuku sibuk kerja, Nek, jadi aku cukup kesepian kalau tidak ada Ibu di rumah.”
“Kamu bisa bermain ke sini, Nak, kalau ibumu sedang kerja. Jadi kamu tidak merasa kesepian lagi. Nenek pasti akan selalu menyambutmu datang.”
“Terima kasih, Nek, entah kenapa rasanya sangat nyaman di sini. Aku juga merasa punya Nenek lagi.”
Nenek hanya tersenyum mendengarkan. “Nenek tidak punya keluarga di sini. Anak Nenek sudah berkeluarga di kota lain. Sekitar 1 bulan sekali mereka pulang.”
“Nenek pasti merasa kesepian, ya.” Ternyata Nenek juga sama kesepiannya diriku. Rasanya, takdir seperti mempertemukan aku dengan Nenek. Dua insan yang merasa kesepian karena keadaan.
Aku pun memutuskan pulang lebih cepat karena Nenek terlihat pucat. Pasti ia kelelahan melayani pembeli tadi.
Sudah sebulan berlalu sejak aku mengenal Nenek. Tapi aku sudah tidak sesering lagi ke rumah Nenek karena persiapan ujian yang semakin dekat. Itulah awal perasaan bersalahku yang masih tersisa kuat hingga saat ini. Rasa penyesalan yang masih tersimpan dan melekat kuat hingga saat ini.
Di setiap pertemuan pasti akan selalu ada yang namanya perpisahan. Benar, bukan?
Hari itu, hari di mana aku berpisah selamanya dengan Nenek. Sejak hari itu Nenek meninggalkan diriku selamanya. Nenek ditemukan meninggal dunia di kamarnya. Ternyata selama ini Nenek mengidap penyakit serius yang tidak pernah kuketahui sejak aku mengenalnya. Keadaan di hari itu amat ramai dengan orang-orang yang melayat dan mendoakan Nenek Nur. Kulihat anak Nenek tersebut menangis tersedu-sedu melihat jasad Nenek yang sudah terbujur kaku. Aku merasakan perasaan yang sama dengan anak Nenek itu. Perasaan bersalah. Perasaan yang amat kubenci. Saat itu aku tidak mengingat secara jelas bagaimana aku berada di sana dan bagaimana yang ibuku lakukan saat berada di sisiku. Yang kuingat hanya ada perasaan kosong dan hampa yang tersimpan di dadaku. Tumpah keluar dengan setetes air mata yang berjatuhan tiap tetesan kesedihan. Pada hari itu hingga sekarang, aku kehilangan Nenek untuk selamanya.
Potongan kenangan demi kenangan yang muncul secara tiba-tiba itu sudah terkumpul sempurna seperti puzzle yang utuh. Aku seperti terlempar kembali ke masa lalu. Saat aku pertama kali bertemu dengan Nenek yang membantuku saat kedinginan oleh air hujan. Bagaimana raut wajah Nenek yang ceria setiap kali aku mengunjunginya. Wajah pucat Nenek karena menahan sakit yang ternyata baru kuketahui beberapa hari sejak Nenek meninggal. Ketidakhadiranku saat Nenek sedang berjuang dengan penyakitnya. Nenek pasti merasa kesepian saat aku tidak ada. Sudah tujuh tahun berlalu dan tempat ini sudah bukan lagi kios yang bercat biru dengan papan “Kios Nenek Nur.” Di hadapanku kini hanya bangunan tua dengan debu bertebaran di setiap sudut. Hanya tersisa beberapa kenangan yang tertinggal.
“Tidak terasa ya, Nek, sudah tujuh tahun berlalu. Maafkan Tania baru mengunjungi kios Nenek. Syukurlah kios ini tidak dibongkar oleh warga sekitar sini. Jadi aku masih bisa melihatnya walau tempat ini sudah tidak sama lagi saat aku kecil.” Aku bergumam dengan nada serak menahan tangis. Rasa sesak ini muncul kembali. Aku membenci ini. Aku tak tahan lagi hingga aku berbalik dan berjalan keluar dari gang itu.
Setelah keluar dari gang aku masuk ke dalam toko bunga. Membeli beberapa tangkai bunga dan keluar menuju tempat yang harus kutuju.
Setelah sampai, aku pergi ke tempat peristirahatan terakhir nenek, walaupun aku sudah lama tidak pergi ke kios Nenek, terkadang aku masih mengunjungi kuburan Nenek. Memanjatkan doa agar Nenek tenang di sana. Seandainya saja aku bisa mengenal Nenek lebih lama, mungkin akan banyak momen-momen kebersamaanku dengan Nenek. Terkadang setiap aku rindu dengan Nenek, aku selalu menyalahkan takdir. Mengapa takdir dengan tega memisahkan aku dengan Nenek. Aku tiba di depan kuburan Nenek dan mulai berdoa dengan khusyuk. Setelah berdoa aku menaruh bunga yang kubeli. Mengelus papan nisan. Nama Nenek terpampang di sana. Selesai berdoa, aku berjalan pulang. Melewati hari yang membosankan tanpa kios kenangan di lorong sunyi.
Biodata Penulis:
Nabila Sabrina, lahir pada tanggal 13 September 2005 di Jakarta, saat ini aktif sebagai mahasiswi di Universitas Andalas.