Di Tengah Kerusuhan

Cerpen ini mengisahkan persahabatan Dimas dan Ardi yang teruji konflik antara tradisi dan modernisasi.

Oleh M. Raihan Fauzi

Di sebuah desa yang terletak di kaki gunung Balu-Balu, hiduplah masyarakat yang sangat damai. yah, meskipun terbagi dalam beberapa kelompok kecil, ada si miskin dan juga kaya. Mereka hidup dengan tradisi yang telah turun-temurun, menjaga hubungan baik antar tetangga, dan saling bantu-membantu. Namun, kedamaian itu mulai terganggu ketika munculnya sebuah perbedaan besar yang memecah belah mereka.

Cerpen Di Tengah Kerusuhan

Cerita ini berawal dari adanya dua sahabat, Dimas dan Ardi. Keduanya sudah mengenal satu sama lain sejak kecil. Mereka tumbuh bersama, bermain bersama, dan bahkan bercita-cita membangun masa depan desa mereka bersama-sama. Namun, ketika mereka memasuki usia dewasa, perbedaan pandangan mulai terlihat jelas di antara mereka. Dimas adalah seorang pemuda yang sangat memperhatikan perkembangan desa. Dia ingin desa mereka maju, modern, dan dikenal oleh dunia luar. Ardi, di sisi lain, adalah seorang yang sangat konservatif, memegang teguh tradisi desa dan lebih suka menjaga cara hidup yang sudah ada selama ini.

“Ardi, kamu tahu kan? Kalau kita tidak melakukan sesuatu, desa kita akan tetap seperti ini. Kita harus membuka diri untuk perubahan, membangun infrastruktur yang lebih baik, mengembangkan pertanian dengan teknologi, dan menarik lebih banyak pengunjung” kata Dimas suatu sore saat mereka sedang duduk di warung kopi.

Ardi menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap Dimas dengan tatapan serius. “Dimas, kamu terlalu terburu-buru. Tradisi kita sudah cukup baik. Kenapa harus mengubah semuanya hanya karena ingin terlihat modern? Kita harus lebih berhati-hati dengan perubahan yang datang dari luar. Jangan sampai kita kehilangan jati diri kita sebagai rakyat yang memegang teguh pada warisan nenek moyang kita.”

Perdebatan kecil ini hanyalah permulaan. Seiring waktu, semakin banyak warga desa yang terpengaruh oleh ide-ide Dimas tentang pembangunan dan modernisasi. Mereka mulai mendukungnya, berharap desa mereka bisa berkembang pesat. Namun, di sisi lain, kelompok yang dipimpin oleh Ardi merasa bahwa perubahan ini bisa mengancam kehidupan tradisional di desa mereka.

Masalah semakin memanas ketika seorang pengusaha dari kota datang menawarkan bantuan untuk membangun sebuah proyek besar di desa itu. Proyek tersebut akan membangun hotel bintang lima, pasar modern (supermarket), dan fasilitas wisata di sekitar kaki gunung. Dimas mendukung proyek ini dengan penuh semangat, berpikir bahwa itu akan membawa kemajuan yang sangat dibutuhkan. Namun, Ardi dan kelompoknya berpikir lain dan menentang keras.

“Ini akan merusak alam dan tanah kita. Tidak ada jaminan bahwa mereka akan peduli dengan lingkungan kita. Kita akan kehilangan semuanya!” kata Ardi dengan berapi-api saat rapat desa yang membahas masalah ini.

Ketegangan antara kedua kelompok ini semakin meningkat. Para pendukung Dimas dan Ardi mulai saling berdebat dengan sengit, dan desa yang dulunya damai kini dipenuhi dengan ketegangan dan perpecahan. Setiap kali mereka bertemu, baik di pasar, di kebun, maupun di warung kopi, hanya ada kata-kata tajam yang saling melempar. Bahkan, keluarga yang dulu akrab kini mulai saling menjauh.

Puncaknya terjadi pada hari perayaan ulang tahun desa yang biasanya dirayakan dengan meriah. Di tengah keramaian acara, sebuah poster besar berisi gambar proyek pembangunan yang didukung Dimas dipasang di balai desa. Melihat itu, Ardi langsung bergegas menuju panggung utama, menuntut agar poster itu dibuang.

“Ini bukan keputusan yang bijak! Kita tidak bisa menyetujui proyek ini hanya karena keuntungan sementara. Apa yang kita miliki sekarang jauh lebih berharga!” teriak Ardi, suaranya penuh emosi.

Dimas yang mendengar teriakan Ardi langsung berdiri. “Jangan begitu, woilah Ardi! Ini untuk masa depan kita! Kamu hanya takut karena perubahan ini terlalu cepat. Kalau kita tidak bertindak, kita akan tertinggal!” 

Keributan pun terjadi. Orang-orang mulai membentuk menjadi dua kubu, mereka saling berteriak dan saling menyalahkan. Beberapa orang yang sebelumnya tenang kini terprovokasi dan ikut-ikutan marah. Suasana yang tadinya penuh keceriaan berubah menjadi kacau. Ardi dan Dimas, yang semula sahabat, kini terlibat dalam pertengkaran yang semakin sengit.

Di tengah kekacauan itu, ada seorang wanita tua bernama Bu Siti, dia adalah orang yang sudah lama tinggal di desa itu. Tanpa memperhatikan kegaduhan dia maju ke tengah kerumunan. Dengan suara lemah namun penuh kebijaksanaan, ia berkata, “Anak-anak, apa yang kalian perjuangkan ini bukan hanya tentang pembangunan atau tradisi. Ini tentang masa depan desa kita. Kalau kalian terus saling bertengkar, siapa yang akan membangun desa ini? Jangan biarkan perbedaan membuat kita kehilangan segalanya.”

Semua orang terdiam. Perkataan Bu Siti menyentuh hati banyak orang, termasuk Dimas dan Ardi. Mereka semua berdiri terdiam, merasa malu atas keributan yang telah mereka buat. Dimas menatap Ardi dan menghela napas panjang. “Aku tahu, Ardi, kau hanya peduli pada desa ini. Mungkin aku juga terlalu cepat dalam memaksakan ide-ide baru ini. Tapi kita harus mencari jalan tengah, bukan?” Ardi mengangguk pelan. “Kita memang harus mencari solusi, Dimas. Tapi kita juga harus melibatkan semua orang, mendengarkan setiap suara, dan tidak terburu-buru mengambil keputusan.”

Pada akhirnya, pertemuan desa itu menjadi titik balik. Setelah diskusi panjang, mereka memutuskan untuk membentuk sebuah tim yang akan menyelidiki proyek pembangunan dengan lebih mendalam, memadukan elemen tradisional dengan modernisasi yang lebih bertanggung jawab. Mereka sepakat untuk menjaga keseimbangan antara menjaga alam dan budaya dengan membuka kesempatan untuk perkembangan yang bermanfaat.

Meskipun ada perbedaan pendapat, Dimas dan Ardi belajar bahwa pertengkaran dan konflik antara mereka berdua tidak akan membawa kebaikan bagi siapa pun. Mereka perlu bekerja sama, saling menghargai, dan mencari solusi yang adil bagi seluruh masyarakat. Hanya dengan begitu, desa mereka bisa maju tanpa kehilangan akar budaya yang telah lama mereka jaga dan banggakan.

M. Raihan Fauzi

Biodata Penulis:

M. Raihan Fauzi saat ini aktif sebagai mahasiswa BSA di UIN Malang.

© Sepenuhnya. All rights reserved.