Oleh Maulidya Syukrya
Sebuah desa kecil yang dikelilingi hamparan sawah hijau, hiduplah seorang pemuda bernama Rafi. Ia dikenal cerdas, namun sayangnya kurang mencintai ibadah. Baginya, hidup adalah tentang bersenang-senang, menghabiskan waktu bersama teman-temannya, dan mencari hiburan baru. Setiap kali azan berkumandang, Rafi selalu berkata, “Nanti saja, masih sempat.” Namun “nanti” itu tak pernah benar-benar datang.
Ibunya sering menasihatinya dengan lembut, “Nak, hidup ini singkat. Jangan sampai kamu terlalu asyik dengan dunia sampai lupa bekal untuk akhirat.” Rafi hanya tersenyum kecil, menganggap nasihat itu hanyalah pengulangan biasa.
Hingga suatu hari, sebuah peristiwa mengubah hidupnya. Ketika sedang berkendara menuju kota untuk bertemu teman-temannya, Rafi melihat seorang pria tua di pinggir jalan sedang mendorong gerobak besar yang tampak sangat berat. Rafi awalnya berniat melewati saja, tetapi sesuatu di hatinya menahan langkah. Ia berhenti dan menawarkan bantuan.
Pria tua itu tersenyum lemah dan berkata, “Terima kasih, Nak. Sudah banyak orang lewat, tapi tak ada yang mau menengok.” Rafi membantu mendorong gerobak itu hingga sampai ke rumah si pria tua.
Saat hendak pergi, pria itu menepuk bahunya, “Semoga Allah membalas kebaikanmu, Nak. Ingatlah, kita hidup bukan hanya untuk diri sendiri.” Kalimat sederhana itu tiba-tiba terasa menancap di hati Rafi, membuat langkahnya terasa lebih berat dari biasanya.
Malamnya, entah mengapa Rafi sulit tidur. Ia memikirkan hidupnya selama ini kesibukannya pada hal-hal yang tidak bermanfaat, kelalaiannya terhadap salat, dan sikapnya yang sering menunda-nunda kebaikan. Ketika ia membuka jendela kamar, terdengar azan Subuh berkumandang dari masjid kecil dekat rumahnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hatinya tergerak.
Dengan langkah pelan, ia mengambil wudu dan pergi ke masjid. Saat ia memasuki ruang salat, seorang ustaz yang sedang duduk tersenyum padanya. “Alhamdulillah, Rafi datang. Allah selalu membuka pintu untuk siapa pun yang ingin kembali.” Kata-kata itu membuat Rafi merasa seakan sesuatu di dalam dirinya retak lalu terbuka.
Sejak hari itu, Rafi perlahan mengubah dirinya. Ia mulai disiplin salat lima waktu, bahkan sering datang lebih awal. Ia juga mulai membantu ibunya di rumah, sesuatu yang dulu jarang ia lakukan. Teman-temannya sempat heran melihat perubahan itu. “Fi, kamu kok jadi alim sekarang?” tanya salah satu dari mereka.
Rafi hanya tersenyum, “Bukan soal alim. Aku cuma sadar hidup ini bukan hanya kesenangan. Kita semua akan kembali kepada Allah.”
Perubahan Rafi bukan tanpa rintangan. Ada saat-saat ia merasa malas, ada hari ketika ia ingin kembali pada kebiasaan lamanya. Namun setiap kali rasa itu muncul, ia mengingat wajah pria tua yang ia tolong hari itu, mengingat senyum ibunya, dan mengingat doa ustaz di masjid. Ia belajar bahwa dakwah bukan hanya nasihat dari mimbar—tetapi juga perubahan diri yang perlahan, konsisten, dan penuh kesadaran.
Beberapa bulan kemudian, Rafi mulai aktif membantu kegiatan remaja masjid. Ia mengajari anak-anak mengaji, membantu membersihkan masjid setiap akhir pekan, dan bahkan menjadi sosok yang diandalkan ketika ada acara keagamaan di desa.
Ibunya sering memandangnya dengan mata berkaca-kaca, “Alhamdulillah, Nak. Ibu bangga padamu.”
Rafi tersenyum dan menjawab, “Semua ini karena Allah, Bu. Kalau bukan karena peringatan-peringatan kecil yang Allah kirimkan, mungkin aku masih tenggelam dalam kelalaianku.”
Ia kini paham bahwa hidayah adalah hadiah, dan seseorang harus menjemputnya dengan usaha. Dari seorang pemuda yang lalai, Rafi berubah menjadi contoh bagi teman-temannya bahwa tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Dakwah terbesar adalah perubahan yang terlihat, bukan hanya kata-kata.
Melalui perjalanan hidupnya, Rafi menyadari bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain dan bahwa setiap langkah kecil menuju Allah akan dibalas dengan jalan yang berlipat kemudahan.
Sejak itu, Rafi mulai meyakini bahwa setiap kesempatan melakukan kebaikan adalah bentuk panggilan lembut dari Allah, sehingga ia tidak lagi menunda apa pun yang bernilai ibadah. Ia semakin rajin memperdalam ilmu agama, membaca Al-Qur’an selepas Subuh, dan sesekali memberikan motivasi kepada anak-anak muda agar tidak terjebak dalam kelalaian seperti dirinya dahulu. Bahkan, Rafi bertekad menjadikan masa depannya sebagai ladang amal; ia ingin membangun taman baca kecil di dekat masjid agar generasi setelahnya tumbuh dengan iman dan ilmu. Baginya, perubahan tidak harus besar, yang penting dilakukan dengan ikhlas dan berkelanjutan. Dengan tekad itu, Rafi melangkah maju sebagai pemuda yang bukan hanya memperbaiki diri, tetapi juga menerangi lingkungannya dengan keteladanan yang sederhana namun penuh makna.