Oleh Putri Nurhasanah
Nisa masih mengingat hari ketika hujan pertama itu turun. Awan gelap bergerak perlahan seperti sedang mengumpulkan kekuatan. Tidak ada yang tampak berbeda pada awalnya, namun ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Ia tidak tahu apa, tetapi dadanya terasa sesak dan berat. Ia pernah membaca tentang firasat, tetapi ia tidak pernah menganggapnya serius. Namun hari itu, ia berdiri lama di depan jendela, memperhatikan rintik air yang jatuh seperti tidak ingin berhenti.
Dalam hati ia bergumam. “Ada sesuatu yang tidak beres. Mengapa langit terasa begitu muram? Mengapa air sungai berubah warna menjadi semenakutkan ini? Apakah hujan akan berhenti? Atau justru akan semakin deras? Tuhan, mengapa dadaku terasa sesak begini.”
Nisa mencoba untuk mengabaikan perasaan itu. Ia memilih membantu ibu menata rumah yang sejak pagi sudah berantakan karena bocor kecil di dapur. Ayah belum pulang dari ladang, dan Nisa hanya berharap beliau tiba sebelum malam datang dengan lebih banyak hujan. Hari berikutnya, hujan turun lebih deras. Sungai yang biasanya jernih berubah warna menjadi cokelat pekat. Arusnya lebih cepat dan lebih bising. Warga desa mulai berdiri di tepi sungai, melihat dengan rasa khawatir. Tidak ada yang mengatakan apa pun, tetapi mereka semua merasakan hal yang sama. Ada sesuatu yang datang bersama hujan itu. Sesuatu yang tidak mereka inginkan.
Nisa kembali berdiri di depan jendela. “Kenapa suara air sungai seperti ini? Mengapa semakin keras? Apa ini yang disebut banjir bandang? Kenapa orang dewasa terlihat berusaha tenang padahal wajah mereka jelas khawatir dan cemas. Apa yang harus aku lakukan jika airnya masuk ke rumah. Aku takut. Sangat takut..., Ya tuhan lindungilah kami semua.”
Air mulai naik pada malam kedua. Tidak ada peringatan resmi, tidak ada sirene. Warga hanya saling memberitahu dari mulut ke mulut. Nisa melihat ayah membawa karung untuk menahan air agar tidak masuk ke rumah. Ibu menyiapkan pakaian dan dokumen penting dalam satu tas seadanya. Gemuruh air terdengar semakin dekat. Hujan turun tanpa henti, seperti menumpahkan seluruh isi langit. Lampu rumah berkedip dan padam. Dalam gelap itu, suara benda hanyut terdengar jelas. Suara pohon yang tumbang, suara seng yang terbawa arus, suara teriakan orang yang memanggil keluarga mereka. Semuanya bercampur menjadi satu.
Nisa memeluk tas di pelukannya. “Apa rumah kami akan kuat menahan air? Apa ayah dan ibu bisa tetap tenang? Apa aku bisa membantu mereka? Aku tidak tahu harus apa? Setiap suara membuatku kaget. Kenapa rasanya dunia seperti akan runtuh malam ini. Tuhan, tolong kami.”
Ketika air mencapai lutut, warga mulai dievakuasi. Beberapa relawan datang menggunakan perahu kayu yang mereka buat sendiri. Tidak ada petugas resmi, tidak ada bantuan cepat, warga saling membantu, meski mereka sendiri tidak tahu apakah rumah, keluarga, harta benda mereka masih utuh. Nisa menggenggam tangan ibu ketika mereka naik perahu kecil itu. Ayah membantu warga lain sebelum ikut menyusul dengan kami. Air sudah mencapai pinggang, dan arus membuat perahu bergoyang. Nisa memandang rumahnya yang perlahan tenggelam dalam gelap malam.
“Itu rumahku. Tempat aku tumbuh. Tempat aku tertawa bersama ayah dan ibu. Bagaimana jika rumah itu hilang? Bagaimana jika kami tidak bisa kembali ke rumah? Mengapa semua ini terjadi begitu cepat? Apakah hidup bisa berubah hanya dalam hitungan jam seperti ini? Aku tidak siap. Tidak ada yang siap dengan musibah ini.”
Nisa dan warga yang lain dibawa ke gedung sekolah yang berada di tanah lebih tinggi. Banyak keluarga sudah berkumpul di sana. Sebagian dari mereka kehilangan rumah, sebagian kehilangan barang berharga, dan sebagian lainnya tidak tahu ke mana keluarganya pergi. Suasana penuh tangis, doa, dan kebingungan. Nisa duduk memegangi lututnya. Perasaan tidak enak yang ia rasakan beberapa hari sebelumnya kini berubah menjadi kenyataan pahit di depan mata.
“Hujan tidak berhenti. Orang-orang menangis, anak anak ketakutan. Mengapa tidak ada bantuan yang datang? Mengapa semuanya harus menunggu selama ini? Bukankah ini semua sudah jelas bencana. Apakah suara kami tidak cukup keras untuk didengar. Tuhan, kapan semua ini berakhir.”
Beberapa relawan lokal datang membawa makanan sederhana. Mie instan, air mineral, dan selimut tipis. Mereka bekerja tanpa henti, meski mereka sendiri juga tampak sangat kelelahan. Setiap kali pintu sekolah terbuka, semua orang menoleh dengan harapan ada kabar baik. Namun kabar yang datang justru sebaliknya. Air semakin naik, desa semakin tenggelam. Jalan sudah tidak bisa dilewati. Nisa menatap ibu yang tetap berusaha tersenyum meski wajahnya menunjukkan kecemasan yang dalam. Ayah duduk memejamkan mata sejenak karena kelelahan. Melihat itu, Nisa merasakan sesuatu dalam dirinya retak sedikit demi sedikit.
“Kenapa orang tua harus selalu tampak kuat. Padahal aku tahu mereka juga takut. Aku ingin memeluk mereka. Aku ingin bilang aku juga kuat. Tapi aku bahkan tidak bisa berhenti gemetar. Semoga kami bisa pulang. Semoga desa kami bisa bertahan. Semoga semua orang selamat.”
Waktu berlalu perlahan. Malam terasa sangat panjang. Suara hujan menjadi seperti dinding yang tidak henti mengetuk telinga kami. Beberapa anak menangis karena kedinginan, ketakutan, beberapa orang dewasa berdoa dalam suara pelan, beberapa lainnya hanya duduk menatap kosong.
“Ayah,” tanya Nisa pelan, “mengapa Tuhan memberi kita ujian ini?”
Ayah terdiam sebelum menjawab. “Mungkin, karena kita perlu mengingat bahwa dunia ini bukan hanya milik kita. Kadang alam berbicara dengan caranya sendiri. Dan manusia harus belajar mendengarkannya.”
Nisa mengangguk pelan menanggapi jawaban ayah.
Nisa kembali berbicara dalam hatinya. “Aku tidak pernah membayangkan menjadi saksi bencana seperti ini. Aku hanya ingin kembali ke hari biasa. Hanya ingin mendengar suara riang warga desa. Mengapa semuanya terasa jauh sekarang? Air membawa banyak hal pergi. Termasuk rasa aman...”
Ketika pagi tiba, hujan masih turun tetapi lebih pelan dari sebelumnya. Warga mulai keluar untuk melihat keadaan. Beberapa bagian desa telah hilang dibawa air. Jembatan rusak, ladang hanyut, rumah ambruk. Ayah memandang ke arah rumah mereka yang hanya terlihat atapnya. Ibu berusaha menahan tangisnya untuk tidak keluar.
Nisa berdiri di antara mereka. “Inikah bentuk kehilangan. Rasanya seperti ada ruang kosong besar yang tiba-tiba muncul di dalam dada. Aku tidak tahu bagaimana mengisinya. Tapi aku tahu kami harus mulai dari awal. Walaupun berat. Walaupun sulit.”
Banjir itu meninggalkan bekas yang tidak hilang dalam waktu singkat. Bukan hanya pada bangunan, tetapi juga pada hati orang-orang yang mengalaminya. Mereka mencoba bangkit, meski bantuan datang terlambat.
Nisa belajar satu hal dari semua itu.
“Kehidupan tidak selalu memberi peringatan jelas. Kadang hanya memberi perasaan aneh yang tidak kita pahami. Tapi manusia selalu punya cara untuk bertahan. Bahkan ketika air menenggelamkan rumah, namun harapan tidak ikut tenggelam.”