Oleh Nailah Surfi Irawan
Di sebuah desa kecil bernama Harmoni, terletak di lereng gunung hijau yang menjulang di Jawa Tengah. Kehidupan di desa tersebut berjalan tenang seperti aliran sungai yang mengalir pelan. Desa ini dikelilingi sawah-sawah yang subur, di mana petani-petani bangun sebelum fajar untuk menanam padi. Udara pagi selalu segar, bercampur aroma tanah basah dan bunga melati dari pekarangan rumah-rumah bambu. Tapi, di balik keindahan itu, ada masalah yang datang. jembatan tua yang menghubungkan desa ke kota sering ambruk saat musim hujan, sehingga akses untuk ke pasar kota jadi sulit, dagangan hingga membusuk, dan anak-anak juga kesulitan untuk bersekolah.
Pak Slamet, kepala desa yang berusia 45 tahun, adalah sosok yang dikenal ramah dan rajin. Tubuhnya kurus tapi tegap, rambutnya mulai memutih di pelipis, dan senyumnya selalu lebar saat menyapa warga. Ia sudah menjabat selama lima tahun, ia dipilih menjadi kepala desa karena janjinya untuk membangun desa Harmoni menjadi lebih baik. Setiap pagi, Pak Slamet keliling desa naik sepeda tua yang sudah karatan, berhenti di warung kopi Bu RT untuk ngobrol.
"Pagi, Bu. Sawahnya gimana? Air irigasi lancar?" tanyanya sambil memesan segelas kopi hitam.
Warga suka padanya karena ia tak sombong, meski gajinya pas-pasan yang hanya cukup untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah tiga anaknya.
Rumah Pak Slamet sederhana, berdinding anyaman bambu dengan atap genteng yang bocor di musim hujan. Istrinya, yaitu bu Siti, seorang ibu rumah tangga yang pekerja keras, sering mengeluh soal keuangan.
"Mas, anak sulung kita, Rina, mau kuliah di Semarang. Biayanya gimana? uang tabungan kita cuma segitu," katanya pada suatu malam sambil mengipas api dapur.
Rina adalah gadis berumur 18 tahun yang pintar dan rajin belajar, bermimpi ingin menjadi jadi guru. Adik-adiknya, yaitu Toni dan Sari, mereka masih kecil tetapi sudah mulai paham betapa susahnya hidup di desa miskin.
Suatu hari yang cerah, berita gembira datang seperti angin segar. Di balai desa, Pak Slamet mengumumkan "Warga Harmoni, pemerintah pusat alokasikan dana 500 juta rupiah untuk bangun jembatan baru! Ini kesempatan emas. Jembatan kokoh, desa kita maju, dagangan menjadi lancar, anak-anak bisa bersekolah dengan mudah."
Warga bertepuk tangan, mata mereka bersinar seperti terharu. Ibu-ibu di posyandu langsung bergunjing bahagia.
"Akhirnya! Kita tak lagi takut banjir," kata Bu RT.
Anak muda seperti Andi, yaitu pemuda berumur 20 tahun yang baru lulus SMA dan aktif di kelompok pemuda desa ikut antusias. Andi sering baca koran dan internet di warnet kota, ia tahu banyak soal proyek pemerintah yang gagal karena korupsi.
"Pak, pastikan dana ini benaran dipakai untuk jembatan ya. Jangan seperti desa sebelah," katanya dengan polos pada saat rapat.
Proyek dimulai dengan semangat tinggi. Pak Slamet bentuk tim pengawas yaitu dirinya sebagai ketua, Pak Joko sebagai bendahara, yaitu seorang pria gemuk berusia 50 tahun yang dulu tukang kayu, dan beberapa warga terpercaya seperti Pak Minto, yaitu petani tua yang jujur. Kontraktor dari kota tiba dengan truk alat berat, seperti ekskavator penggali tanah dan pekerja yang memasang tiang besi. Awalnya, semuanya berjalan dengan lancar. Warga ikut bantu mengangkut batu, anak-anak juga menonton dari pinggir sungai sambil tertawa. Pak Slamet sering ke lokasi untuk memotivasi dan memberikan semangat kepada para pekerja.
"Kerja bagus! Ini untuk masa depan kita," katanya.
Tapi, saat dana pertama cair yaitu senilai 200 juta rupiah, godaan datang seperti ular yang licik. Pak Slamet dipanggil ke kantor kecamatan, yang terletak 10 kilometer dari desa. Di ruangan ber-AC yang dingin, Pak Budi yaitu pejabat daerah berjas rapi berusia 40 tahun, menyambutnya dengan senyum tipis.
"Selamat pak Slamet atas dana besar ini. Tapi, proyek ini butuh 'koordinasi' dengan kami di atas. Biaya administrasinya 20 persen, bisa ditransfer ke rekening ini. Kalau tidak, dokumen bisa tertunda, proyek jadi mandek."
Pak Slamet terdiam, tangannya berkeringat. Ia tahu ini suap, korupsi yang sering dibaca di berita. Tapi, pikirannya melayang, Rina butuh uang kuliah, atap rumahnya bocor, dan utang-utangnya pada rentenir.
"Cuma sekali ini, demi keluarga," gumamnya dalam hati. Ia setuju.
100 juta rupiah "hilang" untuk pejabat. Uang itu ia bawa pulang dalam amplop tebal yang disembunyikan di balik lemari kayu tua.
Korupsi tak berhenti di situ. Seorang kontraktor yang licik bernama Om Toni, datang ke rumah Pak Slamet malam-malam. "Pak, material mahal nih. Harga semen naik. Butuh tambahan dana, atau proyek lambat." Pak Slamet ragu, tapi Pak Joko meyakinkannya. "Ini demi desa, Pak. Kalau mandek, warga bisa jadi marah. Kita potong sedikit aja di kertas."
Mereka sepakat untuk mengganti semen berkualitas dengan yang murah, catat di laporan sebagai semen yang premium. Uang potongannya bernilai 50 juta pun dibagi-bagi. Pak Slamet mengambil 30 juta untuk beli motor baru bagi Rina, sedangkan pak Joko 10 juta untuk renovasi warungnya, sisanya untuk Om Toni.
Pak Minto pun merasa curiga, lalu memprotes. "Pak, ini salah. Dana rakyat kok dipotong?"
Tapi Pak Slamet bilang, "Ini rahasia, pak. Demi kelancaran."
Uang haram mulai mengalir deras. Pak Slamet beli TV besar untuk rumah, liburan ke pantai Anyer dengan keluarga untuk pertama kalinya, dan mereka menaiki bus yang bagus.
Bu Siti awalnya senang, "Wah, mas, kita seperti orang kaya!" Tapi lama-lama ia gelisah. "Uang ini panas, mas. Rina juga bertanya, kok tiba-tiba punya motor? Kalau ketahuan, malu seumur hidup." Rina sendiri mulai curiga. Saat ia pulang dari les, ia melihat wajah ayahnya yang gelisah dan sering keluar malam. "Pa, proyek jembatan gimana? Andi bilang di grup WA pemuda, kok lambat?" tanya Rina.
Pak Slamet tersenyum paksa, "Semua aman, nak. Percaya dengan papa."
Warga mulai bergunjing. Di pasar desa, ibu-ibu ngobrol saat belanja sayur. "Jembatannya kok masih setengah? Dana 500 juta harusnya sudah selesai. Pak Slamet beli motor baru, katanya."
Bu RT, yang dekat dengan Pak Slamet pun membela, "Mungkin hadiah dari kontraktor."
Tapi Andi tak puas. Ia kumpul dengan pemuda lain, yaitu dengan si Budi si tukang ojek dan si Lina si guru SD. "Kita minta laporan keuangan, karena transparansi itu penting!"
Mereka buat petisi, kumpul 100 tanda tangan, lalu diserahkan ke Pak Slamet di rapat desa. "Pak, tolong dong. Kami khawatir dana dikorupsi seperti kasus di TV," kata Andi dengan berani.
Pak Slamet marah dalam hati, akan tetapi pura-pura tenang. "Kalian muda-muda, jangan curiga sembarangan. Ini urusan abang-abang. Laporan nanti akan saya bagikan."
Lalu malam itu, ia menelpon Pak Joko. "Mereka curiga pak, kita harus berhati-hati."
Pak Joko yang sudah mabuk dengan uang, menyarankan, "Tutup mulut kontraktor. Bayar lebih agar mereka diam."
Mereka pun menambah suap ke Om Toni, untuk potong lagi anggaran. Fondasi jembatan jadi lemah, tiang besinya tipis karena diganti dengan yang murah.
Musim hujan datang lebih ganas dari biasa. Langit gelap, petir menyambar, sungai melimpah. Malam itu, banjir kecil datang. Jembatan setengah siap jadi bergoyang, lalu ambruk dengan suara gemuruh. Dua warga yaitu Pak Warno si petani dan istrinya terjebak di seberang, mereka selamat tetapi luka parah, mobil merak hanyut dan sawah mereka tenggelam. Desa menjadi gempar. Pada pagi harinya, warga berkumpul di lokasi runtuhan, mereka marah besar.
"Ini gara-gara korupsi! Material jelek!" teriak Pak Minto. Andi memimpin demonstrasi kecil ke balai desa. "Pak Slamet, mundur! Laporkan ke polisi!"
Berita menyebar ke kota, serta media lokal juga meliput, KPK ikut turun tangan. Tim investigasi datang dengan mobil hitam, memeriksa buku catatan dan mewawancarai beberapa warga. Pak Joko panik, ia coba kabur ke kota naik ojek, tapi tertangkap di terminal bus saat mau beli tiket kereta.
"Saya cuma ikut perintah Pak Slamet!" katanya saat ditahan.
Om Toni dan Pak Budi juga terlibat, sehingga jaringan korupsi ini terungkap, ini adalah bagian dari pejabat daerah yang menyuap proyek desa.
Polisi geledah rumah Pak Slamet. Di balik lemari, mereka menemukan amplop tebal yang berisi uang 150 juta rupiah tunai, plus kwitansi belanja motor, TV, dan tiket liburan.
"Ini adalah bukti, Pak. Anda ambil 200 juta lebih dari dana proyek," kata penyidik tegas.
Pak Slamet menyesal dan menangis di lantai. "Saya salah besar. Awalnya cuma suap kecil untuk kelancaran, tapi keserakahan saya yang kelewatan. Demi anak saya Rina, dan demi rumah, tetapi ini menghancurkan semuanya."
Bu Siti pingsan saat polisi datang, Rina menangis histeris, "Pa, kenapa? Kami malu!"
Persidangan di pengadilan kota berlangsung dua minggu, ramai warga desa Harmoni yang hadir. Saksi-saksi berbicara, Pak Minto bercerita tentang protesnya yang diabaikan, Andi menunjukkan petisi, yaitu kontraktor Om Toni yang mengaku dipaksa potong anggaran. Pak Budi, pejabat daerah, ternyata adalah bos besarnya, ia divonis lebih berat. Pak Slamet berdiri di kursi terdakwa, badannya kurus kering.
"Yang Mulia, saya minta maaf pada warga. Uang haram ini seperti bayang-bayang yang ikut ke mana-mana, tapi tak pernah membawa cahaya."
Hakim vonis. 10 tahun penjara dengan denda 300 juta, dan aset disita. "Korupsi merugikan rakyat. Jembatan gagal, nyawa terancam, dan kepercayaan menjadi hancur."
Di penjara yang panas dan bau, Pak Slamet berubah total. Ia ikut kelas rehabilitasi anti korupsi, belajar dari narapidana lain yang cerita kisahnya serupa.
"Saya dulu pikir uang bisa beli kebahagiaan, tapi malah bawa malapetaka. Keluarga hancur, desa menderita," katanya pada teman sel.
Bu Siti ajukan cerai setelah setahun, karena sudah tidak tahan. Rina pindah ke Semarang dengan beasiswa, tapi ia putus hubungan dengan ayahnya. Toni dan Sari tinggal dengan kakek, mereka malu bersekolah karena teman-temannya yang mengejek.
Desa Harmoni pulih perlahan. Proyek jembatan dibangun ulang dengan dana baru, diawasi ketat oleh warga dan LSM. Andi terpilih jadi kepala desa sementara, usianya muda tapi ide-idenya yang segar, laporan keuangan dilakukan online melalui via WA grup, dan rapat bulanan dilakukan secara terbuka. Desa mulai maju dengan jalan aspal yang baru, posyandu lengkap dengan obat-obatan, anak-anak sekolah dengan lebih giat.
Warga mengingat pelajaran bahwa "Jangan percaya janji manis, tapi lihat rekam jejak."
Setelah 7 tahun, Pak Slamet dibebaskan bersyarat karena perilaku baik. Ia kembali ke Harmoni, tapi desa itu sudah jauh berubah. Tak ada sambutan hangat, warga hanya angguk dingin. Ia tinggal di gubuk kecil di pinggir sawah, kerja sebagai buruh tani harian dengan gaji recehan. Setiap sore, ia duduk di tepi sungai, melihat jembatan baru yang kokoh membentang. Anak-anak bermain di atasnya, para petani membawa hasil panen dengan lancar.
"Bayang-bayang uang haram itu masih menghantuiku," gumamnya pada angin. Ia coba meminta maaf kepada Andi, "Maafkan saya, Nak. Kamu benar dulu."
Andi tersenyum tipis, "Pelajaran untuk kita semua, Pak. Jujur lebih berharga daripada emas."
Cerita Pak Slamet menjadi dongeng di desa, hingga diceritakan di acara gotong royong. Korupsi seperti racun lambat, yang awalnya manis di lidah, tapi akhirnya bunuh pelakunya dan rakyat yang percaya. Desa Harmoni kini lebih kuat, warga belajar memilih pemimpin dengan hati nurani. Uang negara adalah hak bersama, bukan kantong pribadi. Dan di lereng gunung itu, harapan tumbuh kembali, bebas dari bayang-bayang yang gelap.
Biodata Penulis:
Nailah Surfi Irawan saat ini aktif sebagai mahasiswa, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas.