"Selin, bangun nak! Ayo siap-siap," ucap Ibuku.
Hari ini adalah hari pertama Selin menginjak bangku SD. Dengan belaian lembutnya, Ibu membangunkan Selin dari tidurnya dengan penuh kasih sayang. Sayup-sayup, Selin pun membuka matanya.
"Ibu, ini masih jam setengah enam. Kok Selin dibangunin sih?"
Dengan senyum khasnya, Ibu mengingatkan Selin bahwa hari ini adalah hari di mana Selin sudah menjadi siswi Sekolah Dasar.
"Loh, Selin lupa nak?" ucap Ibuku.
"Lupa kenapa Bu?" tanyaku dengan polos.
Dengan wajah manisnya dan keimutan Selin yang masih kekanak-kanakan, ia menjawab pertanyaan Ibunya dengan sangat polos.
"Hari Senin Bu, emang kenapa? Kan libur Bu? Selin kan udah selesai TK-nya, Selin bobo lagi ya Bu," jawabnya dengan malas.
"Loh, kok libur sih sayang? Sekarang masuk loh sekolahnya. Selin kan udah kelas 1 SD sekarang," jawab Ibu mengingatkan.
"Ya ampun, iyaaa, sekarang kan Selin udah SD. Ibu kok nggak bilang sih? Gini ini Selin kan jadinya bingung, belum siap-siap. Ya udah deh Bu, Selin mandi dulu," ocehnya.
Ibu hanya bisa memandang anaknya dengan penuh rasa syukur dan bahagia. Walaupun keadaan ekonomi mereka pas-pasan, Ibu selalu berusaha sekuat tenaga demi memberikan pendidikan yang terbaik untuk putrinya.
Tak lama kemudian, Selin pun lekas mandi dan keluar dengan terburu-buru untuk berganti seragam.
"Ibuu, Selin udah harum loh, sekarang Selin mau ganti! Di mana seragam Selin, Bu?" ucap Selin penuh antusias.
Mendengar ocehan antusias Selin, Ibu pun menyudahi masaknya dan langsung menghampiri Selin dengan membawa seragamnya.
"Ini nak, seragamnya," ucap Ibu.
"Wah, makasih Bu. Wah, ada jilbabnya juga. Selin pasti cantik kalau pakai ini," ucap Selin riang.
"Pasti dong, Selin kan putri Ibu yang paling cantik di dunia ini," puji Ibu. "Hehe, iya dong Bu," jawab Selin.
"Ya udah nak, cepetan ganti! Ibu juga mau siap-siap buat nganterin kamu," ucap Ibu. "Baik Bu," jawab Selin.
Sudah menjadi rutinitas Ibu Selin untuk mengantarnya ke sekolah sebelum berangkat mengajar di TK. Karena Ayah Selin pasti belum bangun dari tidurnya.
"Selin udah siap belum nak?" tanya Ibu. "Udah Bu," jawabnya.
"Udah pamit Ayah?" tanya Ibu mengingatkan.
Selin pun menjawab hanya dengan anggukan dan segera pamit ke Ayahnya, walau hanya dibalas dengan gumaman. Walaupun Ayah Selin sering berbuat demikian, namun Ibu Selin selalu memberi pengertian kepada Selin agar jangan sampai ia membenci perilaku Ayahnya. Karena, bagaimanapun juga, ia tetaplah menjadi Ayah Selin.
"Ibu, ayo!" ucap Selin.
Di dalam perjalanan, Ibu dan Selin bercengkrama sebagaimana Ibu dan anak biasanya. Dan di dalam pembicaraan tersebut, Ibu juga menyelipkan pesan-pesan: bahwa bagaimanapun kondisi kita sekarang, jangan pernah membatasi impian-impian dan cita-citamu. Karena pada hakikatnya, pendidikan merupakan investasi yang paling baik.
***
Waktu pun berjalan sebagaimana biasanya. Selin bersekolah, Ibu mengajar, sedangkan Ayah di rumah. Setelah pulang sekolah, Selin istirahat sebentar. Karena setelah Ashar, ia harus berangkat ngaji di TPQ.
Sebenarnya, keluarga Selin bukanlah keluarga yang harmonis. Karena antara Ayah dan Ibunya terdapat konflik dalam rumah tangga yang bersangkutan dengan ekonomi. Namun, bagaimanapun situasi dan kondisinya, Ibu Selin berjuang sekuat tenaga demi mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka dan biaya pendidikan Selin.
Suatu ketika, selepas Selin melaksanakan salat Isya' bersama Ayah dan Ibunya, ia pamit kepada keduanya untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Namun, setengah jam selepas ia pamit, ia baru sadar bahwa ia belum melihat kedua orang tuanya. Dan akhirnya, ia berinisiatif untuk menjenguk mereka.
Ternyata, ketika ia sedang menengok orang tuanya, Selin melihat Ibunya menangis tersedu-sedu. Sedangkan Ayahnya nampak seperti marah kepada Ibunya.
Semenjak peristiwa tersebut, Selin perlahan-lahan menjadi pribadi yang lebih diam. Karena dalam benak hatinya yang paling dalam, ia menebak bahwa tak lama lagi kedua orang tuanya akan berpisah.
Sebuah dugaan tersebut ternyata berbuah kenyataan. Berawal dari suatu malam, ia bersama Ayahnya keluar rumah untuk membeli makanan. Dan ternyata, ketika kembali ke rumah, Ibu Selin tidak ada di rumah. Selin bertanya-tanya kepada Ayahnya, tapi tak ada tanggapan sedikit pun. Dan akhirnya, ia merengek kepada Ayahnya. Kalau tidak ada Ibu untuk menemaninya tidur, maka ia akan tidur di rumah kakeknya saja. Karena di sana banyak sanak saudaranya seperti kakek, nenek, paman, bibi, dan sepupu-sepupunya.
"Ayah, Ibu ke mana? Kok nggak ada?" tanya Selin kepada Ayahnya. Tak ada jawaban satu kata pun.
"Ayah, Ibu ke mana? Kok diam aja sih? Ayah, pokonya Selin nggak mau tidur kalo nggak ada Ibu. Kalo nggak gitu, anterin Selin ke rumah Kakek," ucap Selin penuh emosi.
Tak ambil lama, Ayah Selin menyiapkan sepeda motornya dan mengajak Selin untuk bergegas ke rumah kakeknya. Diam dan heninglah yang mengisi waktu-waktu mereka di dalam perjalanan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Sesampainya di rumah kakek... "Assalamualaikum. Kakek, Nenek..." teriak Selin.
"Waalaikumsalam. Ya Allah Selin, kok malam-malam ke sini?" jawab Nenek.
"Nek, Ibu nggak ada di rumah. Selin nggak mau bobok sendiri. Makanya, Selin minta anterin Ayah ke sini," rengek Selin.
Di tengah-tengah Selin merengek, antara ayah dan neneknya saling bertukar pandang dan berbicara dengan isyarat tentang kejadian yang sedang terjadi tersebut.
Selang beberapa menit, Selin pun masuk dan bertemu dengan kakek.
"Kakek, Kakek tahu nggak? Ibu lho nggak ada di rumah. Selin nggak bisa tidur kalo nggak ada Ibu. Makanya, Selin ke sini. Soalnya banyak temennya, terus kan juga bisa tidur sama Kakek," ucap Selin.
Sebenarnya, Kakek sudah mengetahui asal muasal semua mengenai masalah ini. Karena ia selalu memperhatikan dan bertanya mengapa akhir-akhir ini menantunya lebih banyak diam ketika ia pergi menengok ke rumah Ayah.
"Iya nak, nggak papa. Insyaallah Kakek selalu ada buat Selin. Kalau Selin pengen apa-apa, bilang ke Kakek. Insyaallah Kakek akan turutin apa yang Selin mau dan butuhin," ucap Kakek sambil mengelus-ngelus kepala Selin.
"Iya Kek, Selin bakal nurut sama Kakek dan patuh sama Kakek," jawab Selin sambil memeluk Kakek.
Tak lama kemudian, Bibi Selin pun menghampirinya dan membelai lembut kepala Selin. Karena ia paham dan tidak tega melihat Selin harus menjadi korban broken home di usia yang masih sangat kecil.
***
Dua hari setelahnya, sebenarnya Selin sudah harus melakukan kegiatan kewajibannya, yakni menuntut ilmu ke sekolah. Namun, ia tidak jadi berangkat ke sekolah karena tiba-tiba terdapat peristiwa pagi-pagi yang sangat tidak mengenakkan dan membekas dalam lubuk hati Selin yang paling dalam.
"Assalamualaikum," ucap Ibu Selin mengetuk pintu.
"Heh, ngapain kamu ke sini? Bisa-bisanya kamu ninggalin cucuku. Ibu macam apa kamu ini?" cercah Nenek.
"Demi Allah Bu, bukan Rima yang menyebabkan semua ini. Rima sungguh menyayangi Selin Bu," ujar Ibu.
"Sayang dari mananya? Malam-malam kau pergi dari rumah meninggalkan Selin cucuku," ucap Nenek penuh amarah.
"Rima pergi ke rumah Ibu, Bu," jawab Ibu.
"Sudah, tidak usah banyak alasan. Pergi kamu dari sini," usir Nenek. Ketika Nenek mengusir Ibu, tiba-tiba Selin lari menghampiri Ibunya. "Ibuuu, Selin kangen. Ibu ke mana?" rengek Selin.
Namun, Ibu Selin hanya dapat bergeming dengan memeluk Selin.
"Loh, Ibu nangis? Kenapa Bu?" tanya Selin karena melihat Ibunya menangis dalam pelukannya.
"Maafkan Ibu ya nak, Ibu ninggalin kamu. Maaf, Ibu nggak pamit," jawab Ibu dengan bergelinangan air mata.
Melihat keadaan pagi yang mencekam saat itu, dalam benak Selin yang paling dalam, ia memahami sedikit demi sedikit, mengapa kemarin Ibunya meninggalkannya. Dan ia pun paham bahwa setelah ini, kedua orang tuanya akan segera berpisah.
Tidak lama, Bibi dan Kakek datang menghampiri mereka dan berusaha menenangkan keadaan pagi yang sangat mencekam itu. Sedangkan Ayah Selin hanya dapat diam tak berkutik di ruang tengah.
"Sudah, aku muak dengan wajahmu. Tidak usah berlama-lama. Cepat pergi dari rumahku!" usir Nenek kepada Ibu Selin.
Sepertinya, amarah Nenek sudah tidak dapat dikendalikan. Dan akhirnya, Nenek langsung meninggalkan mereka dan pergi menghampiri Ayah Selin.
"Mbak, Pak, Rima harus gimana? Rima nggak kuat. Dan Rima juga udah nggak bisa mempertahankan hubungan Rima dengan Ayah Selin," isak Ibu.
"Kalau cerai adalah jalan terbaiknya, Bapak ridho nak. Bapak yakin, Allah akan menggantikan semua ini dengan yang lebih baik. Allah akan memberikan buah kesabaran dan ketegaranmu ini nak," ucap Kakek penuh kasih sayang.
"Iya Rima, insyaallah ada hikmah di balik semua ini. Dan insyaallah Mbak akan bantu kamu. Gimana caranya agar kamu bisa bertemu Selin tanpa harus seperti ini," ucap Bibi sambil memeluk Ibu Selin.
"Terima kasih Pak, Mbak, maafkan Rima belum bisa memberikan yang terbaik untuk kalian dan juga untuk Selin," ucap Ibu.
Seiring berjalannya waktu, fakta sebenarnya mulai terungkap. Namun, kenyataan pahit tak terhindarkan. Sudah merupakan skenario Tuhan bahwa orang tua Selin ditakdirkan bercerai dan kelak membangun jalan hidup mereka masing-masing. Dan sekarang, Selin tumbuh menjadi seorang pribadi yang tangguh, sabar, dan tegar dalam menjalani hidupnya.
Biodata Penulis:
Nadia Putri Ayu Fatimatuzzahroh, lahir pada tanggal 20 Juni 2004 di Malang, saat ini aktif sebagai mahasiswi, Bahasa dan Sastra Arab, di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.