Oleh Tasiya Anggara Putri
Hujan turun sejak malam sebelumnya tanpa jeda, seolah langit November sedang membuka seluruh pintu airnya. Pepohonan di bukit-bukit Lubuk Minturun menggigil dalam derasnya angin, sementara sungai kecil yang biasanya jinak berubah menjadi arus cokelat yang mengamuk. Pada tanggal 27 November 2025, ketika fajar seharusnya membawa cahaya, yang datang justru suara gemuruh keras dari arah perbukitan, suara yang kemudian mengubah seluruh hidup warga Lubuk Minturun. Alya baru saja selesai menjerang air panas ketika tanah di bawah rumahnya bergetar. Ia berpikir itu hanya truk besar yang lewat, namun suara gemeretak aneh dari kejauhan membuatnya spontan keluar. Dari jalan kecil di depan rumah, ia melihat beberapa tetangga berlari.
“Tanah di Pangka rumah Uni Dar! Longsor! Longsor gadang!” teriak seseorang sambil menunjuk ke arah bukit.
Alya merasa jantungnya mau copot. Dua hari ini hujan tak berhenti, tapi ia tak pernah menyangka akan separah ini. Sungai di belakang rumahnya pun telah meluap, dan airnya mulai mengalir deras ke arah pemukiman. Dari dalam rumah, Dani adik bungsunya berlari sambil membawa tas sekolah yang ia jadikan wadah barang penting.
“Uni, air di belakang rumah sudah setinggi paha! Kita harus cepat!”
Alya menarik napas panjang. “Ambil dokumen Ayah. Kompor jangan lupa dimatikan.” Tapi suaranya tak stabil, ia sendiri sedang menahan panik yang menyesak. Saat mereka hendak keluar, suara teriakan seorang perempuan memecah udara.
“Tolong! Tolong anak saya! Ada yang tertimbun!"
Alya berlari ke arah kerumunan warga yang berdiri di dekat pematang. Di sanalah ia melihat Uni Dar, wanita setengah baya yang rumahnya berada di lereng. Tanah besar telah menimbun sebagian rumah. Hanya atap seng yang terlihat, dan di bawahnya terdengar suara lirih anak kecil menangis.
“Anak saya masih di dalam! Tolong! Tolong angkat tanahnya!” Uni Dar menangis histeris, rambutnya basah penuh tanah.
Beberapa remaja dan warga sekitar berusaha menggali memakai tangan kosong. Tanah masih bergerak, lembek, dan licin. Setiap sekop tanah yang terangkat kembali mengalir menutup lubang. Alya tak bisa ikut menggali, tapi ia berusaha menenangkan Uni Dar yang tak henti memukul tanah sambil menjerit memanggil nama anaknya.
“Akan ditolong, Uni… sabar… sabaaaaar,” ucap Alya, meski suaranya sendiri pecah.
Namun longsor susulan tiba-tiba turun, lebih besar, lebih cepat. Warga berteriak serentak dan melarikan diri ke arah yang lebih aman. Alya menarik Uni Dar menjauh, sementara tanah menghantam sisa rumah dan menutup lubang tempat suara anak kecil itu sebelumnya terdengar. Teriakan Uni Dar menjadi sayatan yang tak akan pernah hilang dalam ingatan siapa pun yang mendengarnya hari itu.
Derasnya hujan memutus banyak jalan. Sungai-sungai kecil meluap dan bercampur dengan lumpur. Rumah-rumah yang dibangun puluhan tahun yang lalu mulai miring satu per satu. Dari arah jembatan Lubuk Minturun, suara kayu patah menggema. Jembatan yang menghubungkan desa ke pusat Padang itu tergerus air, retak, dan akhirnya hanyut dalam satu tarikan besar. Tanpa akses itu, warga seperti terjebak di pulau kecil yang tak bisa dijangkau kendaraan berat. Tim SAR pun kesulitan masuk.
Di tengah kepanikan itu, tenda darurat mulai didirikan oleh warga-warga yang masih muda karena mereka masih kuat. Alya ikut mengangkut bambu dan terpal walau tubuhnya basah kuyup. Di posko pertama yang didirikan di halaman mushala, puluhan warga mulai berdatangan dengan pakaian basah, membawa barang seadanya.
Di dalam tenda, suara bayi menangis, suara orang tua merintih sakit, dan suara doa bersahut-sahutan.
“Uni Alya… kalau Ayah belum pulang, bagaimana?” Dani bertanya pelan sambil memegang jaket ayahnya yang tersisa.
Alya tak sanggup menjawab.
Ayah mereka adalah relawan banjir rutin yang sering membantu warga setiap musim hujan. Semalam Ayah pergi ke kampung sebelah untuk mengevakuasi warga lansia. Sejak itu, ia tak pernah kembali. Alya menggenggam tangan Dani.
“Kita tunggu kabar dari relawan. Ayah orang baik… insyaAllah, Allah jaga dia.” Ucapan itu ia lontarkan seperti doa, meski hatinya remuk.
Menjelang siang, tenda semakin penuh. Banyak warga datang dengan luka-luka, sebagian tertimpa puing rumah, sebagian terbawa arus banjir. Di luar tenda, hujan belum berhenti dan tanah terus bergerak. Di sisi lain tenda, seorang pemuda bernama Ardi membantu menyalakan api unggun kecil. Ia kehilangan kakaknya, istri kakaknya, dan tiga keponakannya. Rumah mereka di tepi bukit tak sempat ditinggalkan saat longsor datang. Ardi duduk dengan wajah penuh lumpur. Matanya kosong, Alya menghampirinya.
“Bang Ardi, api sudah nyala. Ayo hangatkan badan.”
Ardi menatap api itu dengan tatapan jauh. “Uni… suara anak-anak itu masih ada di telinga saya ” bisiknya. “Saya dengar mereka panggil ‘Mak… Mak…’ sebelum tanah jatuh semua. Saya tak bisa apa-apa. Saya tak bisa… saya….”
Alya menepuk bahunya. “Bang… ini bukan salah abang… ini bencana…”
Ardi menggoyang kepala. “Tapi saya yang tinggal hidup.”
Ucapan itu membuat dada Alya ikut terasa sesak.
Tak jauh dari mereka, seorang ibu lainnya Uni Suri berdiri sambil memegang gelang kecil yang penuh lumpur. Hanya itu sisa dari anaknya yang terbawa arus. Ia berjalan berkeliling tenda sambil memanggil, “Seseorang lihat anak saya? Berumur tujuh tahun, rambutnya keriting berbaju merah…”. Tak ada jawaban. Ia terus berjalan, terus memanggil sampai suaranya habis.
Menjelang sore, seorang relawan dari Kelurahan datang berlari ke tenda sambil membawa kabar. “Ada yang ditemukan… di dekat pohon beringin besar…!”
Semua orang tersentak. Siapa pun yang kehilangan keluarga langsung bangkit. Alya dan Dani berlari mengikuti kerumunan menuju lokasi. Hujan masih turun deras. Lumpur menutupi sepatu, bahkan kain sarung beberapa warga tersangkut dan harus diangkat bersama-sama. Sesampainya di lokasi, Alya melihat empat relawan sedang mengangkat sesuatu yang tertutup terpal biru.
“Siapa…?” tanya seseorang dengan suara bergetar.
Relawan membuka terpal dengan hati-hati. Di dalamnya, ada tiga tubuh: seorang ayah, seorang ibu, dan seorang anak kecil yang tampak seperti sedang dipeluk ayahnya sebelum mereka tertimbun. Tangis langsung pecah dari banyak mulut. Karena hampir semua orang mengenal keluarga itu, keluarga Pak Hafiz yang rumahnya berjarak dua gang dari rumah Alya.
Alya menutup mulutnya, menahan isak. Namun di tengah tangisan itu, seseorang berkata lirih, “Masih ada satu lagi.” Relawan menarik kantong jenazah lain. Saat kantong dibuka, Dani tiba-tiba menggenggam tangan Alya sangat kuat. Terlalu kuat sampai Alya merasa nyeri.
“Uni…” suara Dani tercekat. “Itu… A….ayaah”
Alya menatap tubuh itu. Itu benar ayahnya. Pakaian yang penuh lumpur. Kemeja batik kerja yang ia pakai saat berangkat. Wajah yang pucat, seolah sedang tidur sangat panjang. Alya jatuh berlutut. Tangisnya pecah menghantam hujan yang tak kunjung reda.
Dani memeluk tubuh ayah mereka, menjerit memanggil “Ayah… bangun ah… Ayah… Ayah jangan tinggalin Dani…”.
Warga lain menunduk, ikut menangis bersama mereka. Suasana begitu sunyi, kecuali suara hujan, suara sungai yang mengamuk, dan suara kehilangan yang menggema dalam hati setiap orang.
Malam itu menjadi malam paling panjang di Lubuk Minturun. Tenda pengungsian dipenuhi suara batuk, tangis anak-anak, dan rintihan dingin. Hanya ada bubur tipis yang dibagikan dalam gelas plastik. Banyak yang kelaparan, tapi memilih memberi makan anak-anak dulu. Nenek Sijah, yang kehilangan cucunya dalam banjir, duduk di pojok tenda sambil menggoyang-goyang tubuhnya.
“Cucu nenek lapar… cucu nenek lapar… kenapa nenek tak cepat ambil dia…?” Para ibu berusaha menenangkan, tapi ia terus mengulang kalimat itu berkali-kali sampai suaranya hilang.
Sementara itu, Ardi duduk di luar tenda, menunggu kabar tentang sisa keluarganya. Tangannya dingin dan mengusap lumpur di celananya berulang-ulang, seolah menghapus kenyataan pahit. Di sisi lain tenda, Uni Suri pingsan karena menangis sepanjang hari mencari anaknya yang belum ditemukan. Warga mengipas tubuhnya dengan daun pisang sambil menunggu relawan medis datang. Alya duduk memeluk Dani yang terus menggigil meski telah dibungkus tiga lapis selimut basah. Ayah mereka baru saja dikebumikan malam itu, di pemakaman darurat yang dibuka dekat masjid karena akses menuju TPU tertutup longsor. Alya tak lagi punya tenaga untuk menangis. Matanya bengkak, tenggorokannya perih. Dani terisak pelan.
“Uni… besok kita ke rumah ya…?”
Rumah mereka telah hilang, tertutup longsor yang sama yang menelan Ayah. Yang tersisa hanya dinding separuh roboh dan pecahan genteng yang mengapung di air.
“Tunggu sampai aman, Danii…” jawab Alya, suaranya nyaris tak terdengar. “Yang penting kita masih bersama…”
Malam itu, Lubuk Minturun terasa seperti lembah yang kehilangan nyawa. Hanya suara hujan yang terus turun, seolah langit ikut berkabung bersama ratusan orang yang kehilangan keluarga, rumah, dan harapan. Keesokan paginya, kabut menyelimuti lembah. Hujan sudah mulai reda, namun ancaman masih terasa. Tim SAR tambahan akhirnya berhasil masuk setelah alat berat membuka jalur sempit. Satu per satu jenazah ditemukan. Ada yang bersembunyi di balik reruntuhan kayu, ada yang tersangkut di akar pohon, ada yang tertimbun lumpur.
Setiap penemuan selalu diiringi kerumunan warga beberapa berdoa, beberapa menjerit, beberapa jatuh pingsan. Pada hari ketiga, tubuh seorang bocah ditemukan tersangkut di antara dua batang kayu besar. Pakaian merah kecilnya masih melekat, meski robek. Uni Suri langsung roboh saat melihatnya. Di sisi lain, Ardi menemukan sisa tas sekolah milik keponakannya. Itu saja sudah cukup untuk membuat pria yang selama ini kuat itu menangis keras seperti anak kecil. Alya membantu mendata warga yang selamat, menulis nama satu per satu walaupun tangannya gemetar. Setiap nama yang hilang terasa seperti luka baru yang menusuk dari dalam.
Warga lain datang membawa kabar baru “Di Bukit Gadang masih banyak yang belum ditemukan…”. “Di dekat sungai ada serpihan rumah… mungkin ada korban di bawahnya…”. “Di komplek sebelah, tiga keluarga belum kembali…”
Kabar buruk tidak berhenti. Hari demi hari, jumlah korban bertambah. Namun di antara kehancuran itu, Alya menyadari satu hal, manusia selalu saling menemukan cara untuk bertahan. Relawan dari berbagai daerah datang membawa makanan, selimut, pakaian hangat, obat-obatan, dan pelukan. Anak-anak mulai bisa tersenyum sedikit ketika relawan mengajak mereka bernyanyi. Sirine ambulans digantikan adzan dan doa saat jenazah ditemukan. Dan meski banyak air mata jatuh, tangan-tangan yang saling menggenggam membuat setiap orang sedikit lebih kuat. Lubuk Minturun pada akhirnya pulih perlahan meski luka itu mungkin tak akan benar-benar hilang.
Alya, berdiri di depan kubur ayahnya pada hari ketujuh bencana, berbisik pelan, “Yah… kami masih di sini. Kami akan bangkit… meski semuanya sulit. Doakan kami kuat, Yah…”.
Angin pagi menyentuh wajahnya lembut, seolah menjawab doa itu. Dan untuk pertama kalinya sejak tanggal 27 November 2025, Alya merasa langit yang kelabu mulai menipis walaupun hanya sedikit. Namun sedikit cahaya itu cukup baginya untuk melangkah ke hari berikutnya. Dan ke hari-hari panjang yang masih harus mereka jalani tanpa banyak orang yang mereka cintai.
Biodata Penulis:
Tasiya Anggara Putri saat ini aktif sebagai mahasiswa, Jurusan Sastra Indonesia, Fulkutas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas.