Izinkan Aku Berjuang

Cerpen ini menggambarkan pergulatan batin seorang mahasiswa antara idealisme perjuangan di jalanan dan cinta yang ingin mempertahankannya tetap ...

Oleh Roman Adiwijaya

Suara sirine ambulans sayup-sayup terdengar menembus dinding kamar kosku yang lembap. Di layar laptop, kursor berkedip-kedip di akhir kalimat yang belum selesai. Judul besar itu menatapku dengan tajam: Matinya Hati Nurani di Senayan: Sebuah Gugatan.

Cerpen Izinkan Aku Berjuang

Di samping laptop, jaket almamater kuning itu terlipat rapi. Baunya masih sama; bau keringat, bau matahari, dan bau orasi yang pernah kuteriakkan Agustus lalu. Hari ini, seharusnya jaket itu kembali membalut tubuhku. Teman-temanku dari BEM Fakultas sudah membanjiri grup WhatsApp dengan titik kumpul. Gedung DPR sedang memanas. Undang-undang kontroversial itu hendak diketok palu, dan aku merasa seperti pengkhianat jika hanya duduk diam di sini.

Aku baru saja hendak meraih ponsel untuk mengabari korlap bahwa aku akan turun, ketika pintu kamar kosku diketuk pelan. Bukan ketukan pemilik kos menagih uang bulanan. Itu ketukan yang hafal di luar kepala.

“Masuk, Lin,” kataku pelan.

Pintu terbuka. Alina berdiri di sana. Ia tidak membawa senyum manis yang biasanya menyambutku. Wajahnya pias, matanya sembap. Di tangannya ada bungkusan nasi uduk yang mungkin ia beli di perempatan, tapi tatapannya tertuju lurus pada jaket almamater di atas meja.

“Kamu mau pergi lagi?” tanyanya. Suaranya yang lembut itu bergetar.

Aku menghela napas, memutar kursi menghadapnya. “Alina, kamu tahu situasinya. Mereka mau mengesahkan aturan yang bakalan mencekik rakyat kecil, menangkap aktivis, siapa saja bisa kena… Kalau mahasiswa diam saja…”

“Kalau mahasiswa diam saja, negara hancur. Itu kan yang mau kamu bilang?” potong Alina. Ia menaruh bungkusan nasi itu dengan kasar di meja belajar, nyaris menyenggol tumpukan buku Laut Bercerita dan Madilog milikku.

“Itu fakta, Lin tolonglah...”

“Dan faktanya juga, minggu lalu ada tiga mahasiswa yang masuk rumah sakit, Arga! Tiga! Salah satunya teman sekelasmu sendiri. Kepalanya bocor kena pentungan! Dua yang lain terbakar di Kwitang, satunya terlindas mobil polisi!!” Suara Alina meninggi, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Aku berdiri, mencoba meraih bahunya, tapi ia menepis.

“Aku cuma mau nulis, Lin. Aku mau orasi. Aku nggak bawa molotov. Aku bawa nalar,” belaku.

“Nalar nggak mempan lawan gas air mata!” Alina terisak sekarang. “Dengar, aku nggak melarang kamu peduli sama negara ini. Tapi aku capek. Setiap kali kamu turun ke jalan, setiap kali kamu memposting tulisan kritikmu yang tajam itu di blog, aku yang nggak bisa tidur. Aku takut besok pagi nama kamu ada di daftar orang hilang, atau minimal aku harus jemput kamu di kantor polisi.”

Aku terdiam. Argumen tentang heroisme dan pengorbanan tertahan di tenggorokan. Melihat Alina menangis karena ketakutanku adalah hal yang paling kubenci. Tapi melihat negaraku diacak-acak oleh oligarki juga membuat darahku mendidih.

“Lin, dengerin aku,” ujarku lembut, memberanikan diri menggenggam tangannya yang dingin. “Aku ini mahasiswa jurnalistik. Tugasku menyuarakan kebenaran. Kalau aku dilarang menulis, dilarang teriak, buat apa aku kuliah? Buat apa aku hidup kalau cuma jadi pengecut yang aman di balik tembok kosan?”

Alina menatapku, tatapannya menusuk. “Terus, kalau kamu mati konyol di sana, siapa yang berjuang buat kita? Kamu lebih cinta Indonesia daripada aku? Daripada masa depan kita?”

Pertanyaan itu. Selalu itu jangkarnya.

“Ini bukan soal memilih, Lin.”

“Ini soal memilih, Arga!” Alina mencengkeram lenganku kuat-kuat. “Pilih. Kamu tetap di sini, makan nasi uduk ini sama aku, selesaikan skripsimu, lulus, kerja, dan kita hidup tenang. Atau kamu keluar pakai jaket itu, dan kita selesai hari ini juga.”

Jantungku serasa berhenti. “Kamu ngancam aku?”

“Aku menyelamatkan kamu!” teriaknya putus asa. “Tolong... sekali ini aja. Jangan jadi pahlawan. Aku nggak butuh pacar pahlawan. Aku butuh kamu yang utuh.”

Aku menoleh ke arah laptop. Tulisan kritikan itu masih belum selesai. Di layar ponsel yang menyala, notifikasi masuk bertubi-tubi. Foto-foto teman seperjuanganku yang sudah berbaris di depan gerbang hijau Senayan mulai bermunculan. Mereka memegang spanduk, wajah mereka terbakar matahari dan amarah suci.

Lalu aku melihat Alina. Gadis yang menemaniku dari semester satu. Gadis yang menyisihkan uang jajannya untuk membelikanku obat saat aku tipes karena terlalu sering begadang rapat konsolidasi.

Perlahan, tanganku terulur. Bukan ke arah jaket almamater. Aku menutup layar laptop. Bunyi klik saat layar tertutup terdengar seperti suara peti mati bagi idealismeku hari ini.

Alina langsung memelukku erat, menumpahkan tangisnya di dadaku. Aku membalas pelukannya dengan kaku. Mataku menatap kosong ke arah jendela. Di luar sana, langit Jakarta abu-abu pekat. Hujan mulai turun, seolah tahu ada api yang baru saja dipadamkan paksa di dalam kamar ini.

Dalam hati, aku berteriak, sebuah orasi yang tak akan pernah didengar siapa pun kecuali dinding kamar ini.

Maafkan aku, kawan-kawan. Maafkan aku, Indonesia. Hari ini, cintaku pada satu orang mengalahkan cintaku pada jutaan orang.

Tapi, jauh di lubuk hati, sisa-sisa bara itu masih ada. Aku memejamkan mata, membisikkan kalimat yang tak berani kuucapkan pada Alina.

Tolong, Lin. Suatu hari nanti... izinkan aku berjuang.

© Sepenuhnya. All rights reserved.