Cahaya Pagi di Balik Gedung Fakultas

Cerpen ini menyajikan suasana kampus yang riuh namun tanpa suara, di mana Aruna belajar menangkap makna dari gestur, angin, cahaya, dan keheningan.

Oleh Riri Yunita

Mentari pagi menyembul perlahan di antara gedung-gedung kampus ketika Aruna melangkah keluar dari kos. Udara yang masih sejuk membelai kulitnya, sementara embun yang menggantung di rumput membuat langkah kakinya terasa lebih pelan dari biasanya. Ia sudah terbiasa berangkat pagi, tetapi hari itu, suasana terasa sedikit berbeda.

Cerpen Cahaya Pagi di Balik Gedung Fakultas

Semalam, Aruna tidur lebih cepat dari biasanya setelah beberapa hari dilanda tugas yang menumpuk. Kepalanya terasa lebih ringan, matanya tidak lagi sembap, dan langkahnya lebih teratur. Mungkin karena itu ia merasakan pagi yang lebih tenang—pagi yang membuatnya lebih peka pada hal-hal kecil yang biasanya ia abaikan.

Di gerbang kampus, bayangan para mahasiswa bergerak cepat, seperti garis-garis yang tak pernah berhenti. Beberapa wajah terlihat tegang, beberapa tampak terburu-buru, dan sebagian lagi memulai hari dengan energi yang berlebihan. Aruna memperhatikan semuanya sambil memasukkan rambut yang terurai ke balik kerudungnya.

Saat memasuki koridor fakultas, ia melihat beberapa mahasiswa saling beradu raut wajah—bukan marah, tetapi sedang mempertahankan pendapat meski nada suara mereka tak terdengar. Gerak tangan, anggukan yang tidak sabar, dan langkah kaki yang keras sudah cukup mengatakan banyak hal. Aruna tidak mendengar kata apa pun, tetapi ia bisa merasakan hawa yang tidak sepenuhnya nyaman.

Ia terus berjalan. Setiap wajah yang ia lihat seperti memamerkan cerita masing-masing: kelelahan, kepanikan menghadapi presentasi, kecanggungan, bahkan antusiasme. Kampus selalu riuh, meski kadang tanpa suara.

Kelas berlangsung seperti biasa. Ketukan pulpen, lembar catatan yang di balik, dan sorotan proyektor berpindah di layar. Aruna mencatat dengan ritme yang tenang, berbeda dari beberapa hari sebelumnya ketika ia terburu-buru mengejar materi. Mungkin karena tidur cukup, mungkin karena cuaca baik, atau mungkin karena ia sedang tidak dikejar apa pun hari itu. Semuanya mengalir lebih wajar.

Ketika kelas berakhir, angin menerbangkan beberapa kertas dari meja seorang mahasiswi yang duduk dekat jendela. Secara refleks, Aruna menangkap salah satu kertas yang terbang melewati kakinya. Mahasiswi itu tersenyum lega, dan Aruna mengangguk kecil sebelum melanjutkan langkahnya. Tidak ada kata apa pun, namun kejadian itu membuat Aruna merasa ada sisi lembut dari hari yang ingin ia simpan.

Di taman kampus, daun-daun bergerak perlahan, menciptakan bayangan yang menyusun pola tak beraturan di tanah. Aruna duduk di bangku kosong, memperhatikan mahasiswa lain yang berlalu-lalang. Beberapa sibuk mengeluh sambil gestur tangan berlebihan, beberapa diam sambil menunduk memperbaiki ransel, dan beberapa hanya menatap layar ponsel dengan alis berkerut.

Tidak ada yang istimewa, namun cara Aruna melihatnya hari itu terasa berbeda. Ia tidak merasa ingin mengomentari apa pun, tidak ingin ikut dalam riuh percakapan, tidak ingin menambah atau mengurangi suasana. Ia hanya menjadi bagian dari pagi itu—tenang, pelan, dan apa adanya.

Menjelang sore, cahaya matahari berubah keemasan, memantul di jendela-jendela gedung fakultas. Aruna melangkah pulang dengan ritme yang sama seperti saat berangkat tadi. Hari itu tidak membawa peristiwa besar, tetapi justru melalui hal-hal kecil, ia merasakan sesuatu yang jarang ia temui: sebuah hari yang tidak perlu dikuasai kata-kata, hanya cukup dijalani.

Ia pulang dengan perasaan ringan, seolah pagi telah memberinya ruang untuk bernapas. Ruang yang membuatnya sadar bahwa tidak semua hal harus diisi dengan banyak ucapan—kadang, diam yang sederhana jauh lebih menenangkan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.