Oleh Wulan Darma Putri
Malam ini, kamar Alin terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku terus saja memutar musik di kamarnya itu dengan volume penuh, berharap rasa sunyi malam ini berkurang saat mendengar musik. Entahlah, mungkin karena Alin yang terlalu kelelahan belakangan ini, membawa pulang energi negatif dalam dekapan bantal gulingnya. Lalu membawaku menginap, karena orang tuanya yang tidak di rumah.
Aku Dena, kami saling mengenal karena ibu kami berteman baik. Orang tua Alin selalu berpindah-pindah kerja, membuat Alin kerap kali mengajakku untuk menginap di rumahnya. Hari biasa aku tidak merasakan kejanggalan apapun, sampai pada malam ini, aku merasa bahwa suasana di rumah ini penuh dengan intimidasi. Begitu jauh rasanya jarak kamar Alin dan dapur, sampai-sampai aku merasa takut hanya untuk meletakkan piring bekas makanku ke dapur, aku merasa bahwa suasana ini tidak aman.
Satu bayangan, aku merasa ada yang lewat dari ujung mata, aku rasa Alin tidak melihatnya. Aku terdiam, menoleh ke kiri dan menatap lama ke arah itu, namun tidak ada siapa-siapa.
"Dena, kenapa?"
"Gak apa."
Aku menoleh ke arah jam dinding tua di rumah Alin, jam itu baru saja berdenting menandakan pukul sepuluh malam, bunyinya jauh lebih nyaring dari biasanya.
"Di sini aja, nanti gak ada yang menjaga rumah."
"Ada..." Suara itu, berbisik beriringan dengan deru napasku yang tercekat, itu jelas bukan suara Alin, dan tidak mungkin suaraku.
Dengan tak enak hati, aku bertanya kepada tuan rumah, "Lin, kamu dengar sesuatu?" Alin menggeleng.
"Kamu kenapa sih, Na?"
"Tidak, aman kok."
"Ya sudah, ayo ke kamar lagi."
Malam ini, aku tidur di bagian pojok kiri kamar Alin, dengan beberapa candaan yang kami lontarkan sebagai pengusir ketegangan dan penghantar tidur. Lampu kamar sengaja kami biarkan redup, tidak mati sepenuhnya. Alin sempat berbicara mengenai tugas sekolahnya yang menumpuk, tentang rasa lelah yang akhir-akhir ini tak pernah hilang, dan tentang betapa sepinya rumah ini tanpa kedua orang tuanya. Aku hanya menanggapi dengan anggukan dan gumaman kecil, meski kini rasa tidak nyaman menggerogoti jiwaku. Bayangan yang kulihat tadi dan bisikan di telingaku masih jelas terasa. Tak mau memikirkan yang lebih jauh, aku memilih untuk memejamkan mata.
Satu jam kemudian aku terjaga, Alin terlihat sudah pulas dalam tidurnya dan sedang bermain di taman mimpi. Lagi, ada yang berbeda kali ini, Alin mengigau, wajahnya penuh dengan bulir-bulir keringat. Selama aku tidur dengan Alin, anak ini tidak pernah sekalipun mengigau, justru aku yang sering dikatakan mengigau saat tidur. Alin mengigau seakan raganya dipaksa untuk menampung beban.
"Alin nggak mau, capek... nggak mau, berat..."
Wajahnya masih saja berkeringat meski udara di kamar sangat dingin. Napasnya tersengal, seperti orang yang sedang menampung beban berat.
"Lin? Kamu mimpi buruk ya?" bisikku sambil menyentuh bahunya.
Alin terbangun, namun ia seperti orang yang tidak mengingat apapun dari dalam mimpinya. "Hm, kenapa Na?"
Suara serak khas orang bangun tidur. Syukurlah jika anak ini melupakan mimpinya jika itu buruk. "Nggak ada, tidur lagi sana."
Alin mengangguk, kembali memejamkan matanya dan menjemput mimpinya yang tertunda karena aku bangunkan.
Namun tak sampai satu menit lamanya, igauannya terulang, bahkan semakin keras. "Nggak mau, capek... jangan paksa aku... aku nggak mau..."
Suaranya berubah-ubah. Kadang seperti suara Alin sendiri, kadang berat, parau, seperti suara pria dewasa yang keluar dari tenggorokan sempit.
Merinding. Mataku menelisik panik ke segala sudut kamar, hingga pandanganku terkunci di sudut kanan kamar, sebuah lemari kayu tua. Dan di sana aku melihat... sosok perempuan. Tepat di atas lemari kayu itu, dia meringkuk seperti memegangi perutnya, rupanya hitam pekat, tidak terlihat organ lain di wajahnya selain bibir yang tersenyum lebar kepadaku. Perempuan, ah bukan, hantu itu tidak memiliki mata, bahkan hidung, hanya bibir yang sangat lebar yang memberikan senyum kematian kepadaku. Auranya terasa menekan ujung leherku yang membuatku terasa sulit bernapas.
Dengan sisa kekuatan yang bisa aku kerahkan untuk tubuh ini, aku mendekap erat tubuh Alin yang masih menggumamkan hal-hal tidak masuk akal itu. Sampai aku merasakan bahwa tubuh Alin menegang, matanya yang mungil itu terbuka dengan cepat, namun... hanya putih yang terlihat olehku dari mata Alin.
"Mengapa kau bawa anakku ke sini..."
Suara itu, terucap lirih dari bibir Alin. Suaranya bergema, bukan hanya dari pita suaranya, tapi juga dari udara sekitar kamar Alin.
Lidahku kelu, tidak dapat rasanya aku melontarkan sepatah kata pun. Menatap secara bergantian tubuh Alin dengan tubuh hantu yang aku sadari keberadaannya. Sialnya hantu itu mendekat ke arahku, kini ia tidak lagi meringkuk, namun berdiri dengan kaki-kakinya yang panjang, bayangan itu maju selangkah namun jauh, seakan menegaskan kehadirannya. Suara berbisik terdengar tepat di telingaku, dingin dan penuh ancaman.
"Ibu, aku suka dengan kakak ini, bolehkah aku membawanya ibu?"
Aku sontak menutup telinga, mengucapkan kata-kata yang terasa berat. "Pergi! Jangan bawa dia!" teriakku dengan suara bergetar. Kali ini tidak hanya berdiri di sudut kamar. Ia berjalan mendekat, melayang pelan-pelan hingga berada di samping ranjang. Tangannya yang panjang dan kurus meraih tubuh Alin, seolah ingin menindihnya.
Dengan gemetar, aku berteriak, "Jangan sentuh dia!"
Alin terbangun dengan teriakan histeris, lalu menangis di pelukanku. "Na, tolong aku, nggak kuat..."
Aku tidak bisa menolongnya, karena di sinilah aku saat ini, di tanah kuburan. Aku terbangun dengan keringat yang bercucuran di wajahku. Mimpi itu datang lagi.
Aku menangis, aku tidak bisa apa-apa sekarang. Yang aku bisa hanyalah menangis di atas liang lahat dengan batu nisan yang mengukir nama Alin. Alin berhasil dikuasai oleh hantu itu, ia membawa jiwa Alin entah ke mana, bahkan jika aku bisa meminta, aku ingin meminta bawalah Alin ke surga. Sudah banyak dia menerima rasa sakit. Dan sekarang, biarlah aku yang menanggung rasa sakit itu, karena aku dapat merasakan kembali hadirnya sosok itu di balik kayu pemakaman ini. Aku merasa, ada hal yang sedang dicari sosok ini melalui Alin, namun, tidak sepantasnya ia merenggut kehidupan Alin.
Biodata Penulis:
Wulan Darma Putri, lahir pada tanggal 14 Februari 2006 di Padang, saat ini aktif sebagai mahasiswi Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas. Ia terlibat dalam UKMF Labor Penulisan Kreatif Universitas Andalas. Penulis bisa disapa di Instagram @wulandarmaaa_