Oktober Kala Itu

Cerpen ini menggambarkan hubungan hangat antara seorang cucu bernama Helga dan kakeknya yang penuh kasih, hingga akhirnya berujung pada kehilangan ...

Oleh Wulan Darma Putri

Aku adalah anak perempuan yang dari kecil bersama kakek, diberi nama Helga oleh ibuku. Kakek bilang, aku adalah orang paling baik sedunia. Aku tahu bahwa itu adalah pernyataan berlebihan yang sering diucapkan kakek padaku. Saat aku berada di sekolah dasar, kakek dengan antusias mengantarkanku sekolah hingga aku bisa pergi dan pulang sekolah dengan angkutan umum, lalu aku selalu menuruti kakek saat kakek masih menjadi pengurus masjid, entah itu saat kakek menyusun pembukuan khutbah Jumat, atau menolong kakek dalam hal kepengurusan lainnya yang saat itu aku tidak begitu paham. Dan hari ini adalah hari ulang tahun kakek, 2 Oktober.

Ilustrasi Kakek dan Cucu

"Selamat ulang tahun kakek!!" Aku berseru saat baru saja menginjakkan kakiku di lantai dingin rumah kakek. Seperti biasa, saat malam hari kakek hanya berdiam diri di depan televisi dengan lilitan kain sarung berwarna lavender di pinggangnya.

"Siapa yang ulang tahun?" Kakek bertanya dan tersenyum mengejek. 

"Ya kakek dong, siapa lagi?" ucapku.

Kakek tertawa, “Ulang tahun apa? Sudah tua begini." Aku tertawa lepas saat melihat kakek tertawa.

Singkatnya mengenai kakek, kakek adalah Pensiunan Pegawai Negeri Sipil yang dulunya bekerja di Balai Kota Padang. Setiap awal bulan setelah kakek menerima uang pensiun, aku selalu diberi uang jajan oleh kakek dengan nominal yang bisa terbilang cukup untuk jajan sekolahku satu minggu saat itu.

Seminggu setelah kakek ulang tahun, kakek jatuh sakit. Kakek benar-benar terbaring lemah di kasurnya, aku tidak tahu dengan penyakit kakek saat ini, yang aku tahu hanyalah kasur itu pasti sudah tidak empuk lagi busanya.

Adik laki-lakiku yang baru berusia empat tahun, tiba-tiba menyeletuk hal yang tak terduga saat baru saja keluar dari kamar kakek, "Kakek meninggal."

Sontak semua orang yang mendengar hal itu terkejut, bagaimana tidak, kakek belum meninggal, walaupun kakek memang terbaring lemah saat ini. Semua orang mungkin akan menganggap bahwa adikku bergurau, sebab tak semua orang bisa percaya ucapan anak yang masih berumur empat tahun, termasuk aku.

Empat hari berlalu, kondisi kakek masih saja tak berdaya, aku takut jika perkataan adikku waktu itu adalah sebuah petanda. Pikiranku terus saja berlarian kesana-kemari memikirkan hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi pada kakekku.

Satu notifikasi masuk pada ponselku, seseorang mengabarkan bahwa kakek sedang ada di rumah sakit dengan berbagai selang medis yang membantunya. Aku lantas mulai menelpon Papa untuk meminta Papa menjemputku saat telah sampai di rumah nanti untuk melihat keadaan Kakek. Namun yang aku dapatkan bukan kata boleh, melainkan jangan, di sini banyak penyakit. Aku tak bisa berkutik, selain turut mendengarkan larangan Papa untuk tidak perlu melihat kondisi kakek di rumah sakit saat ini, terlebih virus corona belum benar-benar selesai.

Malam hari tiba, Papa pulang untuk menemaniku di rumah, tidak begitu lama, karena Papa mendapat telepon dari Mama bahwa kakek akan dirujuk ke RSUD yang lebih lengkap penanganannya dan meminta Papa agar segera ke rumah sakit. Perasaanku tak karuan, hal-hal buruk terus mengalir di dalam kepalaku, seolah akan membentuk suatu lautan pikiran buruk di dalamnya.

20 menit berlalu, satu pesan masuk ke dalam ponselku, mengabarkan hal yang sangat tak enak pada malam itu.

Kakek, sudah tiada.

Aku terdiam, pikiranku kosong dan melayang pergi entah ke mana. Tak lama setelah itu, terdengar ketokan pintu dari rumahku, aku tergesa-gesa keluar, itu pamanku. Dengan menatap wajahnya, aku telah tahu apa yang akan beliau sampaikan padaku.

"Kakek bagaimana?" tanyaku langsung, aku tak tahu mengapa aku melontarkan pertanyaan bodoh itu, padahal sudah jelas pesan itu mengatakan bahwa kakek telah meninggal. Paman terdiam. Aku tidak tahu pasti bahwa berita itu mimpi atau tidak, namun rasa sesak terus menerus muncul menusuk dadaku, mengeluarkan isakan tangis yang pilu, kakiku kini tak terasa kokoh lagi, aku terisak tak menerima kepergian kakek. Semua memori kenanganku dengan kakek kini berputar dengan sangat apik di dalam kepalaku bagai kaset rusak.

Sementara itu, ponselku terus berdering, seiring bersama tangisanku. Aku membiarkan deringan telepon itu, hingga seseorang mengangkatkan telepon itu, mengatakan bahwa aku telah tahu kabar duka ini.

Rumah kakek tak jauh dari rumahku, lantas setelah aku mendengar kabar buruk itu, aku berlari menuju rumah kakek dengan sandal yang sudah hampir putus. Ramai. Itu yang telah aku tangkap pada halaman rumah kakek, ramai dengan para tetangga yang menunggu kepulangan kakek. Benar saja, tak lama ambulans yang membawa jasad kakek sampai, diiringi kendaraan lain yang tadi menemani kakek di rumah sakit. Aku yang berada di dalam rumah kakek lantas terdiam, masih memikirkan apakah ini mimpi buruk di malam Jumat atau tidak. Namun, sekeras apapun aku berpikir bahwa ini mimpi, tak menutup kemungkinan bahwa aku hanya bisa terisak saat jasad kakek dibaringkan pada sebuah kasur.

Malam itu, kerabat-kerabat jauh mulai berdatangan ke rumah kakek, membacakan ayat-ayat Al-Quran di depan jasad kakek. Aku terpaku, menatap sekeliling rumah kakek. Melihat nenek yang dengan setia duduk di samping jasad kakek, melihat saudara-saudara Mama yang tak kunjung pergi dari hadapan jasad kakek. Terakhir, pandanganku terkunci pada kakak laki-lakiku yang sama terpakunya duduk di ujung pintu kamar kakek, menatap kosong pada jasad kakek. Satu-satunya cucu kakek yang melihat kepergian kakek, ia yang mencium kaki kakek untuk terakhir kalinya di rumah sakit.

Satu kalimat pilu yang ia lontarkan padaku saat ia sampai di rumah kakek dengan mengiringi ambulans, "Belum sempat kakek naik dan jalan-jalan di motorku dengan ban baru yang dibelikan kakek." 

Wulan Darma Putri

Biodata Penulis:

Wulan Darma Putri, lahir pada tanggal 14 Februari 2006 di Padang, saat ini aktif sebagai mahasiswi Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas. Ia terlibat dalam UKMF Labor Penulisan Kreatif Universitas Andalas. Penulis bisa disapa di Instagram @wulandarmaaa_

© Sepenuhnya. All rights reserved.