Di Antara Pundak dan Pelukan

Cerpen ini mengangkat kisah kenangan masa kecil tentang keluarga sederhana dan kebersamaan yang dulu terasa menyebalkan, tapi kini justru dirindukan.

Oleh Muhammad Ihsan Ramadhan

Aku adalah anak kedua dari empat bersaudara. Perempuan, dan waktu itu aku baru menginjak usia yang bahkan belum bisa memahami betapa berharganya sebuah kebersamaan. Yang kutahu hanya satu: rumah kami ramai, berisik, tapi hangat. Dan Ayah serta Mama selalu berusaha membuat kami merasa cukup, meski dengan segala keterbatasan yang mereka punya.

Aku masih ingat hari itu dengan jelas hari ketika kami sekeluarga hendak pergi ke rumah nenek. Kami hanya punya satu motor tua, motor butut yang kalau dinyalakan suaranya lebih mirip batuk-batuk daripada mesin kendaraan. Tetapi justru motor itulah yang menjadi saksi betapa kami pernah begitu dekat, begitu bergantung satu sama lain.

Cerpen Di Antara Pundak dan Pelukan

Ayah duduk paling depan, tentu saja sebagai pengemudi. Kakakku duduk di depan Ayah, memeluk stang kecil yang ada di tengah, kakinya menjuntai dan terkatup rapat karena ruangnya sempit sekali. Aku? Aku duduk tepat di belakang Ayah, terhimpit antara tubuhnya dan Mama. Dua adikku yang masih kecil digendong Mama yang satu di kanan, satu lagi di kiri. Bayangkan saja: enam orang kecil dan besar naik satu motor yang seharusnya hanya muat dua.

“Siap?” tanya Ayah sambil tertawa kecil.

Aku tidak menjawab. Aku lebih sibuk berusaha mencari ruang untuk bernapas. Rasanya seperti menjadi ikan sarden di dalam kaleng padat, panas, dan tidak bisa bergerak.

Begitu motor berjalan, aku semakin terhimpit. Kakakku di depan tampak santai, tetapi aku yakin kakinya mulai pegal karena posisinya sangat tidak nyaman. Mama berkali-kali menyesuaikan posisi agar adik-adikku tidak jatuh. Ayah mengemudi sambil menahan keseimbangan motor yang terlalu berat itu.

Saat melewati tetangga, mereka bercanda,

“Wah, rame banget! Harusnya pake tossa itu, biar muat semua! Haha!”. Semua tertawa. Aku tidak. Bagiku, hari itu rasanya tidak enak sekali. Aku panas, aku sesak, aku terjepit. Aku hanya ingin cepat sampai.

Tapi waktu berlalu, dan aku tumbuh. Sekarang, ketika aku melihat seseorang berboncengan banyak di atas motor, entah mengapa dadaku selalu terasa hangat—dan sedikit nyeri. Ada sesuatu yang bergetar di dalam diriku. Mungkin karena aku merindukan masa itu. Masa di mana aku mengeluh karena sempit, tetapi tidak tahu bahwa kelak justru rasa sempit itulah yang membuat hatiku lapang.

Aku mulai mengerti...

Bahwa kakakku mungkin juga kesakitan waktu duduk di depan, tapi ia tidak pernah mengeluh. Bahwa Ayah bisa saja sangat lelah mengemudikan motor tua dengan beban begitu berat. Bahwa Mama pasti pegal sekali menggendong dua anak kecil di kiri dan kanan, menjaga agar mereka tidak jatuh. Bahwa adik-adikku juga mungkin tidak nyaman, tapi tetap diam karena mereka merasa aman dalam pelukan Mama.

Dan aku?

Aku dulu merasa terhimpit.

Sekarang aku merasa terharu.

Karena di balik ketidaknyamanan itu, ada kasih sayang yang saling menopang. Ada kekacauan yang penuh cinta. Ada tawa yang menutupi kekurangan. Ada keluarga yang tetap melangkah bersama, meski hanya dengan satu motor butut.

Kini, setiap kali motor lewat dengan muatan berlebih, orang lain melihatnya sebagai hal lucu atau bodoh. Tapi aku?

Aku melihat diriku di sana duduk di tengah, terjepit, tapi bersama orang-orang yang paling kucintai.

Dan aku rindu.

Rindu sesak itu.

Rindu berdesakan itu.

Rindu kebersamaan yang dulu kupikir menyebalkan, tapi ternyata menjadi salah satu hal paling hangat dalam hidupku.

Karena pada akhirnya, aku mengerti.

Yang membuat perjalanan itu berharga bukanlah motornya.

Tapi siapa yang duduk bersamaku.

Biodata Penulis:

Muhammad Ihsan Ramadhan, saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN Malang, jurusan Bahasa dan Sastra Arab.

© Sepenuhnya. All rights reserved.