Dendang Terakhir di Bawah Marapi

Cerpen ini menyoroti benturan tradisi dan modernitas melalui perjalanan seorang pemain saluang yang mencari makna pulang dan identitas diri.

Oleh Abdil Ananda Prasasca

Lembah Anai masih berselimut kabut saat bus antarprovinsi itu menurunkan perantau terakhirnya di pinggir jalan raya Padang Panjang. Di sana berdiri seorang lelaki muda bernama Kamil, memanggul tas ransel yang tampak berat, seberat kenangan yang ia bawa kembali setelah tujuh tahun mengadu nasib di tanah Jawa.

Bau tanah basah dan aroma kayu yang terbakar dari kejauhan menyambut hidungnya sebuah aroma yang tak pernah ia temukan di antara beton-beton Jakarta. Kamil adalah seorang pemain Saluang berbakat, atau setidaknya begitulah ia dikenal sebelum ia memutuskan bahwa musik tradisional tidak bisa mengisi perutnya.

Cerpen Dendang Terakhir di Bawah Marapi

Ia berjalan menuju rumah gadang milik keluarganya yang berdiri tegak di lereng Gunung Marapi. Namun, langkahnya terhenti di depan sebuah kedai kopi yang riuh. Di sana, bukan suara petikan kecapi atau tiupan saluang yang terdengar, melainkan dentum musik dari pengeras suara murah yang memutar lagu-lagu remix modern.

“Kamil? Benarkah itu kau?” seorang lelaki tua dengan kopiah miring menyapa dari teras kedai. Itu Pak Tua Syamsul, guru saluang Kamil dahulu.

Kamil tersenyum getir, menyalami tangan guru yang kulitnya kini menyerupai perkamen tua. “Iya, Pak. Ambo kembali.”

“Kau kembali tepat waktu,” bisik Syamsul, namun matanya tidak menunjukkan kegembiraan. “Nagari kita sedang bersiap untuk festival besar, tapi tak ada lagi anak muda yang mau meniup bambu. Mereka lebih suka memutar piringan hitam di gawai mereka.”

Malam itu, Kamil menginap di rumah gadang yang terasa lebih sepi dari biasanya. Ibunya sudah tiada, dan saudara-saudaranya telah berpencar. Di sudut kamar, ia menemukan kotak kayu tua. Di dalamnya, terbaring sebuah saluang seruling bambu Minang yang ia tinggalkan bertahun-tahun lalu. Bambunya telah kusam, namun saat Kamil menyentuhnya, ia merasakan denyut nadi yang familiar.

Puncak konflik batin Kamil terjadi saat ia diminta oleh wali nagari untuk tampil dalam acara perayaan panen. Namun, ada satu syarat: ia harus berkolaborasi dengan grup musik modern dari kota.

“Zaman sudah berubah, Mil,” ujar wali nagari dengan nada memelas. “Kalau hanya saluang murni, anak-anak muda akan pulang sebelum acara selesai. Kita harus membungkusnya dengan cara baru.”

Kamil merasa dadanya sesak. Baginya, saluang adalah napas alam. Setiap lubang di bambu itu mewakili luka dan harapan rakyat Minangkabau. Menggabungkannya dengan dentum drum elektrik terasa seperti memasang mesin motor pada seekor kerbau pembajak sawah.

Sore sebelum pertunjukan, Kamil mendaki ke sebuah bukit yang menghadap langsung ke arah Marapi. Gunung itu tampak megah, puncaknya tertutup awan putih tipis. Ia teringat kata-kata Syamsul: “Saluang bukan tentang siapa yang mendengar, tapi tentang apa yang dibicarakan oleh hatimu kepada alam.”

Kamil mulai meniup. Awalnya ragu, namun perlahan nadanya mengalir deras. Ia membawakan irama Singgalang, sebuah nada yang dalam dan menyayat hati, menceritakan tentang kerinduan seorang anak kepada ibunya, tentang tanah yang semakin kering, dan tentang identitas yang perlahan terkikis.

Tanpa ia sadari, beberapa anak muda yang sedang asyik dengan ponselnya di bawah bukit berhenti bergerak. Suara itu meliuk-liuk di udara, menyusup ke celah-celah pepohonan kayu manis, memantul di dinding tebing. Ada daya magis yang tak bisa dijelaskan oleh logika modern; suara itu seolah-olah adalah suara gunung itu sendiri.

Malam pertunjukan tiba. Panggung megah didirikan di tengah lapangan. Lampu-lampu warna-warni menyilaukan mata. Grup musik modern mulai beraksi dengan dentuman bass yang menggetarkan dada. Penonton bersorak, namun ada sesuatu yang kosong.

Saat giliran Kamil tiba, ia melangkah ke tengah panggung tanpa membawa pengeras suara tambahan. Ia hanya meminta semua lampu dimatikan. Kegelapan menyelimuti lapangan. Hanya ada cahaya bulan yang malu-malu di balik awan Marapi.

Kamil mulai meniupkan nada paling rendah. Kesunyian yang tercipta begitu pekat hingga suara jangkrik pun terdengar jelas. Ia tidak mengikuti tempo drum. Sebaliknya, grup musik itu yang terpaksa melambat, mengikuti alur napas Kamil yang panjang dan berwibawa.

Itu bukan lagi sebuah lagu, melainkan sebuah percakapan. Penonton yang tadinya berisik perlahan terdiam. Beberapa orang tua mulai terisak, teringat pada sawah-sawah mereka yang kini berubah menjadi ruko. Anak-anak muda terpaku, merasakan sesuatu yang purba bangkit dalam dada mereka sesuatu bernama kebanggaan.

Setelah nada terakhir menghilang di udara, tidak ada tepuk tangan seketika. Hening menyelimuti lapangan selama hampir satu menit, seolah-olah semua orang takut merusak keindahan yang baru saja lewat. Baru setelah itu, gemuruh sorak-sorai pecah, lebih kencang dari suara musik mana pun malam itu.

Kamil turun dari panggung dengan peluh membasahi kening. Pak Tua Syamsul menunggunya di bawah dengan air mata di sudut mata.

“Kau tidak membawa saluang itu ke Jakarta, Kamil,” kata Syamsul serak. “Kau membawa Jakarta masuk ke dalam saluangmu, lalu kau membuangnya kembali ke gunung ini.”

Kamil tersenyum. Ia tahu sekarang bahwa perantauannya telah usai. Bukan karena ia telah kaya, tapi karena ia telah menemukan kembali suara yang sempat ia lupakan. Di bawah bayang-bayang Marapi, ia berjanji bahwa selama napasnya masih ada, bambu itu tidak akan pernah berhenti bercerita.

Nagari itu memang berubah, jalanan semakin lebar, dan kafe-kafe bermunculan. Namun malam itu, Kamil membuktikan bahwa ada hal-hal yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh mesin: akar budaya yang menghujam jauh ke dalam bumi, sedalam cinta seorang lelaki pada tanah kelahirannya.

Biodata Penulis:

Abdil Ananda Prasasca saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Andalas, Fakultas Ilmu Budaya, Prodi Sastra Indonesia.

© Sepenuhnya. All rights reserved.