Oleh Selvy Rahmah
Apa ini? Tidak terlihat wujudnya, namun suara itu seakan-akan menarikku dan merenggut semua fokusku.
Siapa bilang cinta hanya muncul dari mata turun ke hati? Cinta bisa datang kapan saja, bahkan tanpa kita tahu keindahan dari parasnya.
“Dafa.” Sosok pria dengan kacamata dan wawasannya yang mampu membawaku masuk dalam rasa kagum yang belum pernah kurasakan, seakan-akan dunia berhenti sejenak dan hening seketika. Yang terdengar hanya bisikan-bisikan malaikat kecil yang sudah lama tak bersuara.
“Apa ini? Perasaan apa ini? Mengapa dia bisa membuatku kagum hanya karena wawasannya yang tak bertepi? Apakah ini hanya kekaguman sementara? Tapi ini terasa berbeda.” Hati kecilku terus berbisik dan mencoba mendobrak satu ruangan yang sudah lama terkunci.
Lembaran waktu terbuka satu per satu. Yang awalnya aku mengenalnya karena sebuah pertemuan kebetulan, kini kami dipertemukan kembali dalam sebuah majlis taklim dan beliau menjadi salah satu pengajar tetap di kelas kami. Tak terhitung berapa kali aku harus menahan malaikat kecil yang terus mendobrak dan mengacak-acak pikiranku.
“Apakah ini yang namanya cinta? Atau hanya kekaguman semata?” Terdapat beribu pertanyaan yang berlarian di kepalaku.
***
Tak terasa satu tahun lebih tatapan kagum ini terus berlanjut. Yang kupikir hanya sebatas kagum biasa, justru rasa ini membuatku semakin yakin bahwa kali ini aku benar-benar cinta.
Fajar menyapa dunia dengan keindahannya. Bersamaan dengan hal itu, sebuah kitab berada di tanganku, sebut saja Jawahirul Kalamiyah. Mataku memang tertuju pada apa yang kupegang, tetapi hatiku bergelut tak karuan dengan berbagai pertanyaan yang penuh ketidakpastian.
“Apa aku cukup pantas dan bisa mendapatkan hatinya? Memang tidak ada yang tahu takdir akan mengarah ke mana, namun bagaimana mungkin aku akan memilikinya sedangkan dia cukup sulit untuk bisa kugapai?” Pertanyaan yang spontan keluar dalam lamunanku.
Siang beralih menuju malam. Aku kembali bertemu dengannya di dalam majlis taklim. Saat itu kami belajar mengenai kitab Jawahirul Kalamiyah. Setelah sesi belajar selesai, kami selalu memanfaatkan waktu dengan sharing. Di sana kami bebas bertanya apa pun. Di sela waktu sharing, ada salah satu temanku bernama Fatihah yang tiba-tiba berkata:
“Ustaz, itu cincin… cincin lamaran kah?” ucap Fatihah dengan semangat.
Aku yang menunduk karena tidak berani menatap beliau pun seketika terdongak dengan tatapan penuh misteri. Jujur, aku tak pernah siap dengan jawabannya.
“Ya… doakan saja semoga diberi kelancaran sampai hari H,” Respons Ustaz Dafa.
Dan… boom. Jawaban yang sangat kutakutkan kini terjadi.
Ibarat tertabrak motor dalam kondisi sadar, rasa sakit, bingung, dan syok yang saling berdesakan kini membuat suasana hati semakin redup, bagaikan mendung di siang bolong.
Tanpa kata, tanpa reaksi. Rasa yang selama ini kusimpan dalam diam mungkin kenyataannya akan tetap diam. Mengingat di awal kisah aku mengaguminya atas dasar ilmunya, sehingga episode dalam mengagumimu pun tidak akan sampai menuju ending-nya. Namun rasa kagum ini akan selalu mendorongku untuk terus berusaha agar bisa seterang bintang walau tak sesempurna cahaya matahari.
Hari-hari berlalu dengan irama yang sama dan dengan perasaan yang masih pada tempatnya. Rasa kagum yang terus tumbuh meski hingga saat ini menatapnya pun aku belum sanggup. Tapi justru dari situ cinta ini terus tumbuh.
Dalam syahdunya malam di latar masjid dalam majlis taklim, seperti biasa kami belajar dan sharing. Di tengah sepinya suasana, kami dikejutkan dengan pertanyaan Fatihah. Ia merasa ada sesuatu yang mencuri perhatiannya.
“Loh, ustaz kok sudah nggak pakai cincin?” tanya Fatihah dengan penuh rasa penasaran.
Dengan tersipu malu, ustaz Dafa hanya bisa tersenyum dan menjawab, “Mungkin belum jodohnya.”
Mendengar hal itu, seketika tumbuh ribuan bunga bermekaran memenuhi ruangan yang selama ini berusaha kututup dengan rasa ikhlas. “Alhamdulillah ya Allah… eh, innalillahi.” (gumam hatiku).
Semalaman aku terjebak dalam pusaran pikiran tentang impian sederhana yang tetap kupelihara walau tertutup ribuan kisah perjalanan.
***
Kini hari yang kami nanti-nanti pun tiba.
Tepat di penghujung cerita kehidupan yang kujalani di asrama, akan berakhir di momen ini, muwada'ah tentunya. Semua santri ikut memeriahkan hasil perjuangan kami selama kurang lebih dua tahun di balik “jeruji besi suci”. Begitu banyak canda, tawa, dan tangis yang menemani setiap jengkal langkah kami.
Kini selesai sudah lembaran cerita di masa asrama. Semua pamit untuk melanjutkan episode kehidupan masing-masing, begitu juga episodeku dalam mengaguminya yang sampai saat ini belum berani kuungkapkan dan kutatap parasnya. Karena tentu bukan itu yang Tuhan harapkan di saat cinta ini tumbuh.
Lebih dari empat tahun tak lagi terdengar kabar tentangnya. Bahkan langit pun sepertinya bosan mendengar semua kegalauanku. Tapi bagaimana mungkin aku membohongi diriku sendiri jika kenyataannya perasaan ini tidak akan pernah memudar sedikit pun.
***
“Cinta tidak pernah salah. Ia bisa datang kapan saja. Tapi bagaimana kita dapat mengendalikannya bukan berdasarkan apa yang kita mau, tetapi berdasarkan apa yang Tuhan mau.”
Biodata Penulis:
Selvy Rahmah, lahir pada tanggal 29 Agustus 2005 di Lamongan, saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.