Oleh Suchi Nofryanti Fitry
Kalau kau datang ke Pasar Pauh pada hari Senin pagi, jangan kaget kalau telingamu penuh sebelum matamu sempat melihat apa-apa. Di sana, suara lebih dulu bekerja. Suara orang menawar, mengeluh, tertawa, dan menyimpan banyak hal yang tak pernah selesai dibicarakan. Begitulah urang awak hidup ramai, tapi sering diminta diam.
Aku tahu itu sejak kecil, sejak telingaku lebih dulu belajar mendengar sebelum mulutku diajari bicara. Namaku Rafi, cucu dari Mak Inaih, perempuan tua yang paling hafal harga cabai, gosip nagari, dan cerita-cerita lama yang tidak pernah masuk buku sejarah. Mak Inaih tidak tamat sekolah tinggi, tapi lidahnya terlatih oleh pasar tajam, cepat, dan tahu kapan harus diam.
“Kalau orang sudah banyak pidato,” katanya suatu pagi sambil menimbang ikan, “biasanya yang disembunyikan juga banyak.”
Pagi itu pasar seperti biasa pedagang berteriak setengah bercanda, pembeli menawar sambil pura-pura pergi, dan bau ikan bercampur cabai basah menempel di udara. Di sudut pasar, berdiri spanduk baru, kainnya masih kaku, warnanya terlalu cerah untuk tempat sepadat ini:
“PASAR TRADISIONAL AKAN DIREVITALISASI MENJADI PASAR MODERN”
Orang-orang membaca sambil lalu, seolah tulisan itu bukan urusan mereka. “Pasar modern itu maksudnya apa, Mak?” tanyaku.
Mak Inaih mendengus kecil. “Maksudnya, yang kecil makin kecil, yang besar makin lapang.”
Lapak Mak Inaih sudah ada sejak sebelum aku lahir. Dulu lapak itu milik neneknya, diwariskan tanpa surat, tanpa stempel cukup dengan ingatan dan kepercayaan. Kata Mak Inaih, pasar bukan cuma tempat jual beli, tapi tempat kita belajar membaca watak.
“Kalau mau tahu orang,” katanya, “lihat caranya menawar. Di situ keluar semua.”
***
Beberapa minggu setelah spanduk itu dipasang, orang-orang kantor mulai datang. Sepatu mengkilap, baju rapi, senyum yang seperti sudah dilatih. Mereka bicara tentang kemajuan, kebersihan, efisiensi, dan daya saing. Kata-kata itu terdengar bagus, licin, dan selesai di mulut mereka sendiri tidak pernah sampai ke pertanyaan yang diam-diam kami simpan.
“Akan dibangun kios permanen,” kata salah satu dari mereka.
“Siapa yang dapat kios?” tanya seorang pedagang.
“Yang memenuhi syarat,” jawabnya cepat.
Syarat itu tidak pernah dijelaskan dengan jelas. Seperti banyak hal lain di nagari ini. Mak Inaih pulang sore itu lebih cepat dari biasanya. Ia duduk lama di dapur, menatap tungku yang jarang dipakai.
“Kalau pasar ini hilang,” katanya pelan, “kita akan tetap makan. Tapi mereka lupa caranya bertemu.”
Aku tidak langsung paham. Tapi kata-kata itu menempel di kepalaku, seperti bau pasar yang tidak pernah hilang.
***
Sebulan kemudian, pasar mulai berubah wajah. Lapak-lapak kayu diganti seng yang berisik, memantulkan panas, dan tidak pernah benar-benar akrab dengan tangan pedagang lama. Pedagang kecil dipindahkan ke pinggir, dekat selokan. Sementara kios-kios baru berdiri rapi di tengah, sudah ada nama-nama tertempel bukan nama Mak Inaih, bukan nama kebanyakan orang lama. Orang-orang mulai menggerutu pelan, sambil menyeruput kopi, seolah keluhan pun harus mencari tempat aman.
“Kita ini urang awak, pandai bicara,” kata seorang mamak.
“Iya,” sahut yang lain, “tapi sekarang bicara bisa salah alamat.”
Di rumah gadang, suasana tak jauh beda. Rumah itu besar, tapi penghuninya tinggal sedikit. Paman-pamanku merantau, Sepupu-sepupuku sibuk bekerja. Musyawarah keluarga kini lebih sering terjadi di grup WhatsApp daripada di ruang tengah. Suatu malam, Mak Inaih memanggilku.
“Kau bisa menulis, kan?” tanyanya.
“Bisa sedikit.”
“Kalau begitu, tulislah pasar itu.”
“Tulisan tidak bisa menghentikan buldoser, Mak.”
“Tapi bisa bikin orang bertanya. Urang awak kalau sudah bertanya, susah berhenti.” Ia tersenyum miring
Aku mulai menulis. Tentang Mak Inaih. Tentang pasar. Tentang pedagang yang kehilangan lapak tanpa pernah benar-benar diajak bicara. Tulisan itu kubagikan. Awalnya hanya dibaca teman-teman. Lalu dibagikan lagi. Sampai akhirnya, seseorang dari kantor nagari menelpon.
“Kamu ini siapa?” tanyanya.
“Urang awak,” jawabku.
“Itu tulisanmu bikin suasana tidak kondusif.”
“Suasana memang sudah tidak kondusif sejak lama” Aku tertawa kecil.
***
Beberapa hari kemudian, Mak Inaih jatuh sakit. Tubuhnya kian menyusut, seolah pasar sedikit demi sedikit menariknya pulang. Di ranjang, ia masih sempat bercanda.
“Kalau aku mati,” katanya, “jangan tulis aku pahlawan. Aku cuma pedagang.”
“Tapi Mak pedagang yang keras kepala.”
Ia terkekeh. “Urang awak itu keras kepala,” katanya ringan, seperti sedang membicarakan cuaca padahal yang dibicarakan adalah cara bertahan.
Mak Inaih meninggal di tengah proses revitalisasi pasar. Tidak ada upacara besar. Tapi pada hari pemakamannya, pasar terasa aneh. Orang-orang diam lebih lama dari biasanya. Bahkan buldoser yang biasanya tak peduli apa-apa, hari itu berhenti entah karena perintah, entah karena rasa. Beberapa pedagang menutup lapak lebih cepat. Tidak ada komando, tidak ada surat resmi. Hanya rasa.
Setelah itu, sesuatu berubah. Orang-orang mulai bicara lebih berani. Bukan teriak, tapi bicara. Di pasar, di warung kopi, di surau kecil dekat sungai. Mereka membicarakan hak, bukan cuma nasib.
Pemerintah nagari akhirnya mengadakan pertemuan terbuka. Kali ini, bukan pidato satu arah. Pedagang kecil duduk di depan. Mereka bicara dengan logat pasar tidak rapi, tapi jujur.
“Kami tidak anti modern,” kata seorang ibu sambil merapikan jilbabnya.
“Cuma… jangan sisihkan kami.”
Kalimat itu tidak keras, tapi lama menggantung di ruangan. Hasilnya tidak sempurna. Pasar tetap berubah. Beberapa kios tidak kembali. Tapi ada ruang yang dipertahankan untuk pedagang lama. Tidak besar, tidak megah. Tapi cukup untuk bertahan.
Sekarang aku sering berdiri di sana. Di lapak kecil yang dulu milik Mak Inaih. Aku tidak menjual ikan. Aku menjual cerita kadang lewat tulisan, kadang lewat obrolan singkat dengan orang-orang yang masih suka menawar terlalu lama. Pasar itu memang tak lagi sama.
Tapi setiap kali seseorang menawar dengan suara setengah bercanda, setiap kali keluhan diselipkan di antara tawa, aku tahu satu hal urang awak belum hilang. Mereka hanya sedang belajar berbicara dengan cara lain, di sela dunia yang terlalu sering menyuruh mereka diam.
Biodata Penulis:
Suchi Nofryanti Fitry, lahir pada 12 November 2005 di Bandung, saat ini aktif sebagai mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Andalas.