Oleh Kamila Nurul Qalbi
Seorang pria paruh baya tengah mengecek motor kebanggaannya yang biasa ia gunakan untuk berdagang crepes sehari-hari. Sesekali ia mengelap bagian yang sudah terlihat mengkilap sambil berdoa dalam hatinya, semoga dagangannya laris hari ini. Dari dalam, istrinya memanggil Pak Abdul dengan sepanci adonan crepes panas di tangannya sebelum dipindahkan ke dirigen. Pak Abdul meninggalkan motornya lalu menghampiri sang istri. Pak Abdul sudah selesai menyiapkan peralatan lain yang ia butuhkan untuk berdagang, sedangkan istrinya masih sibuk mengipasi adonan crepes yang mengepulkan uap panas.
“Hari ini dagang di mana, Pak?”
“Sepertinya di tempat biasa, Buk. Soalnya anak-anak sekolah sudah masuk lagi. Kemarin-kemarin sepi karena hujan terus.”
Sang istri mengangguk, lalu meminta Pak Abdul untuk memindahkan adonan crepes yang berangsur dingin ke dalam sebuah dirigen. Setelah memindahkan segala peralatan berdagangnya ke motor, Pak Abdul duduk sebentar di kursi depan rumah untuk sarapan bersama sang istri. Lontong pical langganan mereka selalu menjadi pilihan tepat untuk memulai hari. Sesekali Pak Abdul dan istrinya bersenda gurau, membicarakan hal-hal kecil yang menambah kehangatan keduanya sebagai sepasang suami istri meski telah bersama selama 25 tahun.
Pak Abdul sedikit memiringkan badannya ke arah pintu rumah untuk melihat jam yang tertempel di dinding. Sudah pukul setengah tujuh pagi yang artinya sudah waktunya Pak Abdul berangkat menjajakan dagangannya. Sebelum pamit, istri Pak Abdul menyodorkan sepasang mantel kepada Pak Abdul karena cuaca yang terlihat mendung. Sudah beberapa hari Pak Abdul pulang lebih awal dengan dagangan yang masih tersisa karena hujan terus menerus, membuat pelanggan sepi.
“Hati-hati ya, Pak. Semoga hari ini dagangannya laris. Pulang nanti Ibuk masak gulai kepala ikan kesukaan Bapak.”
Keduanya saling tersenyum. Senyum yang lebih hangat dari hari-hari biasanya, mengalahkan dinginnya pagi yang menusuk kulit. Setelah ditinggalkan anak semata wayangnya lima tahun yang lalu, Pak Abdul hanya tinggal berdua bersama istrinya. Hal tersebut membuat keduanya saling memiliki satu sama lain. Istri Pak Abdul adalah sosok cinta pertama dan terakhirnya yang begitu ia rawat dan jaga. Melihat senyum sang istri membuat Pak Abdul begitu semangat untuk menjajakan dagangannya agar ia dapat dengan cepat kembali ke rumah.
“Ibuk pamit dulu ya, Pak.”
“Kok Ibuk yang pamit, harusnya Bapak yang pamit.”
“Pamit ke warung maksudnya.”
Lagi-lagi, keduanya tergelak, namun kali ini Pak Abdul benar-benar pergi melaju dengan motornya, meninggalkan sang istri yang melambaikan tangan dari pantulan spionnya, masih bertukar senyum sebelum akhirnya Pak Abdul menghilang dari balik gang rumahnya. Setelah memastikan suaminya benar-benar pergi, Buk Mar berjalan menuju warung yang tidak jauh dari rumahnya, membeli bahan-bahan untuk membuat makanan kesukaan Pak Abdul yang ia janjikan sebelumnya.
***
Pak Abdul memarkirkan motornya di depan sebuah sekolah dasar tempat ia biasa berdagang. Masih tiga puluh menit lagi sebelum jam istirahat, Pak Abdul segera menyiapkan keperluan untuk membuat crepesnya seperti memasang tabung gas, memanaskan loyang, dan menyusun toping crepes yang beragam. Tak berapa lama, seorang anak perempuan mendatangi Pak Abdul dan memesan dua buah crepes. Sebuah senyum merekah dari wajah keriput Pak Abdul. Tidak ingin membuat pelanggannya menunggu lama, Pak Abdul segera membuatkan pesanan sang pelanggan.
“Kemarin sekolah libur ya, Nak?”
Si anak perempuan yang diperkirakan berusia sebelas tahun tersebut mengalihkan perhatiannya dari adonan crepes yang berputar-putar di atas loyang. Ia mengangguk sekilas lalu kembali fokus pada adonan crepes miliknya yang hampir jadi. Pak Abdul menaruh toping selai kacang dan cokelat pada crepes tersebut sesuai pesanan si anak perempuan. Melihat pesanannya sudah jadi, anak perempuan tersebut menyodorkan uang kepada Pak Abdul, namun sebelum ia masuk kembali ke dalam sekolah, anak perempuan tersebut menyalimi Pak Abdul.
“Semoga laris ya, Pak, supaya Bapak cepat pulang.”
Pak Abdul merasa sedikit terenyuh dan teringat pada perkataan istrinya pagi tadi. Anak-anak memang rata-rata masih polos, namun kalimat yang mereka lontarkan sering terdengar lebih tulus dibandingkan orang dewasa. Hari ini masih kelihatan mendung, namun Pak Abdul berharap agar tidak hujan dan ia dapat menjajakan dagangannya di tempat lain saat anak-anak sudah pulang dari sekolah. Pak Abdul terus terpikirkan gulai kepala ikan buatan sang istri, membuatnya tersipu sendiri.
“Hujan terus ya, Pak. Jadi sepi pembeli akhir-akhir ini.”
Seorang pedagang es serut yang membuka lapaknya tak jauh dari Pak Abdul, membuat lamunan Pak Abdul buyar dan ia tersenyum getir. Tidak biasanya hujan tanpa henti seperti ini, padahal tidak sampai satu bulan yang lalu cuaca terasa sangat panas. Pak Abdul jadi sering kewalahan membawa beberapa porsi crepes yang sudah ia masak sebelumnya untuk dibagikan kepada para tetangga saat kembali dari berdagang.
“Semoga saja tidak hujan hari ini, Pak. Bisa-bisa kalau hujan lagi, makan malam saya crepes hari ini.”
Pak Abdul menyaut yang dibalas tawa ringan dari pedagang es serut di sebelahnya. Dengan penuh keyakinan, Pak Abdul segera membuat pesanan saat para anak-anak mulai mengerumuni dagangannya, sambil terus berdoa agar ia dapat pulang lebih cepat hari ini dengan dagangan yang habis tanpa sisa. Dengan cekatan, Pak Abdul menuang adonan sambil memutar-mutar tuas loyangnya, menaruh beberapa toping, melipatnya, hingga akhirnya sampai pada tangan pelanggan sesuai pesanan masing-masing.
Waktu terus berlalu, pukul empat sore, anak-anak sudah pulang dari beberapa jam yang lalu, sedangkan adonan crepes Pak Abdul masih cukup untuk lima porsi. Ia memutuskan untuk pulang sembari menjajakan dagangannya dalam perjalanan kembali ke rumah, namun ia masih menunggu hujan reda. Sepuluh menit, tiga puluh menit, satu jam, hujan tidak kunjung reda. Pak Abdul sudah menunggu terlalu lama sedangkan ia tidak mau sang istri juga menunggu lama di rumah. Ia pun memutuskan untuk segera pulang dengan mengenakan mantel pemberian istrinya.
Tiga puluh menit perjalanan, Pak Abdul melambatkan laju motornya karena melihat beberapa orang sedang berkumpul sambil menutup jalan dengan kursi dan kayu, di depannya, Pak Abdul melihat bekas longsoran yang menutup seluruh badan jalan hingga mengenai warung makan di depannya. Seketika ribuan anak panah seolah menusuk jantung Pak Abdul, ia segara menghampiri orang-orang yang ada di sana. Semakin Pak Abdul mendekat, yang ia lihat dari wajah orang-orang tersebut hanyalah raut cemas dan takut, membuat Pak Abdul sudah tidak dapat berpikir jernih. Ia menghampiri seorang pria yang terlihat lebih muda darinya.
“Kenapa bisa longsor, Pak?”
“Aliran sungai dari atas melimpah, Pak. Tiba-tiba tanahnya ambruk, rumah-rumah di bawah juga sudah tenggelam.”
Benar dugaannya, seketika hati Pak Abdul mencelos, ia tidak percaya pada apa yang baru saja dikatakan pria di depannya. Tadi pagi Pak Abdul masih melewati jalan tersebut, tidak mungkin hanya beberapa jam hujan, dan semuanya hilang begitu saja. Tanpa pikir panjang, Pak Abdul turun dari motornya lalu berlari menerobos penghalang yang dibuat oleh warga, membuat beberapa orang berteriak memanggil Pak Abdul untuk segera kembali. Namun pria paruh baya ini tidak dapat percaya begitu saja pada perkataan orang barusan karena istrinya ada di seberang jalan tersebut.
Ketika berhasil melewati material longsor yang cukup tinggi, langkah Pak Abdul terhenti. Perumahan yang ia lihat masih berdiri kokoh tadi pagi, tiba-tiba menghilang begitu saja, menjelma menjadi lautan lumpur. Nafas Pak Abdul memburu, kakinya goyah, pandangannya buram. Tekadnya tiba-tiba luluh lantak, bersamaan dengan tubuhnya yang terhempas ke tanah basah. Beberapa orang yang menyusul Pak Abdul segera menghampiri pria yang tak berdaya tersebut, membawanya ke tempat aman karena takut akan terjadi longsor susulan. Pak Abdul pasrah saat dirinya dibaringkan di dekat pohon yang masih berdiri tegap.
“Astaghfirullah, astagfirullah, astaghfirullah.”
Tak ada kalimat lain yang dapat keluar dari mulut Pak Abdul selain beristighfar. Ia mengira semua ini hanya mimpi dan ia harus segera bangun dari mimpi ini. Namun, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, rumah yang ia tinggali selama bertahun-tahun bersama istrinya, kini hilang ditelan bumi. Pak Abdul tiba-tiba bangkit, lalu mencari-cari keberadaan istrinya yang barangkali berada di sekitar orang-orang yang selamat.
“Marsani, istriku. Bapak lihat istri saya? Buk, Ibuk lihat Mar, istri saya?”
Warga yang berada di sekitar sana menatap Pak Abdul dengan pandangan iba. Mereka semua tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka juga kehilangan rumah dan anggota keluarganya. Beberapa meter di depannya, Pak Abdul melihat Buk Rosna, pemilik warung dekat rumah Pak Abdul. Dengan terburu, Pak Abdul menghampiri Buk Rosna dan menanyakan keberadaan istrinya karena seingat Pak Abdul, istrinya pamit ke warung Buk Rosna tadi pagi sebelum ia berangkat berdagang.
“Buk Ros, Marsina mana, Buk? Istri saya tidak ada di sini, Buk.”
“Tadi Marsina mampir ke warung saya, membeli bahan untuk membuat gulai ikan. Tapi hanya sebentar, Pak Abdul. Setelah itu Mar pulang ke rumah.”
Dengan isak yang tertahan, Buk Rosna mencoba menguatkan Pak Abdul. Tatapan pria itu sungguh membuat hatinya terluka. Selama ini Buk Rosna mengenal Pak Abdul dengan istrinya adalah pasangan yang harmonis. Tidak mengetahui keberadaan orang yang ia cinta di situasi seperti ini membuat pikiran Pak Abdul menjadi kacau.
“Nanti sama-sama kita cari di posko ya, Pak. Sekarang kami menunggu jemputan mobil yang mengantar orang-orang sebelumnya. Mungkin Marsina ada di sana, Pak.”
Setidaknya kalimat dari Buk Rosna mampu membuat Pak Abdul sedikit menghela napas. Pak Abdul mengangguk lalu terduduk lemas. Ia berharap ucapan Buk Rosna benar adanya. Ia berharap istrinya ada di sana dalam keadaan selamat.
***
Dari posko ke posko, Pak Abdul terus menanyakan ke semua orang yang ia temui, barangkali mereka bertemu dengan sang istri. Bermodal foto istrinya yang ia minta tolong cetak oleh seorang relawan, Pak Abdul berkeliling di tengah kesibukan posko bencana. Beberapa kali warga yang melihatnya berlalu lalang memanggil Pak Abdul untuk makan, namun selalu ditolak dengan alasan belum lapar.
Selama beberapa hari, Pak Abdul meminta tolong kepada semua relawan maupun tim penyelamat untuk mencari istrinya yang masih belum kembali. Semua orang memiliki jawaban yang sama, “Akan kami usahakan, Pak”. Beberapa kali berpindah-pindah posko, Pak Abdul dibawa kembali ke posko yang berada dekat dengan daerah asalnya. Di sana, Buk Rosna bersama para warga dan relawan menyambut kedatangan Pak Abdul dengan senyum hangat. Aroma kuah gulai menguar memenuhi tenda posko. Dari balik kuali besar yang berisi gulai ikan, Pak Abdul melihat sosok yang selama ini ia cari-cari.
“Marsina?”
Dengan langkah gugup, Pak Abdul mendekat ke arah sosok Marsinah yang ia lihat dengan mata berembun. Tanpa ia sadari, dirinya menangis melihat istri tercintanya sedang tersenyum manis sambil menuangkan seporsi nasi hangat dan sepotong gulai kepala ikan yang istrinya janjikan kepadanya beberapa hari yang lalu. Warga yang melihat Pak Abdul menangis, menjemput Pak Abdul untuk duduk. Saat ia menoleh ke samping, sosok istrinya yang ia lihat tiba-tiba menghilang, seolah menguap bersama uap dari kuah gulai ikan di sampingnya.
“Saya sudah cari istri saya berhari-hari, dari posko ke posko. Saya tanya ke semua orang yang saya temui, saya minta tolong ke mereka, sampai saya diwawancarai oleh banyak pihak. Tapi dari sekian banyak orang yang saya temui, tidak ada sekalipun saya melihat atau mendengar keberadaan istri saya. Saya tidak berharap banyak, hidup atau mati, bahkan sepotong tangannya pun saya rela, yang penting saya dapat memeluk istri saya untuk terakhir kalinya.”
Dengan tangis yang sudah tidak tertahan, Pak Abdul mengundang iba seluruh orang yang berada di posko, menyayat mereka perlahan-lahan, membawa mereka untuk mengingat kembali kejadian paling mengerikan di dalam hidup mereka. Kehilangan harta, rumah, hewan peliharaan, hingga anggota keluarga. Mereka hanya punya harap dan belas kasih Tuhan. Begitu juga dengan Pak Abdul yang kini lagi-lagi melihat istrinya duduk di sebelahnya, menggenggam erat tangannya, dengan tangan lainnya yang memegang sepiring nasi hangat dan gulai kepala ikan kesukaannya.
Biodata Penulis:
Kamila Nurul Qalbi lahir pada tanggal 10 Mei 2006 di sebuah kota kecil yang tenang di Sumatera Barat, yaitu Bukittingi. Mendapat pendidikan di sebuah pondok pesantren modern di sebuah desa kecil, bernama Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi-Agam selama enam tahun, kemudian melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswa program S1 Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas yang sedang menempuh tahun kedua. Selama menjalani hari-hari sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, penulis telah banyak mengenal sastrawan dan cerita-cerita fenomenal Indonesia. Penulis telah menulis banyak karya, namun rata-rata dari karya tersebut hanya segelintir yang berusaha diterbitkan. Hari demi hari, saat segelintir karya tersebut terbit di media cetak maupun online, ada rasa kepuasan tersendiri sehingga penulis memutuskan untuk lebih giat menulis dan mempublikasikannya ke media cetak maupun media massa.
Karya pertama yang berhasil terbit dan dicetak adalah sebuah cerpen berjudul “Hilang Mati, Kembali Hidup” sebagai karya yang lolos dalam event Jejak Pena Nasional #1 oleh Penerbit Ebiz tahun 2025 dalam buku antologi cerpen berjudul “Titik Luhur”. Kemudian karya kedua adalah sebuah artikel ilmiah populer berjudul “Jejak Nahwu dan Sharaf yang Tidak Pudar pada Naskah Kuno Surau Tarok” oleh media massa Scientia.id tahun 2025, dan sebuah buku antologi puisi mendatang yang masih dalam proses pencetakan.