Selamat Malam

Cerpen ini mengisahkan luka batin anak pertama yang terabaikan, konflik keluarga, tekanan standar kesuksesan, dan penyesalan yang datang terlambat.

Oleh Eralda Birtha

Cerita pendek ini merupakan karya fiksi yang berangkat dari realitas sosial tentang pengabaian emosional dalam keluarga. Setiap tokoh dan peristiwa di dalamnya tidak dimaksudkan untuk menormalisasi tindakan menyakiti diri sendiri, melainkan sebagai refleksi atas pentingnya empati, komunikasi, dan kesehatan mental.

Cerpen Selamat Malam

Hujan di luar sana seperti sedang berlomba menghantam kaca jendela, menciptakan irama bising yang anehnya menenangkan. Di dalam ruang makan ini, suara denting sendok dan garpu beradu dengan piring porselen terdengar jauh lebih nyaring, lebih menyakitkan.

Aku duduk di ujung meja. Kursi favoritku. Tapi malam ini, rasanya aneh. Tak ada yang menatapku. Tak ada yang menyuruhku mengambilkan nasi. Bahkan piring di depanku kosong, bersih tanpa noda kuah sedikitpun.

“Raka, gimana tadi presentasi koas-nya? Dokter Haryanto bilang apa?” Mama membuka percakapan, wajahnya berseri-seri, seolah piring di depannya berisi emas, bukan semur daging yang mulai dingin.

Raka, adikku satu-satunya, si kebanggaan keluarga, tersenyum simpul sambil mengelap sudut bibirnya. “Lancar, Ma. Beliau malah nawarin aku buat bantu penelitian beliau bulan depan. Katanya aku punya potensi bedah.”

Papa mengangguk, senyum bangga terukir jelas di wajah tuanya yang keras. “Itu baru anak Papa. Jaga koneksi itu, Ka. Jarang-jarang loh ada anak baru lulus bisa dapat akses ke Dokter Haryanto.”

Aku menatap mereka bergantian. Ingin sekali aku berteriak, “Pa, Ma, aku baru aja nyelesain pameran lukisan tunggalku kemarin. Ada kurator dari Singapura yang datang.” Tapi kalimat itu tertelan lagi ke dalam kerongkongan, tersangkut di sana seperti duri ikan.

Mereka tidak akan peduli. Bagi mereka, kanvas dan kuas hanyalah mainan anak kecil yang belum dewasa. Bagi mereka, menjadi anak pertama seharusnya menjadi tiang pancang yang kokoh, bukan bunga liar yang tumbuh sembarangan di tebing curam.

“Kakak kamu mana sih?” Papa tiba-tiba meletakkan sendoknya dengan kasar. “Udah jam segini belum turun. Kebiasaan. Mentang-mentang nggak kerja kantoran, hidupnya seenaknya."

“Palingan juga ngelukis, Pa.” Sahut Raka acuh tak acuh.

Aku tersenyum miris. Suaraku tercekat. Aku ada di sini, Pa. 

Pikiranku melayang ke kejadian seminggu yang lalu. Saat itu, rumah ini rasanya seperti neraka yang beku.

“Kamu itu anak pertama, Aleeya!” Suara Papa menggelegar, memantul di dinding ruang tamu. “Lihat adikmu! Lihat sepupumu! Semuanya punya masa depan jelas. Kamu? Mau makan apa dari coret-coret kanvas begitu? Kapan kamu bisa bikin kami bangga?”

Aku hanya menunduk, meremas ujung kaosku. “Aleeya cuma butuh dukungan, Ma, Pa. Sekali aja. Datang ke pameran Aleeya...”

“Buang waktu,” potong Mama dingin, tanpa menoleh dari majalah yang dibacanya. “Udah dewasa bukannya bantu mikirin ekonomi keluarga, malah sibuk sama dunianya sendiri.”

Kalimat itu sederhana, tapi daya rusaknya luar biasa. Seperti ada kaca yang pecah di dalam dadaku, serpihannya mengalir dalam darah, menusuk setiap kali jantungku berdetak. 

Satu-satunya manusia yang pernah menatapku dengan mata berbinar ketika aku menunjukkan lukisanku hanyalah Kakek.

“Aleeya,” suara serak Kakek terngiang lagi. Bau tembakau dan minyak kayu putih yang khas seolah menyeruak di udara. “Teruslah melukis, Aleeya. Dunia ini terlalu keras bagi siapa pun yang berhenti menjadi dirinya sendiri.”

Tapi Kakek sudah pergi sebulan yang lalu. Tanah makamnya masih basah, dan bersamanya, separuh jiwaku ikut terkubur. Sejak Kakek pergi, rumah ini bukan lagi rumah. Ini hanyalah bangunan beton tempat orang-orang asing berkumpul dan saling menghakimi.

Getaran di saku celanaku membuyarkan lamunan. Ah, bukan saku celanaku yang sekarang, tapi ingatan tentang ponselku yang tergeletak di meja kamar.

Bumi.

Nama itu muncul di layar. Pria dengan sabar seluas samudra. Dia yang selalu bilang kalau warna mataku lebih indah dari lukisan manapun yang pernah aku buat.

“Al, kamu di mana? Aku di depan galeri, kok tutup? Kita jadi makan malam kan? Please, angkat telepon aku. Perasaanku nggak enak.”

Pesan itu masuk satu jam yang lalu. Maafkan aku, Bumi. Kamu terlalu baik untuk perempuan yang bahkan tidak bisa memenangkan hati orang tuanya sendiri. Aku tidak mau menarikmu ke dalam lubang hitam yang sedang aku gali ini. Kamu pantas dapat seseorang yang utuh, bukan yang retak dan hampir hancur sepertiku.

Cinta itu menguatkan, kata orang. Tapi kadang, cinta saja tidak cukup untuk menopang atap yang sudah runtuh. Aku lelah, Bumi. Aku lelah harus selalu berlari mengejar standar yang garis finish-nya selalu digeser menjauh setiap kali aku hampir menyentuhnya.

Kembali ke meja makan.

Suasana mulai tidak enak. Papa melihat jam tangannya berulang kali.

“Coba panggil kakakmu, Ka. Suruh turun. Papa mau bicara soal warisan tanah Kakek. Dia harus tanda tangan pelepasan hak biar bisa diurus atas nama kamu buat modal spesialis nanti.”

Deg.

Bahkan harta terakhir Kakek pun, mereka ingin alihkan untuk Raka.

Raka berdiri, menghela napas panjang seolah ini beban terberat di dunia. “Iya, iya. Raka panggil.”

Langkah kaki Raka terdengar menaiki tangga kayu. 

Dug. Dug. Dug. 

Setiap langkahnya seperti detak jantungku yang melambat.

“Kak Leey!” Raka mengetuk pintu kamarku.

Hening.

“Kak! Buka elah. Papa marah tuh.”

Masih hening. Hanya suara hujan yang semakin deras memukul genteng.

Raka mencoba memutar gagang pintu. Terkunci.

“Kak? Lo di dalem kan?” Nada suara Raka berubah. Ada sedikit getar di sana. Mungkin dia ingat kalau aku tidak keluar kamar sejak pagi hari. Mungkin dia ingat kalau mataku bengkak semalam.

“Ma! Pa! Pintunya dikunci!” Raka berteriak ke bawah.

Mama dan Papa bergegas naik. Wajah Papa merah padam menahan amarah, sementara Mama terlihat bingung.

“Aleeya! Buka pintu! Jangan kekanak-kanakan kamu ya!” Papa menggedor pintu dengan keras.

“Dobrak aja, Pa,” kata Mama, suaranya mulai panik. Firasat seorang ibu, mungkin?

Papa mundur selangkah, lalu menendang pintu kamarku sekuat tenaga. Sekali. Dua kali.

BRAK!

Pintu terbuka lebar.

Angin dingin langsung berhembus keluar dari jendela kamar yang terbuka lebar, membawa masuk cipratan air hujan sekaligus aroma cat yang belum sempat menodai kanvas. Tirai putih kamarku melambai-lambai menyerah.

Dan di sana.

Di tengah ruangan itu.

Pemandangan yang membuat waktu berhenti total.

Tidak ada Aleeya yang sedang melukis. Tidak ada Aleeya yang sedang tidur. Yang ada hanya sebuah kursi kayu yang terguling di lantai.

Dan aku. 

Tubuhku.

Tergantung kaku di bawah balok langit-langit kamar, dengan tali tambang bekas ayunan Kakek yang melilit leherku. Wajahku pucat, bibirku membiru, tapi anehnya... ekspresiku tenang. Kakiku berayun pelan, sangat pelan, seirama dengan angin yang masuk lewat jendela.

“ALEEYAAAAA!”

Jeritan Mama memecah segalanya. Suara yang belum pernah aku dengar seumur hidupku. Jeritan murni dari rasa sakit yang merobek jiwa. Mama ambruk ke lantai, merangkak ke arah kakiku yang menggantung.

Papa mematung. Wajah kerasnya runtuh seketika. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Dia, pria yang selalu memintaku menjadi kuat, kini lututnya gemetar hebat hingga ia jatuh terduduk, menatap tubuh anak pertamanya yang kini hanya tinggal raga. Dan Raka? Raka mundur hingga punggungnya menabrak dinding, wajahnya pias seperti mayat. Air matanya tumpah tanpa suara.

Ponselku di atas meja terus berkedip. Nama 'Bumi' masih memanggil di sana.

Aku menatap mereka bertiga dari sudut ruangan. Melihat tubuhku sendiri yang sudah tak bernyawa, dan melihat kehancuran mereka.

Lucu ya.

Kalian baru benar-benar melihatku, justru ketika aku sudah tidak ada. Kalian baru meneriakkan namaku dengan begitu lantang, saat aku sudah tidak bisa mendengarnya. Kalian baru menginginkan aku turun makan malam, saat aku sudah kenyang menelan kepedihan sendirian.

Akhirnya, aku berhasil, Pa. Aku berhasil membuat kalian semua diam dan menatapku. Aku menjadi pusat perhatian kalian malam ini. Tanpa prestasi, tanpa piala, tanpa perbandingan.

Aku berjalan mendekati jenazahku sendiri, lalu membisikkan sesuatu yang terbawa angin hujan ke telinga Papa yang masih terduduk lemas dilantai.

“Selamat malam, Pa. Aleeya pamit."

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bebas.

Biodata Penulis:

Eralda Birtha (biasa disapa Ell) saat ini aktif sebagai mahasiswi yang hobi menulis untuk merapikan isi kepalanya.

© Sepenuhnya. All rights reserved.