Oleh Tesa Maika Putri
Suara mesin bus beralun rendah, beradu dengan rintik hujan yang mulai membasahi kaca jendela. Laras menyandarkan kepalanya dan di pangkuannya sebuah tas ransel usang berisi dokumen pendaftaran ulang Universitas dan beberapa potong baju pemberian ibunya. Ia baru saja meninggalkan desanya di pelosok Jambi untuk menuju Padang. Menjadi orang pertama di keluarganya yang menginjakkan kaki di bangku kuliah, bukan sekadar kebanggaan bagi Laras, melainkan sebuah beban yang manis.
Begitu bus memasuki batas kota, pemandangan berubah. Perbukitan hijau yang rimbun mulai bersahutan dengan atap-atap rumah gadang yang melengkung tajam seperti tanduk kerbau. Menghirup udara dengan wanginya rempah dari kedai-kedai nasi di sepanjang jalan.
“Turun di mana, Dek?” tanya kondektur bus dengan logat Minang yang kental.
“Pasar Baru, Pak. Dekat gerbang Unand,” jawab Laras pelan.
Ia turun di sebuah simpang yang ramai. Mahasiswa dengan berbagai gaya lalu lalang, sementara angkot-angkot berwarna warni melaju kencang sambil membunyikan musik keras. Laras merasa seperti sebutir pasir di padang luas. Ia bingung harus melangkah ke mana, sampai seorang mahasiswi dengan jaket Almamater Hijau menghampirinya.
“Baru sampai ya? Mau ke asrama atau kos-kosan?” tanya mahasiswi itu ramah.
“I-iya, Kak. Saya cari alamat di daerah Limau Manis ini,” jawab Laras sambil menunjukkan secarik kertas.
“Wah, searah! Ayo ikut kakak naik angkot Hijau. Kenalkan, namaku Cika. Jangan tegang begitu, Padang memang berisik, tapi orangnya baik-baik kalau kita sopan.”
Seminggu pertama adalah ujian mental. Laras seringkali bingung dengan kecepatan bicara teman-temannya. Suatu sore di kantin kampus, ia duduk sendirian sebelum seorang gadis seumurannya menghampirinya.
“Sendiri aja? Boleh duduk di sini?” tanya gadis itu.
“Oh, boleh. Silakan,” jawab Laras canggung.
“Kenalkan, namaku Sarah. Kamu angkatan baru juga kan? Jurusan apa?”
“Laras. Iya, aku Sastra Indonesia. Kamu?”
“Wah, tetangga! Aku Sejarah. Kamu dari mana asalnya? Logatmu bukan orang sini ya?” Sarah tersenyum ramah.
“Aku dari Jambi, Sar. Baru pertama kali merantau sejauh ini.”
“Tenang saja, Laras. Padang ini kalau sudah kenal, bakal bikin rindu. Nanti sore ikut aku yuk? Kita ke Pantai Padang. Katanya kalau belum lihat sunset di sana, belum sah jadi anak rantau di sini.”
Setelah berbulan-bulan berlalu. Laras mulai terbiasa dengan pendakian terjal menuju gedung kuliahnya di atas bukit Limau Manis. Namun, tantangan terbesar tetaplah komunikasi dan rasa rindu pada rumah. Suatu malam di dapur kos, Laras terlihat sedang mengaduk mie instan dengan mata berkaca-kaca. Ibu kosnya bernama Mak Itam masuk untuk mengambil air minum.
“Laras? Kenapa menangis, Nak? Sakit?” tanya Mak Itam dengan nada khawatir.
Laras menyeka matanya cepat-cepat. “Enggak, Mak. Cuma... kangen masakan Ibu di rumah. Tadi di telepon Ibu bilang sedang masak gulai paku kesukaanku.”
Mak Itam duduk di kursi kayu di samping Laras.
“Merantau itu memang berat di awal Laras. Dima bumi dipijak, di situ langik dijunjung. Kamu harus belajar mencintai tempat ini seperti rumahmu sendiri. Besok pagi ikut Mak ke pasar ya? Mak ajarkan cara pilih ikan segar dan bumbu rendang yang pas. Biar kamu bisa masak sendiri kalau rindu.”
Laras mengangguk. Sejak hari itu Mak Itam bukan sekadar pemilik kos, melainkan sosok ibu pengganti bagi Laras. Ia mulai belajar kosakata Minang sedikit demi sedikit.
“Mak, ini harganya berapa?” tanya Laras saat di pasar, mencoba mempraktikkan bahasanya.
“Berapa Mak?” ralat Mak Itam sambil tertawa. Bilangnya, “Bara haragonyo Mak?”
Laras tertawa kecil. “Bara haragonyo Mak?”
“Nah, mantap! Sudah mirip orang Padang asli” sahut pedagang sayur sambil memberikan bonus sebungkus kerupuk jengkol.
Empat tahun kemudian.
Udara Padang pagi itu terasa sejuk. Laras berdiri di depan cermin1 mengenakan toga hitam. Di belakangnya, Ibu dan Ayahnya yang baru tiba kemarin dari Jambi menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Anak Ayah sudah jadi sarjana” bisik ayahnya sambil menepuk bahu Laras.
“Ini semua karena doa Ayah dan Ibu” jawab Laras lirih.
Di acara wisuda yang megah itu, Laras terpilih sebagai salah satu lulusan terbaik. Saat namanya dipanggil ke podium, ia teringat hari pertama turun dari bus dengan perasaan takut. Sekarang ia berdiri tegak. Padang telah membentuknya menjadi perempuan yang tangguh. Setelah acara selesai, Laras membawa orang tuanya ke Taplau atau Tepi Laut. Sambil menikmati es kelapa muda dan hembusan angin laut.
Ibu, Ayah, Laras mau kerja di sini dulu sebentar sebelum pulang ke Jambi. Laras ingin membalas budi pada kota ini” ujarnya mantap.
Ibunya tersenyum sambil membelai jilbab Laras. “Ibu bangga padamu. Di mana pun kamu berada, ingat pesan Ibu. jangan tinggalkan ibadah dan tetaplah jadi orang baik.”
Matahari mulai tenggelam di cakrawala Pantai Padang, memberikan warna jingga yang luar biasa cantik. Laras tahu, meski suatu saat ia pergi, separuh hatinya akan selalu tertinggal di antara bukit Unand dan deburan ombak laut Minangkabau.
Biodata Penulis:
Tesa Maika Putri, lahir pada tanggal 25 Mei 2005 di Pesisir Selatan, saat ini aktif sebagai mahasiswa, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Andalas.